Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Urgensi Ilmu Nahwu, Gagal Paham Bisa Salah Tafsir

Avatar photo
34
×

Urgensi Ilmu Nahwu, Gagal Paham Bisa Salah Tafsir

Share this article

Siapa yang tidak mengenal kebesaran Imam Abu Yusuf (w. 182 H)? Satu dari dua murid terbaik Imam Abu Hanifah Nu’man (w. 150 H) selain Imam Muhammad Ibn Al-Hasan Asy-Syaibani (w. 189 H). Orang besar yang lahir dari rahim Imam Besar Pendiri mazhab Hanafi. Kiprahnya di dunia Fikih sangat besar, sehingga Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa perlu untuk menjadikannya Grand Qadhi di era kepemimpinannya.

Di sisi yang lain, pada zaman dan daerah yang sama, hidup juga pakar Nahwu terkemuka, pimpinan orang-orang Kufah di zamannya, Al-Imam Abu Al-Hasan Ali bin  Hamzah (w. 189 H) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Kisa’i. Pamornya dalam dunia Nahwu sangat jamak diketahui, meskipun beliau juga pakar di bidang yang lain, seperti ilmu Qiraat.

Suatu waktu, Al-Kisa’i hendak menunjukkan kepada khalayak ramai akan pentingnya ilmu Nahwu yang ia kaji selama ini. Terlebih kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Grand Qadhi waktu itu, Imam Abu Yusuf.

Tibalah waktu ketika Al-Kisa’i memutuskan untuk mendatangi Sang Khalifah di istana.

“Wahai Amirul Mukminin, apakah Anda mengizinkan saya untuk menanyai Abu Yusuf perilah masalah fikih?”

Khalifah tentu sangat heran dengan pertanyaan yang barusan didengarnya. Seorang ahli Nahwu berani menanyai atau menguji Grand Qadhi di bidang yang digelutinya, Fikih.

“Apakah Anda hendak menguji Abu Yusuf dalam bidang Fikih? Ini sesuatu yang aneh bagiku, bidang Anda Nahwu, sedangkan yang Anda ingin uji telah lama menggeluti bidang Fikih. Bahkan Anda pun tahu siapa Abu Yusuf ini. Beliau adalah murid terbaik dari Imam Besar Abu Hanifah. Bagaimana mungkin Anda berani seperti itu?”

“Iya, saya tahu, Tuan. Tidak menjadi masalah.”

Baca juga: Membandingkan Ushul Nahwu dan Ushul Fikih

Di riwayat yang lain, Imam Al-Kisa’i punya keyakinan kuat: siapapun yang telah mutabahhir (berpengetahuan mendalam) di bidang Nahwu, maka ia pun akan mampu mengerti dengan sangat baik di bidang Fikih.

“Kalau begitu, silahkan.”

Dari sinilah terjadi percakapan yang menarik antara Al-Kisa’i dan Abu Yusuf—rahimahumallah.

“Wahai Abu Yusuf, apa yang terjadi jika ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya: أنت طالق إن دخلت الدار (menggunakan in). Dan orang yang lain mengatakan ke istrinya :أنت طالق أن دخلت الدار (menggunakan an). Perempuan manakah yang terkena hukum talak atau cerai?”

Abu Yusuf menjawab, “Kesemuanya tertalak, baik dengan redaksi an ataupun in.

“Anda salah, Abu Yusuf.” Abu Yusuf tertegun dengan balasan Al-Kisa’i.

Al-Kisa’i lalu menerangkan, “Istri yang kepadanya diucapkan أنت طالق أن دخلت (menggunakan an) inilah yang tertalak. Karena dengan menggunakan redaksi ini, si suami berarti memberikan informasi atas kejadian yang telah lewat. Yaitu kamu tertalak, karena telah masuk rumah. An di sini disebut sebagai An Masdariyyah yang bisa menasabkan fi’il mudhori’. Maka an beserta fi’il yang dimasukinya, baik madhi atau mudhori’ bisa ditakwil menjadi mashdar, dijarkan dengan lam, sehingga menjadi انت طالق لدخولك الدار (kamu tertalak karena memasuki rumah). Dialah yang tertalak.”

Ia melanjutkan, “Adapun yang mengucapkan أنت طالق إن دخلت الدار (menggunakan in), maka in di sini adalah In Syarthiyyah, dan syarat itu akan jatuh setelah kejadian, berarti perempuannya belum memasuki rumah. Maka belum tertalak.”

Kemudian Imam Al-Kisa’i melanjutkan pertanyaan yang kedua:

“Jika ada seorang bertanya kepadamu, أنا قاتلٌ غلامَك (dengan tanwin) , dan yang lainnya bertanya, أنا قاتلُ غلامِك (dengan idhofah). Manakah yang musti diadili?”

Abu Yusuf dengan tegas menjawab:

“Keduanya diadili, karena membunuh orang yang dilarang untuk dibunuh.”

“Anda salah lagi, Abu Yusuf.”

Abu Yusuf semakin dibuat bingung.

“Bagaimana saya bisa salah, Al-Kisa’i?”

“Yang mengucapkan أنا قاتلُ غلامِك  (dengan idhofah), berarti ia memberikan informasi kalau ia melaporkan dirinya telah membunuh seseorang. Dan inilah yang diadili. Tapi yang mengucapkan أنا قاتلٌ (dengan tanwin), ia memiliki makna mustaqbal, masa yang belum terjadi. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Kahfi ولا تقولن لشيء إني فاعلٌ ذلك غدا (Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi). Jadi pembunuhan belum terjadi. Dan ini belum bisa diadili.”

Baca juga: Dimensi Sufistik dalam Kitab Nahwul Qulub Imam Al-Qusyairi

Dari kejadian ini, Abu Yusuf benar-benar mendapatkan pelajaran yang luar biasa mengenai urgensi Ilmu Nahwu. Sejak itu, dia memutuskan diri untuk berguru kepada Imam Al-Kisa’i. Dan dari sini juga, Abu Yusuf mulai sadar, ternyata seseorang tidak akan mampu berfatwa sebelum ia benar-benar mengerti betul seluk-beluk Bahasa Arab, termasuk di dalamnya adalah Ilmu Nahwu.

Kisah ini diceritakan oleh guru kami Syekh Hasan Utsman hafidzahullah Sabtu kemarin saat Dars Kitab At-Tuhfah As-Saniyyah.

Lantas, apakah Ilmu Nahwu juga akan membantu juga di belahan negara yang masyarakatnya tidak menggunakan bahasa Arab mengingat hukum idhofah, tanwin, dan kaidah Nahwu selainnya tidak ada?

Peranan Nahwu tidaklah terbatas hanya untuk menganalisa peminta fatwa dalam bahasa Arab seperti kasus Abu Yusuf di atas.

Di antara buah manfaat yang kita dapat dari mempelajari Nahwu, adalah kita bisa memahami kalam berbahasa Arab dengan pemahaman yang benar. Mengingat, dua sumber inti syariat Islam, Al-Quran dan Hadits, pun menggunakan bahasa Arab. Maka tanpa ilmu Nahwu dan Ilmu-ilmu Bahasa Arab lainnya, seseorang tidak akan mampu memahami Al-Quran dan Hadits dengan baik dan benar.

Syekh Hasan Utsman menambahkan, pun seorang mufassir Al-Quran. Tanpa Ilmu Nahwu dan Ilmu Bahasa Arab lainnya, penafsir Al-Quran akan kebingungan memahami setiap diksi yang digunakan dalam ayat Al-Quran.

Seperti tafsiran ayat:

يوسف أعرض عن هذا، واستغفري لذنبك، إنك كنت من الخاطئين

Kalaulah kita melihat secara lahir kata perkata yang digunakan, di sana ada keanehan. Khitob yang terakhir ditujukan kepada perempuan, tapi jamak yang digunakan setelahnya adalah jama’ mudzakar salim. Serta, kenapa redaksinya menggunakan الخاطئ tidak menggunakan المخطئ . Apa perbedaan dari keduanya? Ini akan bisa dipahami, jika seseorang belajar Ilmu Nahwu dan Ilmu-ilmu Bahasa Arab lainnya.

Kalau Ilmu Nahwu saja ia buta, bagaimana ia bisa menjelaskan hukum-hukum Islam dan kandungan Al-Quran Hadits dengan benar? Wallahu a’lam.

Kairo, 23 September 2021

Kontributor

  • Turoobul Aqdam

    Bernama asli Kamal Abdillah. Asal Pati Jawa Tengah. Belajar dan nyantri di Mathali’ul Falah Kajen, kemudian melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir.