Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Poligami dan Kesalahan Memaknai Matsna, Tsulatsa, dan Ruba’

Avatar photo
34
×

Tafsir Syekh Sya’rawi tentang Poligami dan Kesalahan Memaknai Matsna, Tsulatsa, dan Ruba’

Share this article

Berikut ini adalah teks, terjemahan, dan kutipan tafsir menurut Syekh Muhammad Mutawali asy-Sya’rawi, tentang pernikahan sekaligus poligami dalam berkeluarga. Kedua tema tersebut menjadi salah satu perhatian Al-Qur’an, sehingga menjadi salah satu pembahasan urgen yang tidak boleh disalahpahami.

Secara umum, ayat ini diturunkan berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bercampur dengan harta wali dan sang wali tertarik dengan kecantikan dan hartanya. Alhasil, ia hendak mengawini tanpa memberinya mahar yang sesuai, akhirnya Allah memberikan beberapa catatan dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُواْ فِي الْيَتَامَى فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُواْ فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذالِكَ أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُواْ

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu  berlaku adil, maka (menikahlah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)

Tafsir Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi

Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi, juz 1, halaman 1363, mengatakan bahwa ayat ini memiliki beberapa kandungan, yaitu: (1) menikah dengan wanita-wanita yatim; dan (2) menikah dengan selain wanita yatim, baik satu, dua, tiga, dan empat.

Menikahi Wanita Yatim

Sebagaimana penjelasan tentang diturunkannya ayat di atas, ayat ini disamping untuk menegaskan kembali tentang ayat sebelumnya perihal kewajiban memberikan hak-hak anak yatim, juga untuk memberikan peringatan bahwa menikahi mereka adalah larangan apabila tujuannya untuk mendapatkan harta miliki mereka.

Menurut Syekh Mutawalli, ayat di atas juga memiliki kandungan bahwa anak-anak yatim; baik laki-laki maupun perempuan memiliki sikap emosional yang sangat rendah, jiwa-jiwa mereka sangat lemah. Apalagi wanita, dengan keadaan yatim, mereka memiliki dua kelemahan, (1) lemah dari sisi tidak memiliki seorang ayah, sehingga tidak memiliki sandaran dan pengaduan yang kuat; dan (2) lemah dari sisi bentuk, sebagai wanita yang otoritasnya berada di bawah laki-laki.

Oleh karenanya, pada permulaan ayat di atas, Allah swt menegaskan untuk menikahi wanita selain yatim apabila khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap mereka. Selain itu, Syekh Mutawalli juga menegaskan bahwa wanita yatim memiliki potensi yang besar untuk dizalimi. Menurutnya, jika zalim dalam konteks apa pun tidak diperbolehkan, apalagi pada wanita yatim yang notabenenya memiliki jiwa sangat lemah?

Namun yang perlu diketahui, larangan di atas berlaku sepanjang memiliki rasa khawatir tidak bisa berlaku adil kepada mereka. Artinya, ketika sudah siap menikahi dan memberikan kebahagiaan serta tidak akan zalim kepada mereka, tentu larangan di atas sudah tidak berlaku dan boleh hukumnya menikah dengan wanita yatim.

Menurut Syekh Mutawalli, pada ayat di atas, Allah menghendaki manusia berlaku zuhud untuk tidak menikahi wanita-wanita yatim agar suatu saat tidak ada peluang untuk menzalimi mereka, kemudian memberikan alternatif untuk menikahi wanita selain yatim.

Menikah dan Poligami

Nikah, sebagaimana diketahui dalam ajaran Islam merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan (baca: sunnah) dalam rangka menjaga dan melestarikan keberlangsungan bumi yang telah Allah ciptakan. Pada opsi yang telah disebutkan di atas, Allah melarang umat manusia menikahi wanita yatim agar tidak menzalimi mereka, selanjutnya memberikan alternatif dengan cara menikahi yang lain.

Dalam konteks ini, jika diakumulasi antara hitungan wanita yatim dan tidak, maka jumlah yang paling mendominasi adalah wanita-wanita selain yatim. Oleh karenanya, khitab (ketentuan) dari menikahi dua, tiga, sampai empat perempuan ditunjukkan kepada wanita yang masih memiliki kedua orang tua dengan sempurna, sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Mutawalli,

وَمَا دَامَتْ النِّسَاءُ كَثِيْرَاتٌ فَالتَّعَدُّدُ يُصْبِحُ وَارِدًا

“Selama wanita-wanita (selain yatim) masih banyak, maka poligami akan terus lestari.” (Syekh Sya’rawi, Tafsir al-Khawathir, halaman 1363).

Pada penafsiran di atas, Syekh Mutawalli memiliki pandangan bahwa poligami sampai kapan pun akan terus ada dan memang tidak bisa dihindari keberadaannya. Meski syariat Islam tidak mewajibkan, namun bagi para lelaki yang sudah memiliki kesiapan mental dan emosional mempunyai legalitas untuk berpoligami.

Kesalahan Memahami Matsna, Tsulasa, Ruba’

Meski poligami bukanlah sesuatu yang terlarang dalam syariat Islam sepanjang sang suami bisa berlaku adil, mulai dari nafkah lahir dan batin, akan ada beberapa kelompok yang memaknai kata matsna (dua), tsulasa (tiga) ruba’ (empat) dengan makna yang terulang (takarrur). Artinya, ungkapan Allah dalam ayat di atas tidak memiliki makna itsnaini (dua) akan tetapi memiliki makna yang berulang-ulang. Mereka memaknai matsna (empat) tsulasa (enam) ruba (delapan). Benarkah demikian? Mari simak penjelasan Syekh Mutawalli.

Menurut Syekh Mutawalli, penafsiran dengan cara di atas sangat keliru dan menyalahi kode etik dalam ilmu tafsir, sebab menurutnya, pada ayat di atas Allah menyampaikan secara kolektif bukan untuk perorangan. Dengannya, akan salah ketika ayat di atas dimaknai sebagaimana penafsiran yang telah disebutkan.

Lebih lanjut, Syekh Mutawalli memberikan contoh sebagai berikut, ketika ada seorang guru memerintah muridnya dengan mengatakan, “Wahai murid, bukalah semua kitab kalian!” Pada perintah tersebut bukan berarti sang guru memerintah untuk membuka semua kitab yang ada, akan tetapi memerintah membuka satu kitab kepada semua murid.

Begitu juga dengan ayat di atas, ketika Allah memberikan legalitas kepada lelaki untuk melakukan poligami dengan ungkapan sebagaimana ayat di atas, bukan berarti Allah memberikan kebolehan dengan cara menjumlah, akan tetapi jumlah paling banyak adalah 4, dan tidak boleh lebih.

Poligami Boleh, Adil Wajib

Di akhir fatwanya, Syekh Mutawalli emnjelaskan bahwa dalam ayat di atas ada dua hukum yang perlu diketahui, yaitu tentang poligami yang berhukum mubah dan adil memiliki hukum wajib. Oleh karenanya, laki-laki yang melakukan poliogami harus siap menanggung kewajiban berupa adil.

Syekh Mutawalli juga memberikan beberapa catatan bahwa jika seseorang hendak melakukan suatu pekerjaan, maka lakukanlah pekerjaan tersebut dengan mempertimbangkan sesuatu yang berkaitan dengannya. Misalnya, seseorang berani melakukan poligami akan tetapi tidak siap untuk bersikap adil, tentu ini tidak memperhatikan semua aspek-aspek yang sudah menjadi aturan syariat Islam.

Oleh karenanya, kenapa para istri sangat membenci terhadap poligami menurut Syekh Mutawalli, karena ketika seorang suami melakukan poligami, ia akan acuh pada istri yang lama dan lebih memprioritaskan istrinya yang baru,

لِذَلِكَ فَلَا بُدَّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَكْرَهُ زَوَاجَ الرَّجُلِ عَلَيْهَا بِإِمْرَأَةٍ أُخْرَى

“Oleh karenanya, wajib bagi wanita untuk membenci pernikahan laki-laki dengannya terhadap wanita lain (poligami).” (Syekh Sya’rawi, Tafsir al-Khawathir, halaman 1364).

Dari penjelasan Syekh Mutawalli di atas, dapat kita pahami bahwa sekalipun Islam memberikan kebolehan kepada pemeluknya untuk melakukan poligami, akan tetapi peluang dan persyaratannya sangat ketat dan bahkan jarang bisa dilakukan oleh semua orang. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam bisshawab.

Baca tulisan menarik lainnya tentang tafsir Syekh Sya’rawi di sini.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.