Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tiga Hal Utama yang Mendasari Ikhtilaf Ulama

Avatar photo
18
×

Tiga Hal Utama yang Mendasari Ikhtilaf Ulama

Share this article

Di dalam pembahasan
suatu permasalahan, seringkali kita menemukan ikhtilaf atau perbedaan pendapat
antar ulama, baik itu di dalam forum-forum diskusi, debat, maupun di dalam
literatur-literatur islam.

Ikhtilaf pada makna
asal lughawi (kebahasaan)nya, tidak mengandung makna perdebatan atau
perselisihan. Akan tetapi keadaan manusia dan jiwanyalah yang mengantarkan pada
perdebatan dan perselisihan itu. Mereka tidak menerima pandangan orang lain
sehingga menyebabkan suatu perbedaan pandangan. Inilah yang menjadikan cikal
bakal munculnya perdebatan dan perselisihan.

Namun perlu diketahui bahwa
ada perbedaan antara definisi ikhtilaf dan khilaf. Imam Abul Baqa’ Al-Kafawi
menjelaskan di dalam kitabnya, “Kulliyatihi” bahwa keduanya memiliki
perbedaan dalam 4 hal, yaitu:

1. Ikhtilaf, adalah sesuatu
yang proses atau caranya berbeda, akan tetapi maksud dan tujuannya satu.
Sedangkan khilaf, antara proses (cara) dan tujuannya berbeda.

2. Ikhtilaf, (perbedaannya)
disandarkan pada dalil. Sedangkan khilaf tidak didasarkan pada dalil

3. Ikhtilaf, merupakan
bagian dari rahmat. Sedangkan khilaf, merupakan bagian dari bid’ah (sesuatu
yang baru).

4. Ketika seorang hakim
membuat keputusan dan berbeda dari yang lain, kemudian mengoreksinya, maka
keputusan itu dapat ditarik kembali, karena tempat perbedaannya dalam ranah
ikhtilaf. Berbeda dengan khilaf, perbedaannya tidak memungkinkan untuk
berijtihad karena tidak sesuai dengan al-Qur’an, hadits, dan ijmak.

Maka dapat disimpulkan
bahwa makna khilaf adalah sesuatu yang di dalamnya mengandung perbedaan,
perselisian dan pertentangan (secara nyata). Sedangkan ikhtilaf adalah sesuatu
yang memungkinkan adanya perubahan lafal (perbedaannya tidak secara nyata),
sehingga apabila terdapat ikhtilaf dari segi lafal, maka masih memungkinkan
untuk menggabungkan dua pendapat.

Ruang lingkup ikhtilaf
sangat luas sekali, namun di sini saya akan lebih menyinggung tentang ikhtilaf
di dalam permasalahan furu’ fikih.

Dalam kitab “Adab
Al-Ikhtilaf fi Masa’il Al-ilmi wa Ad-din”
dijelaskan bahwa sebab-sebab
ikhtilaf di dalam permasalahan-permasalahan furu’ islam, itu karena tiga poin
besar, yaitu:

1. Keadaan akal seorang
mukalaf dan jiwanya.

2. Keadaan nash-nash
taklifiyah.

3. Tabiat bahasa Arab
yang ada pada nash tersebut.

Daya Tangkap Pemahaman Ulama

Manusia memiliki akal,
dan kapasitas akal manusia berbeda-beda, sehingga terkadang melahirkan
pemahaman yang berbeda-beda pula. Adakalanya seseorang memiliki pemikiran yang
luas, terus berkembang, sehingga mudah memahami teks dan sesuatu yang
didengarnya. Ada juga yang memiliki pemahaman, pemikiran luas di satu bidang
tertentu, namun lemah di bidang yang lain, dan sebagainya.

Seseorang yang sudah
familiar, terbiasa menggunakan akalnya, bersinggungan langsung dengan
permasalahan-permasalahan ikhtilaf, maka cara berpikirnya akan lebih terbuka
dan semakin luas, sehingga hal itu dapat mempengaruhi pandangannya dalam
menyelesaikan suatu permasalahan.

Begitu juga jiwa
(perasaan) seseorang, berbeda antara satu orang dan orang lain. Ada seorang
yang mudah menerima perbedaan dengan perasaan ridha dan lapang dada. Ada jiwa
seseorang yang selalu merasa ingin berbeda dari yang lainnya, dan susah
menerima pandangan orang lain. Ada jiwa yang lebih mengedepankan nafsu sehingga
bersifat ambisius, namun ada juga jiwa seseorang yang lebih mengedepankan
kehati-hatian, jiwa yang selalu meluaskan pandangannya di dalam memandang
fleksibilitas syariat terutama yang berkaitan dengan masalah-masalah furu’, dan
lain sebagainya.

Maka keanekaragaman
jiwa atau perasaan ini dapat mempengaruhi akal seseorang di dalam memahami
teks-teks nash yang ada.

Seseorang jika memiliki
jiwa yang bersih, maka ia akan menggunakan akalnya untuk merekam, menyimpan apa
yang didengarnya, memahami tiap-tiap huruf yang ada pada nash, tujuan dari nash,
dan makna yang diinginkan oleh mutakallim (pembicara) dari nash tersebut.
Kemudian dia mendalaminya serta menghubungkannya dengan maklumat-maklumat (informasi)
lain yang dimilikinya, hingga kemudian dapat menyimpulkan dan beristinbat
menjadi sebuah pandangan dan hukum.

Tabiat Nash Al-Quran
dan Hadits

Kemudian tabiat dari nash-nash
juga memiliki pengaruh yang besar yang menjadikan perbedaan pandangan.

Ada sebagian nash-nash
syariat baik yang berasal dari al-Quran maupun hadits yang memiliki kemungkinan
terjadinya perbedaan penafsiran dan pemahaman. Namun apabila dipandang pada
keseluruhan nash-nash yang berkaitan dengan satu permasalahan, maka itu dapat
membantu dalam mentarjih dari dua kemungkinan, sehingga permasalahan dapat
terselesaikan lebih cepat. Hal ini dapat dilalui, tentunya setelah berusaha
keras dan mengerahkan segenap tenaga, pikiran dengan maksimal.

Karakteristik Bahasa
Arab dalam Nash Al-Quran dan Hadits

Faktor terpenting
selanjutnya, adalah yang berhubungan dengan tabiat bahasa Arab yang ada pada
teks al-Quran dan hadits.

Ada bahasa di dalam
ayat al-Quran maupun hadits yang mengandung hakikat dan majaz; ada yang maknanya
bisa didapatkan secara tekstual di dalam nash (mantuq) dan ada juga yang
baru bisa didapatkan setelah memahami nash secara kontekstual (mafhum).

Seperti dalam hadits
tentang shalat Ashar di Bani Quraidzah:

لا يصلين أحد منكم
العصر إلا في بني قريظة

“Janganlah salah
seorang dari kalian menunaikan shalat Ashar, melainkan apabila sudah tiba di
Bani Quraidzah.”

Sebagian sahabat memahami
hakikat larangan nabi tersebut secara dzahirnya, sehingga mereka melewatkan
waktu Ashar hingga tiba di Bani Quraidzoh pada waktu magrib, dan menunaikan shalat
disana.

Namun sebagian sahabat
lain memahami dengan alasan atau mafhum di balik larangan tersebut. Nabi
menyarankan agar mereka mempercepat perjalanan mereka agar sempat shalat Ashar
pada waktunya.

Ada juga nash yang memiliki
makna yang berlawanan, seperti dalam ayat:

والمطلقات يتربصن
بأنفسهن ثلاثة قروء
…”

“Wanita-wanita
yang ditalaq hendaknya menahan diri (menunggu) sampai tiga kali quru’…”

Kalimat quru’ merupakan lafal yang
memiliki dua makna, yaitu haid atau suci, sehingga dalam ayat ini bisa diartikan
3 kali haid atau 3 kali suci.

Dan masih banyak lagi
hal-hal yang berkaitan dengan tabiat nash di dalam al-Quran dan hadits. Kita
bisa memahami itu setelah kita memahami kaidah-kaidah tata bahasa Arab (seperti
nahwu, sharaf, balaghah), dan juga ilmu-ilmu alat lainnya sperti ushul fikih,
dll.

Maka dapat disimpulkan
bahwa 3 faktor di atas merupakan faktor inti yang menjadi pokok dasar sebab
terjadinya perbedaan pandangan di kalangan ulama.

Para sahabat setelah
Nabi seperti Khulafaurrasyidin, juga sahabat ahli fikih seperti Ubay bin Ka’ab,
Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Sayyidah Aisyah, kemudian para tabi’in dan ulama-ulama
setelahnya, mereka semua pernah berbeda pendapat. Sebagai bukti dari perbedaan
pendapat mereka, lahirlah 4 mazhab dalam fikih Islam pada sekitar kurun 2
Hijriyah.

Perbedaan mazhab ini
merupakan suatu fadhilah (keutamaan) bagi umat Islam, dan dapat dipahami bahwa
syariat Islam sangatlah luas, bersifat fleksibel, menerima, dan memudahkan.
Karena Allah SWT berfirman:

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر

“Allah menghendaki
kemudahan bagimu dan Allah tidak menghendaki kesukaran bagimu…”

Dan juga di dalam ayat
yang lain,

وما جعل عليكم في الدين من حرج

“Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”

Selama ikhtilaf yang
terjadi masih dalam permasalahan furu’, dan didasari oleh dalil-dali syar’i,
maka ikhtilaf yang terjadi boleh-boleh saja dan itu merupakan sebuah rahmat.
Sebagaimana hadits nabi:

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pendapat
pada umatku adalah sebuah rahmat.”

Allahu a’lam
Jabal Muqottom, 8 Dzulhijjah 1442H.

Kontributor

  • Nanang Rizqi Kurniawan

    Asal Banyuwangi Jawa Timur, sekarang sedang menempuh studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.