Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Teras peradaban pesantren; potret klasik dan tantang zaman

Avatar photo
48
×

Teras peradaban pesantren; potret klasik dan tantang zaman

Share this article

Pesantern adalah lembaga pendidikan Islam yang telah mewarnai dinamika intelektual dan berkontribusi untuk masyarakat sejak Indonesia masih disebut Nusantara. Sebelum munculnya sekolah-sekolah umum pesantren sudah lebih dulu mendedikasikan dirinya dalam mencerdaskan anak bangsa.  Dari rahim pesantren lahir banyak intelektual terkemuka seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Khalil Bangkalan, Syekh Hasyim Asyari Jombang, dan sebagainya.

Sejak kemunculannya di era Wali Songo pesantren didesain khusus untuk memberi pencerahan agama, merespon problem sosial, dan membentuk kearifan lokal serta budaya positif. Sehingga pada perkembangannya, selain sebagai tempat belajar, pesantren pernah menjadi embrio perjuangan para pahlawan pada masa penjajahan. Sebab, sebagai lembaga yang hadir dengan visi menuntaskan problem sosial pesantren dituntut untuk mampu berkontribusi dalam meraih kemerdekaan.

Diakui atau tidak, banyak santri dan kiai yang menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Mereka adalah orang-orang yang dengan tulus berjuang mengusir penjajah dari tanah air sebagai rumah mereka. Para santri bukan sekedar komunitas yang diberikan pendidikan teoretis atau ilmu terapan saja, mereka juga diberi pendidikan tentang nilai-nilai nasionalisme. Bagi para santri tanah air adalah rumah tempat tinggal mereka, sehingga ketika ada orang asing yang berusaha menguasai dan menindas mereka di rumah sendiri jiwa nasionalismenya akan muncul dengan sendirinya. Tentunya mereka juga memiliki landasan teologis dari beberapa sumber primer umat Islam surat Al-Hajj: 40.

Langkah pertama yang harus dilakukan oleh seorang pejuang -sebelum bertindak- adalah menyadarkan masyarakat tentang efek negatif penjajahan baik dari sisi psikis, sosial, budaya, dan agama. Tentunya hal ini hanya bisa diusahakan melalui pesantren yang waktu itu menjadi satu-satunya lembaga pendidikan di Nusantara (nama Indonesia waktu itu).

Adalah sebuah hal unik untuk direnungkan bersama, lembaga pendidikan tidak hanya menyuguhkan ilmu-ilmu terapan atau ilmu-ilmu teoretis. Lebih dari itu lembaga pendidikan juga memberikan wawasan kebangsaan, membentuk karakter sosial, hingga meneguhkan keyakinan akan pentingnya tanah air sebagai rumah dan tempat tinggal. Tidak aneh jika pesantren pada masa itu melahirkan figur-figur pejuang seperti Pangeran Diponegoro, Syekh Abdul Karim Tanara, Syekhul Akbar Hasyim Asy’ari, K.H Wahid Hasyim, dan masih banyak lagi figur-figur santri hasil didikan pesantren yang berkontribusi dalam perjuangan mengusir penjajah dan memerdekakan Indonesia, meski nama mereka tidak pernah disebut dalam daftar pahlawan nasional.

Selain sebagai lembaga pendidikan dan tempat menggalang nasionalisme, pesantren merupakan jangkar budaya dan kearifan lokal dalam sejarah Nusantara. Sejak era Wali Songo para santri selalu dibekali dengan nilai-nilai kultural. Sayyid Jakfar Shadiq (Sunan Kudus) Maulana Ainul Yaqin (Sunan Giri), hingga Syarif Hifayatullah (Sunan Gunung Jati), adalah contoh santri-santri masa lalu yang berhasil mengawinkan budaya lokal dengan nilai-nilai Islam. Mereka adalah santri-santri Ampel Denta yang diasuh langsung oleh Raden Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dengan wawasan sosial-budaya para Wali Songo tidak hanya berhasil membumikan Islam, mereka juga berhasil menciptakan kearifan lokal dan budaya yang positif.

Hingga di masa-masa selanjutnya peran pesantren tidak lepas dari tiga hal tersebut; memberikan pendidikan yang layak untuk masyarakat, menjadi tumpuan dalam merespon problematika sosial, dan menjadi jangkar kekuatan budaya dan kearifan lokal. Keberhasilan ini merupakan prestasi yang patut untuk dijaga. Tidak berlebihan jika penulis menyebut pesantren sebagai “teras peradaban”. Sebab, kontribusi pesantren pada wilayah yang tidak terbatas menyamai kata teras yang mengacu pada area terbuka dengan bidang lahan yang cukup luas. Sedangkan keberhasilan para santri masa lalu dalam mengawinkan budaya lokal dengan nilai Islam adalah bentuk kontribusi santri dalam peradaban.  

Di masa modern yang penuh dengan intrik globalisasi peran pesantren sangat urgen untuk masyarakat. Penjajahan secara simbolik telah dihapuskan dari dunia internasional puluhan tahun silam, namun penjajahan berhasil muncul dengan topeng baru yang kita sebut dengan golbalisasi. Globalisasi tidak hanya melahirkan sikap apatis terhadap budaya dan kearifan lokal, lebih jauh globalisasi dapat meniscayakan hilangnya kemandirian bangsa. Sebab, budaya dan kearifan lokal adalah identitas sebuah bangsa. Jika keduanya tergerus oleh topeng globalisasi niscaya bangsa tersebut akan lenyap tanpa penjajahan fisik.  

Globalisasi tidak hanya terjadi dalam gaya berpakaian saja. Pola pendidikan juga bisa dimasuki globalisasi. Pesantren yang selama ini dikenal sebagai benteng budaya dan kearifan lokal harus menjadi salah satu institusi yang aktif dalam melestarikan keduanya (budaya dan kearifan lokal) sebagai identitas bangsa. Pesantren boleh saja membuat ide-ide kemajuan dalam bidang pendidikan. Sebab, kemajuan adalah fitrah hidup manusia. Namun ide-ide tersebut harus diperhitungkan agar tidak sampai mengeliminasi budaya dan kearifan lokal yang positif.   

Oleh sebab itu, dalam menjawab tantangan zaman pesantren perlu mempertimbangkan pola-pola integralisasi budaya dan kearifan lokal, tidak hanya ide modernisasi saja yang diterapkan. Sesuai prinsip almuḥâfadzatu ‘alal qadîm aṣ-ṣâliḥ wal akhdzu bil jdîd al-aṣlaḥ (melestarikan budaya yang arif dan membuat ide-ide yang relevan). Tuntutan zaman memang harus disikapi, tetapi jika cara menyikapinya dengan menanggalkan warisan kearifan lokal dan budaya positif sama saja dengan menanggalkan muḥâfdzah. Tanpa muḥâfdzah tidak akan ada al-akhdzu bil jadid al-ashlah (pembaruan untuk kemajuan), yang ada hanyalah tabdîd as-shâli (merusak tatanan positif).

Pesantren harus mampu mempertimbangkan ma`âlâtul af’âl (konsekuensi ke depan) agar kebijakan pendidikan pesantren selalu produktif dan memiliki nilai futuristik. Sebuah hal yang biegut kompleks bagi pesantren untuk menjalankan misi kemajuan yang sesuai visi melestarikan budaya dan kearifan lokal. Namun, hal itu merupakan tugas agung bagi pesantren dalam membentengi masyarakat dari globalisasi yang liar guna mempertahankan nilai-nilai dan karakter bangsa.

Sebagai teras peradaban pesantren harus lebih peka dengan tantangan zaman. Peka bukan berarti menuruti semua kehendak zaman tanpa memilah nilai positif dan negatifnya. Peka terhadap tuntutan zaman adalah kemampuan membaca “gerak zaman” dan “muaranya. Sehingga, gerak zaman yang bermuara pada tatanan negatif harus dibendung dengan menciptakan budaya yang positif, seperti yang pernah dilakukan para santri era Wali Songo dan sesudahnya. Sedangkan gerak zaman yang bermuara pada tatanan positif perlu dikembangkan ke arah yang lebih luas. Bukan kah kaidah fikih yang kita pelajari mendidik kita bahwa mencegah lebih baik dari pada mengobati (ad-daf’u aqwâ min ar-raf’i)?     

Akhiran, globalisasi dengan segala tantangannya adalah babak baru bagi pesantren untuk membuktikan eksistensinya di permukaan Indonesia. Jika pesantren berhasil mengawal dinamika globalisasi niscaya eksistensinya akan semakin mendapat perhatian di atas panggung sosial. Sebaliknya, jika pesantren hanya bisa mematuhi tuntutan globalisasi -khususnya di bidang pendidikan- pesantren telah kehilangan esensinya, yang tersisa hanya tinggal nama saja.

*selamat Hari Santri Nasional 22 Oktober 2024*

Kontributor

  • Hadi Abdul Fattah

    Santri asal Cirebon. Penikmat kopi, kebijaksanaan, dan Syair Arab. Dapat dihubungi melalui IG: @hadi_abd.fattah