Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tiga Serangkai Arsitektur Muslim Awal Futuhat Islamiyah

Avatar photo
21
×

Tiga Serangkai Arsitektur Muslim Awal Futuhat Islamiyah

Share this article

Arsitektur berkembang sebagai respons terhadap cara berpikir manusia yang dengan kecerdasannya senantiasa melahirkan perubahan-perubahan berdasarkan kemajuan hidup. Kurang lebih demikian gambaran sederhana para pakar seni bangunan, di antaranya J. M. Richards.

Seperti halnya karya literatur para ilmuwan terdahulu, karya arsitektur adalah warisan mahal yang layak dijaga dan digali ilmu berikut pesan-pesannya. Keberadaannya memiliki masa tenggang yang lama, ia lintas generasi, bisa dilihat dan disentuh indera masa kini. Sebagai latar selfi atau benar-benar obyek menggali esensi.

Berikut adalah ulasan singkat tentang tiga monumen penting dalam sejarah kebudayaan Islam, lebih khususnya pada periode awal penyebaran Islam keluar Jazirah Arab.

Pada tahun 634 M, tidak lama setelah Damaskus ditundukkan pasukan Islam, segera dibangun masjid di area yang sebelumnya adalah basilika, yaitu di sebuah tempat untuk mengenang Yohanes Sang Pembabtis yang dimakamkan di sana. Situs megah itu berdiri kokoh sejak masa Konstantinus I dari kekaisaran Romawi.

Inilah masjid yang berdiri sejak fajar Islam, untuk menyambut bangkitnya peradaban baru dan menghormati peradaban yang baru saja ditaklukkan (Romawi Klasik), serta sebagai pertanda peradaban yang kelak dilahirkan (Renaisans di Eropa).

Masjid Agung Umayyah di Damaskus Suriah

Sebelum dijadikan gereja, area ini merupakan Kuil Romawi yang dipersembahkan untuk Dewa Jupiter. Pada masa Muawiyah, orang-orang Islam dan kaum Kristen setempat membagi ruang beribadah di bawah satu atap di dalam gedung yang sama.

Sayangnya, potret harmonis tersebut berlangsung hanya sampai kira-kira 25 tahun setelah meninggalnya Muawiyah bin Abi Sufyan. Karena begitu jamaah muslim semakin bertambah sehingga tidak lagi cukup ditampung oleh batasan yang telah disepakati, akhirnya prakarsa baru bergegas dicetuskan. Walhasil Khalifah Al-Walid (705-715 M) secara resmi membeli bangunan tersebut seutuhnya dari para petinggi Kristen.

Setelah saling sepakat, maka sebagian bangunan tersebut  terpaksa dirobohkan menyesuaikan denah dan rancangan baru yang lebih inovatif.

Penting untuk dicatat, termasuk dalam kesepakatan tersebut adalah jaminan perlindungan dari Sang Khalifah terhadap seluruh gereja di Damaskus, termasuk terhadap pembangunan gereja baru yang dipersembahkan untuk Bunda Maria yang berlokasi tidak jauh dari situs tersebut.

Setelah renovasi selesai, bangunan yang kemudian akrab dikenal sebagai Al-Jami’ Al-Umawi atau Al-Jami’ Bani Umayyah Al-Kabir (Masjid Agung Bani Umayyah atau The Great Mosque of Damascus) tersebut tampak murni bercorak Yunani dan Romawi. Lengkungan-lengkungan bulat yang nantinya menjadi elemen inti dalam arsitektur Islam di Spanyol adalah hasil adaptasi dari Romawi. Sedangkan tiang-tiangnya, sejumlah pintu, dan garis atap segitiga juga hasil adaptasi dari seni bangunan orang-orang Roma dan Athena. Kubah di tengah dan juga interiornya menggambarkan Pantheon di Roma. Namun yang paling menakjubkan adalah halaman masjid tidak hanya menggambarkan plaza Pantheon, namun juga menginspirasi serambi Basilika St. Peter yang beberapa abad setelahnya dibangun di Roma, begitu juga bagi serambi-serambi di perkotaan abad Renaisans kelak seperti di Sienna, Firenze, dan Venesia.

Ratusan kilometer dari Masjid Agung Umayyah tersebut, berdiri kokoh bangunan dengan struktur oktagonal yang ditopang oleh sederet pilar ganda berikut sejumlah tiang, interiornya berdekorasikan corak bergambar bunga-bunga, sementara dinding-dindingnya dilapisi plesteran yang disepuh dengan emas. Tidak lain tidak bukan adalah Kubah Batu (Kubbah Shakhrah / Dome of the Rock), sebuah bangunan monumental yang merekam sejuta cerita suka juga lara, kebanggaan sekaligus kenestapaan, perjuangan berikut pengorbanan, darah beriring amarah.

Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M) membangun Kubah Batu (691 M) di area kompleks Masjid Al-Aqsa yang berada di dalam tembok Kota Lama Yerusalem. Bangunan ini kerap disebut secara keliru oleh orang-orang Eropa sebagai “Masjid Umar”.

Bukti bahwa Abdul Malik adalah seorang seniman bangunan adalah tulisan Kufi yang masih bisa dilihat di sekeliling Kubah. Satu abad kemudian bangunan itu direnovasi oleh Khalifah Al-Makmun (813-833 M), yang kemudian mengganti nama Abdu Malik di atas Kubah dengan namanya, tetapi lupa mengganti tahunnya. Arsitek Abbasiyah menuliskan nama baru tersebut secara berdekatan, yakni dengan menyisipkannya di antara ruang sempit yang awalnya bertuliskan nama Abdul Malik.

Kubah Batu atau Dome of The Rock terletak di kompleks Masjid Al-Aqsha Palestina

Masyarakat muslim menyebut masjid itu sebagai Masjid Al-Aqsa (masjid terjauh). Selain itu istilah tersebut juga digunakan dalam pengertian yang lebih umum sehingga mencakup seluruh bangunan suci di tempat itu yang meliputi Kubah Batu, makam-makam, biara, dan pancuran air. Kompleks seluas 34 hektar tersebut dibangun dan diperbaharui oleh sederet pemimpin, mulai dari khalifah Abdul Malik hingga Sultan Agung Sulaiman dari Dinasti Turki Utsmani.

Secara tegas, sebagian beranggapan bahwa kata Al-Aqsa disematkan pada masjid yang dibangun oleh khalifah Abdul Malik yang letaknya berdekatan dengan Kubah Batu yang dibangun di atas reruntuhan sebuah gereja yang dulunya dihancurkan oleh Raja Khosrau dari Sassaniah.

Pola mozaik dan arsitektur Kubah Batu mengikuti pola gereja dan istana Romawi. Dua seniman bangunan yang bertanggung jawab atas proyek pembangunannya adalah Raja Ibnu Haywah dari Beit She’an, seorang teologis yang merangkap sebagai konsultan politik bagi beberapa khalifah Dinasti Umayyah; kemudian yang kedua adalah Yazid ibnu Salim, penduduk asli Yerusalem yang sebelumnya adalah seorang budak beragama Kristen.

Kembali ke setengah abad ke belakang, tepatnya pada tahun 641 M, Mesir berhasil ditaklukkan oleh pasukan Amr Bin Al-Ash, seorang jenderal utusan Khalifah Umar bin Al-Khaththab. Di seberang benteng Babilonia yang berhasil digempur oleh pasukan tersebut, Jenderal Amr mulai membangun peradaban baru dengan sebutan Al-Fusthat. Di sanalah masjid atas namanya dibangun yang juga merupakan masjid pertama yang berdiri di tanah Mesir.

Masjid yang menjadi titik mula perkembangan Islam di tepi sungai Nil ini sepanjang sejarahnya telah mengalami beberapa kali perluasan dan renovasi. Puing-puing orisinil dari masjid ini barangkali sudah tidak terlihat pada saat artikel ini ditulis, namun sebagai monumen, keberadaannya begitu diagungkan lantaran nuansa sejarahnya yang selama berabad-abad menjadi pusat sosial dan keagamaan.

Masjid Amr bin Ash di kawasan Fustat Kairo Mesir

Restorasi pertama dilakukan oleh Abdullah bin Thahir pada tahun 827 M, kemudian oleh Shalahuddin Al-Ayubi pada 1168 M. Lalu setelah gempa bumi dahsyat pada tahun 1303 M diperbaiki oleh Amir Salar, dilanjut oleh Sultan Barquq pada 1399 M, Sultan Qeitbay pada abad limabelas. Kemudian Murad Bey memperbaiki beberapa menaranya pada 1798 M beberapa saat sebelum invasi Napoleon ke Mesir, lalu oleh Muhammad Ali Pasha pada 1845 M, berikutnya pada tahun 1930-an. Kemudian pada tahun 1977 M Departemen Wakaf (Wazir Al-Auqaf) Mesir merombak muka bangunan secara total, dan terakhir pada 2001 adalah penambahan batu bata yang disusun melengkung berikut terali besi pelindung.

Masjid Agung Umayyah, Kompleks al-Aqsa, dan Masjid Amr bin Al-Ash di atas boleh dibilang sebagai tiga serangkai arsitektur agung yang lahir pada awal ekspansi Islam keluar Jazirah Arab. Sudah barang tentu akulturasinya dengan budaya setempat menjadi prototipe bagi arsitektur-arsitektur yang menyusul di kemudian hari. Beberapa masjid lain yang perlu disebutkan adalah Masjid Agung Kufah (670 M) di Irak; Masjid Jami’ Kilakarai (630 M) dan Masjid Jami’ Cheraman (629) di India; Masjid Uqba (670 M) di Tunisia; Masjid Huaisheng (627 M) di Cina; berikut masjid-masjid yang oleh para sejarawan dipercayai telah berdiri sejak abad ketujuh Masehi, meskipun tahunnya tidak dapat dipastikan seperti Masjid Firdaus di Iran, Masjid Mazin ibnu Ghadhlaubah di Oman, Masjid Al-Qiblatain di Somalia, Masjid Al-Janad dan Masjid Agung Sana’a di Yaman.

Begitu pula beberapa khazanah seni bangunan milik Dinasti Umayyah yang teramat sayang bila tidak disebutkan. Antara lain adalah Masjid Aleppo (715 M) di Suriah, Kastil Kharanah (710 M) di Yordania, Istana Umayyah di Yordania yang dibangun pada paruh awal abad kedelapan Masehi, Masjid Putih (720 M) di Israel, dan Kastil Amrah (743 M) di Yordania.

Catatan:

Basilika: dari Bahasa Latin, berasal dari Yunani, Basilike Stoa yang berarti Stoa Kerajaan. Awalnya adalah tempat pertemuan umum yang dibangun di pusat kota oleh orang-orang Romawi, namun setelah kekaisaran Romawi resmi menjadikan Kristen sebagai ‘penopang’ kekaisaran, lambat laun basilika menjadi istilah yang merujuk pada gereja besar yang telah diresmikan secara khusus oleh seorang paus.

Pantheon: Kuil besar berbentuk bulat di pusat kota Roma yang rampung dibangun pada tahun 126 M. oleh Kaisar Hadrianus (76-138 M) sebagai rumah penyembahan bagi dewa-dewa Romawi. Kata Pantheon berasal dari bahasa Yunani yang berarti Rumah Semua Dewa. Pada tahun 609 sampai 1885 kuil ini difungsikan sebagai gereja sekaligus makam para pejuang Italia.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.