Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Tingkatan puasa menurut Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi

Avatar photo
23
×

Tingkatan puasa menurut Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi

Share this article

Telah banyak yang menulis dan menjabarkan keistimewaan puasa, semata-mata dari segi hikmah dan manfaatnya. Beda halnya dengan Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi, yang cenderung lebih menaruh perhatian terkait pembagian macam-macam puasa yang dilakukan seorang muslim.

Dalam kitab Syarah Al-Ainiyyah, seusai menerangkan setiap bait yang ditulis oleh Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad, Habib Ahmad memberikan beberapa untaian hikmah dan nasihat.

Habib Ahmad menerangkan, puasa terbagi kepada 3 macam: Puasa kalangan umum, puasa kalangan khusus, dan puasa kalangan eklusif.  

Terkait puasa kalangan umum, ialah puasa yang sesuai dengan keterangan ulama dalam kitab-kitab fikih, seperti mencegah masuknya sesuatu ke dalam perut, baik itu makanan pun minuman, pula menjaga kemaluan dan lain sebagainya yang dapat membatalkan puasa.

Beranjak kepada tingkatan puasa selanjutnya, Habib Ahmad al-Habsyi memaparkan,

أما صوم الخصوص فهو إمساك الجوارح كلها عن الآثام، لأن الصوم في اللغة الإمساك، وإمساك عن الجوارح فرض لازم على الدوام، فيغض البصر ويمسكه عما يذم شرعا، واللسان عما يكره شرعا، ويمسك السمع بمنعه إلى الإصغاء إلى المكروهات تنزيها أو تحريما.

Adapun puasa kalangan khusus yaitu menahan seluruh anggota tubuh dari berbagai macam dosa. Sebab kata “puasa” secara bahasa bermakna “menahan”. Dengan demikian menahan seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat merupakan kewajiban yang patut dijaga, seperti menjaga pandangan mata dari hal-hal yang tercela menurut syariat, menjaga lidah dari tutur kata yang buruk menurut syariat, menjaga dan mencegah pendengaran dari mendengarkan hal-hal yang makhruh maupun haram.

Berdasarkan paparan definisi puasa di atas, Habib Ahmad al-Habsyi memandang puasa dari segi tasawuf, bukan dari segi fikih. Karena siapapun yang melakukan perbuatan tercela, pada hakikatnya puasanya tidaklah batal, selama tidak berkaitan dengan larangan hal-hal yang mampu membatalkan puasa menurut fikih.

Hikmah dari puasa itu sendiri ialah mendekatkan diri kepada Allah swt, yang mana hal itu tak tercapai kecuali dibarengi dengan menjauhkan diri dari segala jenis kemaksiatan. Kendati demikian, inti puasa ialah mengosongkan perut dan mematahkan hasrat diri, di samping melemahkan sendi-sendinya semata-mata untuk mendekati sifat para malaikat yang didekatkan oleh Allah dalam kebersihan diri mereka secara total.

Nabi Muhammad Saw bersabda,

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ: الْكَذِبُ، وَالغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ، وَالنَّظَرُ بِشَهْوَةٍ

“Ada 5 perkara yang membatalkan (pahala) orang yang berpuasa: “Berbohong, mengumpat, mengadu domba, sumpah palsu, dan memandang dengan penuh hasrat.”

Dalam riwayat lain, Sofyan berkata, “Mengumpat dapat merusak puasa.” Bahkan perkataan ini senada dengan apa yang diucapkan Mujahid, “Dua perkara yang dapat merusak puasa: Mengumpat dan berbohong.”

Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabda,

إِنَّمَا الصَّوْمُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمٌ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ، فَلْيَقُلْ: إِنِّيْ صَائِمٌ.

“Sesungguhnya puasa adalah perisai, bila seorang dari kalian sedang berpuasa hendaknya tidak bertutur kata yang kotor dan tidak berbuat bodoh, bila ia diajak bertengkar atau dicela oleh seseorang hendaknya ia menjawab: “Sesungguhnya aku sedang puasa.”‘

Lantas, hal apa lagi yang akan diperoleh seorang muslim yang berpuasa yang tak dapat menjaga sikap dan perbuatannya dari hal-hal tercela, bukankah para ulama salafus salih telah mewanti-wanti kita dengan berkata,

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صَوْمِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.”

Ucapan ini ditujukan kepada mereka yang tidak menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan dosa, atau pun berbuka dengan makanan yang haram, bahkan para ulama mengatakan:

لا ينبغي أن يستكثر عند الإفطار من الحلال، فإنه لا يتم انتفاعه بصومه، لأن سر الصوم وروحه تضعيف قوى النفس، التي هي وسيلة الشيطان في الإغواء للإنسان

“Tidak sepantasnya mengkonsumsi banyak makanan halal sewaktu berbuka, karena akan mengurangi manfaat puasanya, sebab tujuan utama berpuasa adalah melemahkan sendir-sendi hasrat jiwa yang merupakan alat perantara bagi setan untuk menyesatkan manusia.” Inilah cara berpuasa orang-orang saleh.

Beranjak kepada puasa kalangan ekslusif, Habib Ahmad berpendapat bila puasa ini hanya mampu dicapai oleh mereka yang dekat kepada Allah swt, seperti para Nabi dan Rasul-Nya, para sahabat Nabi, tabi’ tabi’in, para waliyullah dll.

وأما صوم المقربين، الذين هم خصوص الخصوص، فهو إمساك القلب عن الهمم الرديئة، والأفكار الدنيوية، بل عما سوى الله بالكلية

“Adapun makna puasa ini sendiri ialah menahan hati secara keseluruhan dari ambisi-ambisi yang hina dan pikiran duniawi bahkan apa saja yang selain Allah.”

Puasa ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang melainkan bila hatinya telah bersih dan suci dari perkara-perkara duniawi. Beda halnya dengan puasa kalangan umum, yang mampu dilaksanakan oleh berbagai kalangan, dengan syarat mengetahui hukum-hukum puasa yang telah tertera dalam kitab-kitab fikih.

Dengan demikian, sudah jelas tingkatan puasa yang diuraikan oleh Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi. Di samping itu, beliau pula memberikan nasihat serta anjuran terkait sunnah-sunnah ketika berpuasa di bulan Ramadhan.

Beliau menganjurkan untuk memperbanyak ibadah seperti membaca al-Quran, banyak sedekah, memberi buka bagi orang yang berpuasa, melakukan shalat Tarawih dengan  penuh khusyuk tanpa tergesa-gesa, dan yang terpenting ialah mempersiapkan diri untuk malam Lailatul Qadar terutama pada sepuluh hari terakhir.

Adapun perkara lain yang termasuk sunnah ialah segera berbuka sebelum shalat, menggunakan buah kurma lalu air, mengakhirkan sahur dan berpuasa di hari-hari yang disunnahkan berpuasa seperti di bulan-bulan haram, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, tanggal 10 Muharram, hari Arafah, enam hari di bulan Syawal dll. Wallahu a’lam bis Showab.

Referensi: Syarah Ainiyyah Nadzom Imam Al-Quthub Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, karya Habib Ahmad bin Zein Al-Habsyi.

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.