Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi, tentang larangan melakukan transaksi yang di dalamnya terdapat praktik riba. Ayat itu ditegaskan Allah dalam surat Al-Baqarah, tepatnya ayat 275-276 dan 278.
Pengertian Riba
Secara umum, riba terbagi menjadi dua bagian; (1) riba nasi’ah; dan (2) riba fadhal.
Yang dimaksud dengan riba nasi’ah adalah tambahan pembayaran utang yang diberikan oleh pihak yang berutang, karena adanya permintaan penundaan pembayaran pihak yang beruntung. Tambahan pembayaran itu diminta oleh pihak yang berpiutang setiap kali yang berutang meminta penundaan pembayaran hutangnya.
Contoh pertama, si A berutang keada si B sebanyak Rp. 1.000, dan akan dikembalikan setelah habis masa sebulan. Setelah habis masa sebulan, A belum sanggup membayar utangnya, karena itu si A meminta kepada B agar bersedia menerima penundaan pembayaran. B bersedia menunda waktu pembayaran dengan syarat A menambah pembayaran, sehingga menjadi 1.300. Tambahan pembayaran dengan penundaan waktu sebagaimana contoh ini disebut riba nasi’ah.
Sedangkan yang dimaksud dengan riba fadhal yaitu menjual barang dengan jenis barang yang sama, dengan ketentuan memberi tambahan sebagai imbalan bagi jenis yang baik mutunya, seperti menjual emas 24 karat dengan tambahan 1 gram sebagai imbalan bagi emas 24 karat.
Kedua riba di atas sangat diharamkan dalam Islam. Hal itu karena ada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang berbunyi:
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَآءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَائِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Ahhal telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 275)
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 276)
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنْتُمْ مُّؤْمِنِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.” (QS. Al-Baqarah [2]: 278)
Tafsir Syekh asy-Sya’rawi tentang Riba
Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi, juz 1, halaman 762, mengatakan bahwa ayat ke-275 ini menjelaskan perihal keharaman melakukan transaksi yang di dalamnya terdapat praktik-praktik riba.
Keharaman dalam transaksi riba menurut Syekh Sya’rawi disebabkan adanya akad yang rusak di dalamnya. Hal itu bisa dilihat dari tujuan awal adanya transaksi (aqd), yaitu untuk memberikan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan kepada dua pihak (pembeli dan penjual, sedangkan traksaksi dengan praktik riba hanya memberikan kenyamanan pada satu pihak. Oleh karenanya, adanya praktik riba diharamkan dalam Islam karena tidak sesuai dengan tujuan disyariatkannya suatu akad.
Syekh Mutawalli menegaskan, jika orang yang mengutang adalah orang kaya yang bisa saja memberikan bayaran lebih kepada orang yang memberi utang saja tidak boleh, apalagi orang yang memang tidak memiliki harta? Sedangkan, tanda-tanda bahwa seseorang sedang dalam keadaan sulit adalah berutang kepada yang lain. Oleh karenanya, Islam melarang praktik riba tanpa memandang siapa dan dan latar belakangnya.
Masih haramkah ketika kedua belah pihak sama-sama sepakat dengan adanya praktik riba tersebut? Syekh Mutawalli menyatakan dengan tegas, bahwa sekalipun ada unsur kerelaan dan ridha dari kedua pihak, praktik riba tetap saja tidak bisa dibenarkan. Sebab, wilayah ridha dalam hukum Islam bisa diterapkan sepanjang tidak melanggar nash (ketentuan pasti) dalam Islam, sedangkan riba sudah di-nash oleh Al-Qur’an perihal keharamannya.
Menghilangkan Bekas Riba
Ayat 275 di atas menjelaskan menjelaskan keadaan manusia yang memakan riba di dunia dan di akhirat kelak, sedangkan ayat 276 menjelaskan perihal didikan baik yang harus dilakukan oleh orang-orang yang sudah memakan riba untuk menghilangkan pengaruh makanan yang sudah ada pada dirinya.
Kedua ayat di atas disampaikan dengan ungkapan yang sangat halus. Inilah sebenarnya representasi dalam ajaran Islam ketika memerintah untuk meninggalkan sesuatu yang diharamkan. Perintah Allah untuk meninggalkan riba dikorelasikan dengan perintah bertakwa. Dengan hubungan itu seolah Allah hendak mengatakan, “Jika kamu benar-benar beriman, tinggalkanlah riba. Jika tidak, berarti telah berdusta kepada Allah dalam pengakuan imanmu.” (Syekh Mutawalli, Tafsir al-Khawathir, halaman 278).
Selain itu, sekalipun hasil dari riba bisa mendapatkan nilai lebih, semua itu tidaklah ada manfaat di dalamnya, yang ada manfaatnya hanyalah sedekah. Oleh karenanya, Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Artinya, Allah memusnahkan harta yang diperoleh dari riba dan harta yang bercampur dengan riba, atau meniadakan berkahnya. Dan juga, dengan melakukan riba, akan timbul permusuhan antara orang pemakan riba dan orang lain yang melakukan transaksi dengannya.
Dari penjelasan Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi di atas, dapat dipahami bahwa melakukan praktik riba merupakan salah satu tanda bahwa keimanan seseorang sedang lemah. Sebaliknya, orang yang tidak melakukannya menunjukkan imannya sedang kuat. Oleh karenanya, bagaimana pun keadaan seseorang, wajib meninggalkan praktik riba sekalipun bisa mendapatkan hasil lebih banyak.
Dengan mengetahui penjelasan di atas, semoga kita terhindar dari segala transaksi yang diharamkan dalam Islam dan bisa menjalankan transaksi-transaksi yang halal. Dengannya, akan dengan mudah Allah berikan manfaat dan keberkahan di dalamnya. Amin.
Baca tulisan menarik lainnya tentang tafsir Syekh Sya’rawi di sini.