Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

TGB KH. M. Zainul Majdi: Tidak ada dosa warisan dalam Islam

Avatar photo
37
×

TGB KH. M. Zainul Majdi: Tidak ada dosa warisan dalam Islam

Share this article

Dalam agama Islam tidak mengenal yang namanya istilah dosa warisan atau dosa turunan. Bagi setiap pemeluknya, mereka diajarkan tentang tanggung jawab personal dan individual.

Allah berfirman dalam Al-Quran:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا لَّا تَجْزِيْ نَفْسٌ عَنْ نَّفْسٍ شَيْـًٔا وَّلَا يُقْبَلُ مِنْهَا عَدْلٌ وَّلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَّلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَ

Artinya: “Dan takutlah kamu pada hari, (ketika) tidak seorang pun dapat menggantikan (membela) orang lain sedikit pun, tebusan tidak diterima, bantuan tidak berguna baginya, dan mereka tidak akan ditolong.[QS Al-Baqarah ayat 123]

Ketua Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar (OIAA) Cabang Indonesia, TGB KH. M Zainul Majdi menjelaskan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai individualitas. Dalam arti pertanggung jawaban pribadi masing-masing orang.

“Belum tentu anak orang baik pasti baik, dan belum tentu juga anak orang buruk pasti buruk.” terang TGB dilansir dari channel Youtube Bunsyafa’ah TV

Dalam kajian ini Tuan Guru Bajang memberi pemisalan tentang nasib seorang anak yang menjadi pejuang hebat meskipun bapaknya jahat luar biasa. Contohnya adalah Abu Jahal dan putrinya, Ikrimah. Begitu pun sebaliknya, ada yang bapaknya baik sementara keturunannya begitu jahat sebagaimana Nabi Nuh dan putranya, Kan’an.

Pakar ilmu tafsir Al-Quran lulusan Al-Azhar ini kemudian menjelaskan tentang maksud redaksi ajakan naik Nabi Nuh kepada putranya, Kan’an.

Menurut para ulama makna ajakan di sini terbagi menjadi dua bagian. Pertama, makna secara harfiah yang berarti meloncat dan masuk ke badan kapal. Kedua, ajakan yang bermakna mengikuti dan beriman kepada agama tauhid.

Tetapi apa yang terjadi? Kan’an tetap membangkang dan memungkiri ajakan bapaknya.

Dia keukeuh dengan keyakinannya sendiri. Menolak naik perahu dan lebih memilih naik ke gunung. Kan’an menolak mengikuti agama yang dibawa bapaknya sendiri dan lebih suka berlindung kepada ajaran nenek moyang yang jutsru bertentangan dengan ajaran Allah.

“Inilah contoh di mana bapaknya Nabi tapi anaknya tidak mengerti. Allah begitu ekstrem ketika memberikan contoh di dalam Al-Quran supaya kita terbuka kesadarannya. Jangan lantas karena bapak kita baik lalu kita boleh gagah gagahan kemana mana.” ungkap Tuan Guru Bajang

TGB mengajak kita semua membangun kapasitas pribadi dalam beragama Islam. Melatih menumbuhkan semangat dalam hal kebaikan dan jangan gemar bersandar pada orang lain.

“Seburuk buruk orang tuamu kalau engkau beriman dan beramal soleh engkau akan jadi mulia.” tandas cucu dari pendiri Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah itu.

Kaidah ini merobohkan struktur orang-orang zaman dulu, mereka kerap membanggakan diri atas dasar kompok dan suku. Sehingga individu tertutup dan melebur  ke dalam identitas keluarganya.

“Kalau keluarganya terhormat, sementara ia buruk dia tetap akan dihormati. Walaupun ia berbuat jahat ia tetap akan dibela. Kemudian Islam datang dan meletakan batasan-batasan.”

Islam datang membawa kaidah yang luhur dan adil. Meletakan batas pada hal-hal yang tidak dibenarkan. Nilai kemuliaan diri tidak ditentukan berdasarkan keluarga dan kesukuan. Justru sebaliknya, ia ditakar menurut keimanan dan amal soleh. 

 

Kontributor