Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Teladan Kebangsaan KH Hasyim Asy’ari

Avatar photo
42
×

Teladan Kebangsaan KH Hasyim Asy’ari

Share this article

Tangan
(kekuasaan) dan anugerah Allah SWT bersama jama’ah (kelompok yang
terorganisir). Jika di antara jama’ah ada yang mengucilkan diri, maka setan
akan menerkamnya sebagaimana srigala menerkam kambing.
(HR.
Imam Thabranî)

Hadis di atas hendak menegaskan
bahwa, organisasi ataupun kejama’ahan dan kejam’iyyahan merupakan hal mutlak
dalam kehidupan. Sebagaimana ditulis dalam Al-Qânûn
Al-Asâsîy Li Jam’iyyah Nahdlatul Ulâmâ`
, pertemuan dan saling mengenal,
persatuan dan kekompakan dalam suatu kelompok yang terorganisir sangatlah
dibutuhkan dan bermanfaat. Melalui berkelompok, seseorang bisa menutupi segala
kekurangannya sekaligus mewujudkan kemaslahatan hajat orang banyak.

Berangkat dari nilai-nilai di
atas, KH Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang biasa disebut dengan Mbah Hasyim
membangun masyarakat melalui pesantren Tebuireng (1899). Di pesantren ini Mbah
Hasyim mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan
persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan dan mengarang kitab.

Pada tahun 1919, ketika
masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama
ekonomi, Mbah Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif berniaga serta mencari
solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada
kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murâbathati Ahli At-Tujjâr,
disingkat SKN. Di antara syarat yang berlaku dalam perserikatan ini ialah
pembagian keuntungan tiap tahun sekali. Separuh keuntungan dibagi berdasar
besaran modal masing-masing. Separuhnya lagi dikembalikan pada modal bersama
untuk mengembangkan kebesaran perserikatan. Selaku pimpinan syirkah ialah KH
Hasyim Asy’ari dan Bendahara ialah Abdul Wahab Hasbullah.

Dengan demikian Mbah Hasyim
telah membangun dua pilar kehidupan masyarakat yang unggul, yaitu pilar
pencerahan pikiran (tashwîrul afkâr)
sebagai fajar kebangkitan melalui pengajaran yang diberikan setiap hari, dan
pilar kemandirian ekonomi masyarakat yang dicontohkan melalui keterlibatan
langsung dalam perniagaan di tengah masyarakat kampung dan pasar tradisional.

Bagi umat Islam secara umum dan
bangsa Indonesia khususnya, ada dua hal dari sepak terjang Mbah Hasyim yang
harus diperhatikan. Pertama, seruan Resolusi Jihad untuk memerangi para
penjajah. Seruan ini dikeluarkan untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada tanggal 23 Oktober
1945, atas nama Pengurus Besar NU, Mbah Hasyim, mendeklarasikan seruan jihad fî
sabîlillâh. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan istilah Resolusi Jihad.

Ada tiga poin penting dalam
Resolusi Jihad. Pertama, setiap muslim yang berada di radius 94 km dengan
penjajah wajib memerangi orang kafir yang merintangi kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan kewajiban berjihad bagi umat Islam yang berada di luar radius di atas
merupakan fardhu kifâyah (kewajiban kolektif).

Kedua,   pejuang  
yang   mati   dalam perang kemerdekaan layak disebut
syuhâdâ`. Ketiga, warga Indonesia yang memihak penjajah dianggap sebagai
pemecah belah persatuan nasional dan harus dihukum mati.

Fatwa jihad yang ditulis dengan
huruf pegon (huruf Arab Jawa) itu
kemudian digelorakan Bung Tomo melalui radio dan mendapat respons yang luar
biasa. Ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah mengalir ke Surabaya.
Sedemikian dahsyat perlawanan umat Islam, sampai salah seorang komandan pasukan
India, Ziaul Haq (kelak menjadi Presiden Republik Islam Pakistan) heran
menyaksikan kiai dan santri bertakbir sambil mengacungkan senjata. Sebagai
sesama muslim, hati Ziaul Haq terenyuh. Dia pun menarik diri dari medan perang.
Sikap Ziaul Haq itu membuat pasukan Inggris kacau balau.

Fatwa Mbah Hasyim yang ditulis
pada 17 September 1945 ini kemudian dijadikan keputusan NU pada 22 November
yang diperkuat lagi pada muktamar ke-16 di Purwekorto (1946). Dalam pidato di
hadapan peserta muktamar, Mbah Hasyim menyatakan, bahwa syariat Islam tidak
akan bisa dilaksanakan di negeri yang terjajah. Kerangka pemikiran seperti
inilah yang kemudian menjadi salah satu dasar umat Islam Indonesia untuk terus
merawat Pancasila dan UUD ’45, terutama NU yang memang mempunyai saham besar
bagi lahirnya negeri ini.

Kedua, sepak terjang
Mbah Hasyim untuk melindungi kepentingan umat Islam secara umum. Pada tahun
1924 , contohnya, situasi di Timur Tengah menuntut Mbah Hasyim dan kaum tradisional bertindak. Mereka
menanggapi dua peristiwa besar yang menyangkut agama Islam: penghapusan kekhilafahan Islam di Turki dan serbuan
kaum Wahabi ke   Mekah.

Bagi
kaum muslim tradisionalis, yang terpenting adalah mempertahankan tata cara ibadah keagamaan yang pada umumnya
dipertanyakan oleh kaum Wahabi puritan,
seperti membangun kuburan, berziarah, membaca doa seperti   dalâil al-khairât, dan
lain sebagainya. Begitu juga kepercayaan terhadap para wali.

Kongres Al-Islam
Indonesia bulan
Januari 1926
di Bandung menolak gagasan yang menyarankan agar usul-usul kaum tradisional seperti di atas dibawa oleh delegasi Indonesia. Penolakan itu mendorong
kaum tradisional membentuk         sebuah
komite tersendiri (Komite Hijaz) untuk mewakili mereka di hadapan Raja
Ibn Sa’ud.

Untuk
memudahkan tugas ini, pada tanggal 31 Januari 1926 diputuskan untuk membentuk
suatu organisasi yang mewakili Islam
tradisionalis,
yaitu Nahdlatoel
Oelama (NO) atau NU dalam
istilah
sekarang. Mandat yang dibawa oleh delegasi untuk diserahkan kepada raja berisi permintaan mengenai
empat hal
sebagaimana berikut:

Pertama, kemerdekaan bermazhab dengan memilih salah satu dari empat mazhab: Mazhab Hanafiy, Mazhab Malikiy,
Mazhab Syafi’iy, dan Mazhab Hanbaliy. Kedua,
tempat-tempat bersejarah tetap
diperhatikan,
seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, makam Nabi Muhammad SAW dan dua sahabatnya. Ketiga, meminta penjelasan mengenai
kepastian tarif naik haji
. Keempat, meminta penjelasan tertulis  mengenai “hukum yang berlaku di Negeri
 Hijaz”.

Dalam surat balasannya, yang dikabulkan Raja
Sa’ud adalah permintaan pertama soal  
empat mazhab.
Sedangkan hal-hal lainnya tidak mendapatkan tanggapan. Namun  demikian, makam Nabi Muhammad SAW dan dua sahabatnya tidak diganggu.

Oleh karenanya, umat Islam patut bersyukur
karena hingga hari ini masih bisa berziarah ke makam Nabi Muhammad
SAW beserta dua sahabatnya, sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar (bagi yang  mampu). Juga tidak kalah penting untuk disyukuri, karena umat Islam dan bangsa  Indonesia
mempunyai tokoh seperti Mbah Hasyim beserta kelompoknya yang terus membela
kepentingan umat Islam dan
bangsa Indonesia.

SSudah
sepantasnya, bila semua pihak  meneladani apa yang telah dilakukan oleh  Mbah Hasyim.
Di mana kepentingan
bangsa dan umat senantiasa
dikedepankan   di
atas kepentingan-kepentingan yang lain dan terus
diperjuangkan.

Kontributor