Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Telusur Jejak Rumah Sakit Islam Masa Silam

Avatar photo
62
×

Telusur Jejak Rumah Sakit Islam Masa Silam

Share this article

Jauh sebelum umat Islam, orang-orang Yunani sudah membangun dan  mengelola kuil penyembuhan. Dalam hal ini, perawatan kesehatan lebih didasarkan pada model penyembuhan secara ‘gaib’ ketimbang analisis dan praktik ilmiah. Meskipun tercatat ada sejumlah dokter hebat Yunani kuno seperti Hippocrates dan Claudius Galenus yang kemudian juga dikaji para dokter muslim di Irak, Andalusia, Mesir, dan sejumlah pusat Islam yang lain.

Xenodochium, secara harfiah berarti pondok atau penginapan bagi para musafir, adalah lembaga amal Bizantium Yunani yang juga merangkap sebagai layanan kesehatan bagi para penderita kusta, cacat, dan orang-orang berkekurangan. Hal serupa juga kita dapati di peradaban Mesir Kuno, Mesopotamia, Cina, Persia, dan India, di mana pasien menerima perawatan khusus dalam suatu bangunan khusus.

Lalu timbul pertanyaan, apa yang kiranya menjadikan pusat penyehatan Islam abad pertengahan menarik dikemukakan sebagai bab tersendiri dalam laju sejarah peradaban manusia?

Interior bimaristan (rumah sakit) al-Nuri di Damaskus

Ide di balik rumah sakit dalam kultur peradaban Islam satu milenia silam boleh dibilang sangat sederhana, yakni menyediakan fasilitas kesehatan mulai dari perawatan hingga penyembuhan, suaka bersama, juga rumah jompo. Pusat kesehatan tersebut tentu menampung semua kalangan, baik bagi yang berharta maupun orang-orang berkeadaan papa. Hal ini tidak lain lantaran kuatnya tali kemanusian yang mengikat umat Islam dalam memberi pertolongan, bagi siapapun yang membutuhkan.

Baca juga: Rumah Sakit Zaman Dinasti Islam: Pasien Enggan Pulang, Orang Sehat Mengaku Sakit

Sejarah mencatat bahwa pusat penyehatan dibangun dan dikelola oleh bakti sosial berupa sumbangan, atau yang oleh hukum fikih disebut wakaf. Kucuran dana dari kas negara ada kalanya turut membantu pengelolaan bermacam sarana dan prasarana. Karena pendanaan itulah tidak sedikit dari pusat-pusat penyehatan tersebut berkembang pesat menjadi laboratorium dan lembaga ilmiah yang kokoh, salah satu bagian integral paling penting dalam peradaban suatu kota.

Bercikal dari Apotek Keliling dalam Perang

Kuat dugaan bahwa rumah sakit paling awal dalam Islam hanya berupa apotek keliling yang mengiringi tentara Islam dalam setiap peperangan, tentu tradisi ini sudah aktif sejak zaman Nabi, yang kemudian berlanjut selama berabad-abad dalam setiap pertempuran. Namun rumah sakit dalam arti sebuah institusi terorganisir di sebuah gedung pertama kali dibangun di Kairo antara 872 dan 874 M., tepatnya di Masjid Ibnu Thulun. Benar, gedung rumah sakit kala itu masih di bawah satu atap dengan tempat beribadah, kantor pemerintahan, juga barak militer.

Rumah Sakit Ahmad Ibnu Tulun merawat dan memberikan obat kepada semua pasien secara cuma-cuma. Terdapat dua pemandian, satu untuk pria dan satu untuk wanita, perpustakaan yang kaya, bahkan ruangan khusus psikiatri.

Masjid Ibnu Thulun (884 M.), rumah sakit Islam pertama yang terorganisir, dikelola secara administratif, juga memberikan memberikan perawatan gratis bagi seluruh pasien dari berbagai kalangan

Pada kurun tersebut, boleh dibilang Masjid Ibnu Thulun adalah institusi yang melampaui zamannya. Bagaimana tidak? Dalam catatan al-Maqrizi disebutkan misalnya, setiap pasien wajib menitipkan pakaian dan barang-barang mereka kepada petugas rumah sakit untuk diamankan sebelum mengenakan pakaian khusus orang sakit, baru kemudian menempati ruang perawatan khusus pula.

Institusi kesehatan abad sepuluh lainnya di antaranya adalah Rumah Sakit Baghdadi yang konon cukup besar dan berkembang, dibangun pada tahun 982, mereka memiliki staf ahli sejumlah 24 dokter.

Abad 12 di Damaskus memiliki rumah sakit yang jauh lebih besar, yaitu Rumah Sakit al-Nuri. Di sana, instruksi medis berbentuk konsultasi kesehatan dengan pakar sudah berkembang. Pakar obat-obatan, salon kecantikan dan kebugaran, pakar ortopedi, ahli optik, semua diperiksa dan diaudit dengan rapi berdasarkan ketentuan-ketentuan administrasi.

Baca juga: Princess Fatma dan Tongkat Sihir

Pusat-pusat penyehatan di atas tentu tidak hanya memeriksa dan mengobati penyakit yang sifatnya jasmani saja. Rumah sakit di Baghdad tempat pakar medis Zakaria al-Razi bekerja misalnya, memiliki bangsal khusus bagi para penderita gangguan kejiwaan.

Institusi-institusi penyehatan berkembang pesat di seluruh dunia Muslim selama berabad-abad, dari kota-kota besar Andalusia di Eropa, hingga ke ujung Afrika Utara.

Kecanggihan Rumah Sakit Kairouan

Rumah sakit Kairouan di Tunisia abad kesembilan adalah institusi yang canggih, dengan aula yang terorganisir dengan baik, menyediakan ruang tunggu untuk para pengunjung, kamar khusus perawat, masjid khusus bagi pasien untuk beribadah dan bertukar pendapat, juga sejumlah dokter harian.

Rumah Sakit Kairouan memiliki sejumlah dokter spesialis, ada yang secara khusus menangani pendarahan, berkecimpung dalam ortopedi, juga praktik al-kayyu yang oleh orang Barat disebut cauterization, yakni teknik membakar bagian tubuh untuk mengangkat atau menutup sebagian yang lain guna mengurangi pendarahan dan infeksi lebih lanjut.

Masjid Kairouan di Tunisia

Selain itu mereka juga memiliki bangsal khusus untuk penderita kusta, dibangun di dekat pusat gedung pengobatan. Fakta ini penting disampaikan lantaran pada saat itu di belahan dunia lain kusta dianggap sebagai hasil guna-guna atau kutukan yang mustahil diobati.

Baca juga: Cangkang Siput dalam Seni Arsitektur Islam

Institusi megah tersebut diawasi dan dibiayai oleh kas negara, juga oleh siapa saja yang menyisihkan harta demi memajukan lembaga kesehatan sehingga pelayanan terbaik dapat diberikan.

Al-Mansuri Sebagai Rumah Sakit Terbaik di Kairo

Dalam buku Medical Histories From the Earliest Times, E.T Washington menunjukkan bahwa pada abad ke-13, Kairo memiliki tiga rumah sakit umum, namun yang paling terkenal adalah Rumah Sakit Al-Mansuri.

Komplek al-Mansur Qalawun (masjid-rumahsakit-madrasah) di Kairo, berawal dari kepuasan sang Sultan ketika dirawat di rumah sakit al-Nuri

Ketika Al-Mansur Qalawun (Sultan ketujuh Mamluk Bahri yang menjabat pada 1279-1290) masih seorang pangeran muda, selama ekspedisi militer di Suriah ia kolaps lantaran sakit ginjal. Perawatan yang ia terima di Rumah Sakit Nuri di Damaskus sangat memuaskannya, ia bersumpah segera mendirikan institusi serupa begitu nanti naik tahta.

Walhasil, sesuai dengan yang ia proklamirkan, ia benar-benar membangun Rumah Sakit Al-Mansuri di Kairo yang mana kata-katanya terekam sampai detik ini:“Dengan ini saya membaktikan wakaf (berupa gedung rumah sakit) untuk kepentingan para bangsawan dan rakyat jelata, bagi para prajurit hingga pangeran, besar ataupun kecil, merdeka sekalipun budak, pria maupun wanita.”

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.