Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tiga tingkatan puasa menurut al-Ghazali

Avatar photo
27
×

Tiga tingkatan puasa menurut al-Ghazali

Share this article

Ramadhan menjadi salah satu momen khusus bagi umat Islam meningkatkan kualitas ibadahnya. Bulan yang dipenuhi oleh rahmat dan ampunan ini menjadikan umat Islam sibuk melaksanakan aktifitas ibadah wajib istimewa “puasa” yang hanya ditemukan di bulan mulia ini.

Puasa merupakan salah satu ibadah yang merupakan sirr atau rahasia antara hamba dan Tuhannya. Karena pada kenyataannya, puasa sendiri memang tidak bisa dilihat dan dideteksi oleh panca indra secara langsung. Tentunya, kualitas ibadahnya pun beragam, tergantung bagaimana seseorang menjalankannya. Ibarat kacang, mereka yang hanya berpuasa “kulitnya” saja akan berbeda kualitasnya dengan mereka yang juga menjaga diri bagian dalamnya.

Imam al-Ghazali dalam masterpiecenya “Ihya Ulum ad-Din” Jilid II hal 110 membagi tingkatan puasa menjadi 3:

Pertama, Shaum al-Umum (puasa bagi keumuman; puasa kulit). Puasa model ini ditandai dengan orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa namun hanya sebatas menahan perut dan farji dari gejolak syahwat. Puasa yang menjadi bagian dari orang-orang awam yang belum bisa menjaga diri dari melakukan hal-hal yang dapat merontokkan pahala puasa dengan masihnya ia melakukan dosa-dosa seperti berbohong, rasan-rasan dan lain sebagainya.

Kedua, Shaum al-Khusus (puasa bagi orang tertentu). Puasa tingkat kedua yang jenis ini dapat diperoleh dengan menjaga seluruh anggota badan dari melakukan dosa. Puasa ini adalah puasa orang-orang shalih.

Ketiga, Shaum Khusus al-Khusus (puasa orang-orang istimewa). Puasa tingkat ketiga ini adalah ibadah puasa yang dilakukan oleh derajat para Nabi, orang-orang yang termasuk golongan as-Shiddiqin dan al-Muqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah).

Puasa yang tidak hanya sebatas menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan puasa secara dzahir, melainkan juga dengan memuasai (mengosongkan) hati dari keinginan-keinginan rendah dan pemikiran-pemikiran duniawi dan menjaganya dari selain Allah secara total.

Puasa jenis ini akan dianggap batal jika pelakunya memikirkan selain Allah dan hari akhir, memikirkan hal-hal yang sifatnya duniawi. Kecuali hal keduniawian yang dikehendaki sebagai wasilah untuk akhirat.

Bahkan bagi mereka yang berada pada tingkat ini akan dianggap berdosa jika tergerak keinginan sedikit saja untuk bekerja di siang harinya untuk memperoleh makanan yang ia gunakan untuk berbuka. Karena dengan demikian ia telah dianggap kurang percaya kepada anugerah dan rezeki yang dijanjikan oleh Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi berikut:

قال أرباب القلوب: من تحركت همته بالتصرف في نهاره لتدبير ما يفطر عليه كتبت عليه خطيئة

Para pemilik hati berkata: mereka yang himmahnya tergerak untuk bekerja di siang harinya untuk mengatur makanan yang ia gunakan untuk berbuka, tercatat baginya dosa.”

Sebagai bagian dari masyarakat majemuk, puasa tingkat ketiga tersebut mungkin mustahil untuk dilakukan. Namun, tidak untuk tingkat yang kedua (puasa khusus) yang masih bisa untuk diusahakan. Imam al-Ghazali dalam hal ini memberi tips untuk menjadikan puasa seseorang termasuk bagian puasa yang kedua, puasa orang-orang shalih:

Pertama, menjaga pandangan dari melihat hal-hal yang tercela dan tidak disukai. Juga dari hal-hal yang dapat melalaikan diri dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan at-Thabarani yang artinya sebagai berikut:

Rasulullah Saw bersabda, Penglihatan merupakan anak panah beracun dari Iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada Allah, maka Allah akan berikan ia keimanan yang akan ia temukan manisnya di dalam hati.”

Kedua, menjaga lisan dari berkata tidak baik, berbohong, gibah, rasan-rasan, adu domba, membanggakan diri, permusuhan dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Menjadikannya diam untuk menyibukkannya berdzikir kapada Allah dan membaca al-Qur’an. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari yang artinya sebagai berikut:

Rasulullah Saw bersabda, “Puasa adalah tameng, jika salah satu dari kalian berpuasa maka janganlah ia berkata buruk. Jika seseorang berkata buruk atau menghinanya, maka hendaklah ia berkata: sungguh aku sedang berpuasa, sungguh aku sedang berpuasa.”

Ketiga, menjaga telinga dari mendengarkan hal-hal yang tercela. Karena segala hal yang diharamkan oleh Allah mengucapkannya diharamkan pula untuk mendengarkannya. Dalam artian, mereka yang mendengarkan orang yang semisal sedang gibah, maka ia juga dianggap melakukannya.

Keempat, menjaga anggota badan yang lain seperti tangan dan kaki dari hal-hal yang tercela pula. Menjaga perut dari hal-hal yang syubhat pada saat berbuka, apalagi hal-hal haram. Karena mereka yang melakukannya ibarat orang yang membangun sebuah gedung akan tetapi ia menghancurkan sebuah negeri.

Kelima, tidak memperbanyak memakan makanan (meski halal) pada saat berbuka puasa. Karena hal tersebut tidak disukai oleh Allah. Sebagaimana salah satu hadits riwayat at-Turmudzi yang menjelaskan demikian. Juga, akan terlihat aneh jika ibadah puasa yang notabene salah satunya bertujuan untuk memecah syahwat, jika hal tersebut hanya berlaku hingga waktu berbuka tiba. Sedangkan ruh dan sirr  dari puasa sendiri ialah melemahkan syahwat yang menjadi wasilah setan untuk mengendalikan manusia.

Keenam, hendaknya hati mereka setelah berbuka untuk menggabungkan antara khauf (rasa khawatir) dan raja’ (harapan) terhadap ibadah puasa yang telah ia lakukan. Karena ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga ia termasuk yang mendekat kepada Allah atau ditolak sehingga ia termasuk dari kalangan yang merugi.

Demikian enam tips yang dijelaskan oleh al-Ghazali agar puasa kita termasuk ke dalam golongan dari puasa yang kedua, puasa orang-orang shalih. Wallahu a’lam  

Kontributor

  • Alwi Jamalulel Ubab

    Alumni Khas Kempek, Cirebon. Mahasantri Ma'had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.