Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Urgensi Berpikir Sehat di Era Milenial

Avatar photo
29
×

Urgensi Berpikir Sehat di Era Milenial

Share this article

Seorang filsuf Islam kenamaan asal Maroko yang hidup di abad 12 Masehi berhasil membuat sebuah cerita fiktif yang mendeskripsikan awal mula sejarah manusia berpikir. Filsuf itu bernama Abu Jakfar Ibnu Tufail dengan karyanya Hay Bin Yakzan.

Dalam karyanya itu, Ibnu Tufail bermaksud memperkenalkan urgensi berpikir seorang manusia di tengah petualangan bawah kolong langit ini. Sebuah karya yang inspiratif dan menuai banyak apresiasi besar oleh sejumlah pemikir. Di kemudian hari buku itu diterjemahkan ke aneka bahasa seperti Inggris, Perancis dan Jerman.

Hay Ibn Yakzan adalah magnum opusnya sang filsuf. Buku saku itu menceritakan tentang seorang anak bayi manusia hidup sebatang kara dalam hutan belantara di sebuah pulau terpencil.

Hay–nama bayi tersebut—diasuh dan dibesarkan oleh seekor kijang. Dari situ ia merasa aman dan nyaman sebab mendapat perlindungan dari hewan itu. Hari demi hari, ia mulai bisa mengimitasi vokal atau suara kicauan burung-burung.

Hingga seiring bertambah usia, Hay secara perlahan mulai menyadari bahwa anggota tubuh yang dia miliki berbeda dengan hewan lainnya. Maka ia pun berusaha menutup bagian tubuh yang perlu ditutup dengan setangkai daun pohon.

Tibalah waktu kematian kijang yang merawatnya. Hay merasakan kegelisahan luar biasa. Dia menangis histeris, berteriak sambil meronta-ronta, mengoyak-koyak si kijang namun jasad kijang tetap saja utuh tidak bergerak.

Bayangkan saja, hewan yang sedari bayi membantu, menemani, menjaga dan membesarkannya itu telah pergi untuk selama-lamanya. Hay mulai berpikir, bahwa ada sesuatu di luar sana yang menjadikan seekor kijang itu bergerak hidup. Nah, dari situlah Hay memulai pengembaraannya dalam mencari tahu suatu hakekat sekaligus menyingkap tabir-tabir di balik misteri kehidupan ini.

Baca juga: Al-Farabi, Filsuf Kazakhstan Penyambung Filsafat Islam dan Barat

Berpikir Sebagai Demarkasi Manusia dari Binatang

Dalam disiplin ilmu logika, kita dituntut agar berpikir secara benar, terstruktur, teratur dan sistematis. Dalam ilmu itu akan ditemukan satu bab khusus yang membicarakan tentang Definisi: kalimat penjelas atas subjek yang dimaksud. Yang kerap menjadi contoh atau misal di tengah proses pembelajaran bab tersebut adalah bagaimana cara mendefinisikan ‘manusia’.

Manusia adalah hewan berakal/berpikir Homo Sapiens. Begitu kiranya mereka mendefinisikan manusia. Artinya, manusia satu jenis dengan hewan. Hewan melakukan reproduksi biologis, begitu pun manusia. Hewan makan, minum dan berkembang biak, pun dengan manusia. Hanya saja yang menjadi pembatas, pemisah dan pembeda antara hewan dan manusia adalah keberpikiran atau akal an sich.

Dari sini berpagi-pagi perlu kita catat bahwa akal merupakan anugerah agung yang diberikan oleh Tuhan kepada kita sebagai manusia. Dalam konteks keislaman, manakala kita menggunakan akal dengan baik dan benar, dengan berpikir, mengoneksikan akal, menelaah, mencari tahu, dan mencoba membaca sederetan fenomena-fenomena yang tersaji di muka alam raya, berarti kita telah menggunakan pemberian Tuhan dan secara tidak langsung kita telah mensyukuri nikmat terbesar itu.

Hal ini berbeda dengan seseorang yang enggan mengaktifkan akalnya. Dalam artian, dia menelantarkan pemberian Tuhan itu dengan mengikuti adat-istiadat atau kebiasaan-kebiasan nenek moyang dan melakukan segala perbuatan tanpa dasar ilmu (taklid buta) serta mengikuti perbuatan akibat tekanan dan ancaman yang menyebabkan ia takut.

Syekh Mahmoud Hamdi Zaqzud dalam bukunya Al-Fikr ad-Dini wa Qadaya al-‘Ashri mengatakan bahwa jika seorang muslim memasuki salah satu dari tiga lingkaran ini (Kebiasaan,Taklid buta dan Rasa takut) hingga menyebabkan ia bersikap jumud, berarti ia sudah keluar dari koridor ajaran dan tuntutan yang ditetapkan Islam.

Baca juga: Bahasa Arab Badui Bukan yang Paling Murni

Konsistensi Berpikir Mengantar pada Hakekat

Manakala seseorang menonaktifkan akalnya dan berhenti berpikir, secara tidak sadar ia telah mematikan kehidupan dunia ini. Statemen ini barangkali sama dengan apa yang diutarakan oleh seorang filsuf barat tersohor Rene Descartes yang menganalogikan ‘berpikir’ dengan ‘wujud/esensi’ lewat pernyataannya, “Aku berpikir, maka Aku ada.

Begitu pun dengan agama Islam yang senantiasa membimbing manusia ke jalan yang lurus dan mengajak manusia berpikir. Betapa tidak, manakala kita membaca kitab suci Al-Qur’an, di situ banyak ditemukan ayat-ayat yang berisikan perintah agar kita berpikir, bertadabur, merenung, mengambil ibrah dan lain sebagainya.

Pun dalam hadits–sumber ajaran kedua agama Islam Sunni—ditemukan redaksi yang memiliki keserupaan dengan pernyataan Descrates. Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa yang mengenal hakikat dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.”

Hasil pembacaan antara statemen Descrates dan sabda Rasulullah Saw. ini dapat kita simpulkan bahwa apabila manusia hendak mencari tahu suatu hakekat, hendaknya ia terlebih dahulu berpikir, kemudian mempertanyakan kepada diri sendiri, Siapakah saya? Dari mana saya berasal? Mengapa saya ada? Siapakah yang mengadakan saya? Apakah saya benar-benar ada? Karena tanpa berpikir dan bertanya seperti ini sangat amat sulit bagi seorang manusia untuk sampai kepada puncak hakekat.

Di samping itu, kegiatan berpikir juga mampu mengantarkan manusia kepada suatu perkara yang belum diketahui sebelumnya.

Pendek kata, akal merupakan salah satu wasilah atau perantara bagi seseorang dalam mengidentifikasi suatu informasi, pengetahuhan, wawasan dan ilmu. Hal ini bisa kita saksikan dari beberapa segmen di panggung sejarah keilmuan umat Islam era terdahulu.

Mereka berhasil menemukan penemuan-penemuan baru di berbagai macam bidang dengan menggunakan metodologi riset dan eksperimen. Dalam bidang kedokteran misalnya, dinahkodai oleh Ibnu Sina (w. 370 H), Ibnu Zakariya ar-Razi (w. 313 H) dan Ibnu Nafis (w. 696 H). Ada lagi yang berhasil menemukan metode ilmiah yang kerap dinamakan metode deduktif atau al-Istiqra`i, beliau adalah Ibnu al-Haitsam (w. 411 H). Wallahu’alam bi as-Shawab.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan Azhima

    Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.