Scroll untuk baca artikel
Ramadhan kilatan
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Takzim antara Sunnah dan Simbol: Membaca Larangan Nabi dengan Hati

Avatar photo
914
×

Takzim antara Sunnah dan Simbol: Membaca Larangan Nabi dengan Hati

Share this article
Setiap kali seorang murid mencium tangan gurunya dengan penuh hormat, itu bukan sekadar ritual lama yang diwariskan pesantren.
Setiap kali seorang murid mencium tangan gurunya dengan penuh hormat, itu bukan sekadar ritual lama yang diwariskan pesantren.

Aku teringat dawuh Maulana Syekh Yusri Ruysdi Sayyid Gabr Al Hasani saat duduk pasca majlis beliau di Sidoarjo beberapa tahun lalu. Beliau berkata yang kurang lebih seperti ini:

‎ما تنازل به النبي من حقِّه، فواجبٌ على الأمة أن تَرُدَّه إليه، لأنه ما تركه إلا تواضعًا ورحمةً بأمته، لا إسقاطًا لحقِّه الشريف

‎“Segala sesuatu yang Nabi lepaskan dari hak beliau, wajib bagi umat untuk mengembalikannya. Sebab beliau tidak meninggalkannya kecuali karena kerendahan hati dan kasih sayangnya kepada umatnya, bukan untuk menggugurkan hak beliau yang mulia.”

‎Kalimat itu terasa sederhana, tapi dalamnya menembus batas waktu. Nabi pernah melarang sahabat berdiri ketika beliau datang atau keluar majlis, dan tidak melepaskan penyebutan sayyidina dalam matan shalawat Ibrahimiyyah yang mutawatir. Tapi justru karena beliau tawadhu’, bukan karena hak itu tak layak diberikan. Maka, mengembalikan hak itu — berdiri untuknya, menyebut sayyidina dengan penuh cinta — adalah bentuk adab, bukan pelanggaran.

‎Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra.

‎لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ، وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُونَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ.

‎“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka cintai daripada Rasulullah . Namun, bila mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri, karena mereka tahu beliau tidak menyukai hal itu.” (HR. Tirmidzi)

‎Para sahabat tidak berdiri bukan karena tidak menghormati, tapi karena mereka memahami rasa Nabi — beliau tak ingin dihormati dengan cara yang membebani. Inilah hakikat takzim: cinta yang tahu kapan harus diam, dan kapan harus menunduk.

‎Para ulama memahami hal ini dengan hati-hati. Mereka tahu bahwa dalam kaidah ushul dikatakan, al-ashlu fin-nahy lit-tahrim, hukum asal larangan adalah haram. Tapi hukum itu tidak berdiri sendiri. Ada dalil lain yang menyertainya, ada rasa cinta yang menafsirkan maknanya. Karena larangan Nabi tak selalu bermakna menjauh, kadang justru menguji sejauh mana kita peka terhadap kelembutan beliau.

‎Larangan Nabi seringkali lahir dari kasih sayang, bukan sekadar batasan hukum. Ia mengajarkan agar umat tidak terjebak dalam simbol tanpa ruh, agar kehormatan tidak berubah menjadi beban. Namun ketika simbol itu ditinggalkan hingga mengaburkan makna cinta, maka menghidupkannya kembali menjadi bagian dari adab al-ummah ma’a nabiyyiha — adab umat terhadap Nabinya.

‎Dan dari sanalah akar takzim kita kepada para guru tumbuh — mencium tangan mereka, menunduk saat lewat di hadapan mereka, menghormati suara mereka. Itu bukan feodalisme, bukan pengkultusan. Itu cermin dari kesadaran spiritual bahwa ilmu yang kita terima datang melalui mereka, sebagaimana cahaya kenabian sampai kepada kita melalui sanad yang suci ini.

‎Ibn Taimiyyah sendiri memberi isyarat halus akan hal ini bahwa hal itu tidak berdosa:

‎وأما القيام لمن يقدم من سفر ونحو ذلك تلقياً له فحسن، وإذا كان من عادة الناس إكرام الجائي بالقيام ولو ترك لاعتقد أن ذلك لترك حقه أو قصد خفضه ولم يعلم العادة الموافقة للسنة؛ فالأصلح أن يقام له؛ لأن ذلك أصلح لذات البين، وإزالة للتباغض والشحناء، وأما من عرف عادة القوم الموافقة للسنة فليس في ترك ذلك إيذاء له.
‎——
‎ كتاب دروس الشيخ محمد إسماعيل المقدم – فتوى شيخ الإسلام ابن تيمية في حكم القيام للقادم –

‎“Adapun berdiri untuk seseorang yang datang dari perjalanan atau semisalnya sebagai bentuk penyambutan, maka hal itu baik. Jika dalam kebiasaan masyarakat, berdiri merupakan tanda penghormatan bagi orang yang datang, dan apabila ditinggalkan bisa menimbulkan dugaan bahwa itu karena mengabaikan haknya atau bermaksud merendahkannya — sementara ia tidak mengetahui bahwa kebiasaan tersebut sejalan dengan sunnah — maka yang lebih utama adalah berdiri untuknya. Sebab, hal itu lebih menjaga keharmonisan antar manusia dan menghilangkan rasa benci serta permusuhan. Adapun bagi orang yang sudah memahami kebiasaan masyarakat yang sesuai dengan sunnah, maka meninggalkan berdiri tersebut tidak termasuk perbuatan yang menyakitinya.”

‎Adab memang lahir dari hati yang hidup. Ia menuntun kita memahami perbedaan antara bentuk dan makna, antara larangan dan kelembutan, antara teks dan rasa.

‎Dan pada akhirnya, setiap kali seorang murid mencium tangan gurunya dengan penuh hormat, itu bukan sekadar ritual lama yang diwariskan pesantren. Itu cara jiwa mengingat asal cahayanya—‎bahwa setiap ilmu yang menghidupkan, pasti bersambung pada Rasulullah SAW.

Kontributor

  • Mabda Dzikara

    Alumni Universitas Al-Azhar Kairo Mesir dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang aktif menjadi dosen di IIQ Jakarta.