Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Wabah dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik (Part 1)

Avatar photo
14
×

Wabah dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik (Part 1)

Share this article

Di negeri ini sedang terjadi pandemi mengerikan yang
tak bisa dibayangkan, ketika orang-orang berjalan tiada yang mereka lihat
selain pasar-pasar yang kosong, jalanan yang sepi, pintu-pintu  yang tertutup dan hampir semua masjid sepi
dari jamaah.

Dengan ibarat tersebut, sejarawan Ibnul Jauzi
(597 H) menggambarkan pandemi yang mengerikan yang terjadi di tahun  449 H., ketika itu dunia repot dan orang-orang
dipenuhi dengan rasa takut, seperti yang terjadi pada saat sekarang dengan pandemi
Covid-19!!

Pandemi yang belum lama terjadi, berdampak pada
perubahan yang detil dalam dunia kita; Menghentikan kesibukan manusia,
meliburkan sekolah dan kuliah, menunda perjalanan dan  membatalkan banyak agenda.

Saling menjauhkan antar sesama dan memaksa orang-orang
harus berdiam diri dan terisolasi dalam rumah mereka. Hanya saja ada di antara orang
Islam,  mereka sepakat dan tidak bingung dengan
semua urusan di atas.

Namun mereka tidak sepakat dalam urusan shalat (Jumat
dan jamaah) yang karenanya mereka pasti berkumpul, mereka  harus meninggalkan masjid yang mereka biasa
datangi lima kali dalam sehari semalam.

Ketika pemerintah negara Islam sudah berkumpul–dengan
perbedaan politik yang ada––untuk menutup semua tempat berkumpul termasuk di antaranya
adalah masjid dan tempat ibadah,  apalagi
penutupan tersebut dilakukan atas persetujuan banyak lembaga fikih dan lembaga
fatwa.

Ada satu hal yang terlepas dari beberapa dai dan
penceramah mengenai hal tersebut (mereka masih menganjurkan ke masjid), kalaupun
semuanya tentu sepakat untuk tidak melepaskan masjid dari hati seorang muslim,
khususnya selalu menghadirkan ka’bah yang saat ini pelatarannya sudah sepi dari
orang-orang yang thawaf, iktikaf dan sujud.

Buku-buku fikih dan sejarah menceritakan pada
kita banyak kejadian dan peristiwa yang dapat meniadakan shalat seperti shalat Jumat
dan jamaah,  hal tersebut disebabkan oleh
banyak hal dan pandemi adalah salah satu sebabnya.

Dua kota suci Mekah dan Madinah juga tidak luput
dari penghentian jamaah ini, saya larang kalian untuk bertanya bagaimana dengan
tempat suci yang ketiga yaitu al-Quds. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan
peristiwa yang paling nyata dan sebab yang paling penting dalam peniadaan salat
jamaah, tentu tanpa membahas detail perbedaan fikih dalam tema ini.

Mengisolasi Diri

Pada ranah individu, banyak buku fikih
menjelaskan keadaan-keadaan seseorang dibolehkan meninggalkan masjid serta
tidak mengikuti  jamaah salat lima waktu
dan salat Jumat.

Bila seorang muslim takut akan bahaya dirinya
sendiri dan orang lain, baik bahaya tersebut berasal dari penyakit, khawatir
akan rasa aman, bencana alam atau bahkan masalah yang ada dalam diri sendiri.  

Pembahasan yang detail dalam masalah tersebut,
tentu sudah dibahas secara luas dalam buku-buku fikih pada semua madzhab, di antara
ulama yang lebih  dahulu menjelaskannya
adalah imam Syafi’i ( 204 H).

Beliau menjelaskan beberapa alasan syar’i yang membolehkan
seseorang meninggalkan salat Jumat, alasan pertama yang beliau sebutkan adalah
sakit. Mungkin saja di antara sebab-sebab untuk meninggalkan shalat jamaah adalah
rasa takut karena akan dideportasi oleh pemerintah. 

Beliau katakan dalam kitabnya al-Umm:
Bila seseorang takut menghadiri salat Jumat karena akan ditahan oleh pemerintahan
tanpa alasan, maka ia boleh untuk meninggalkan salat Jumat.

Terdapat hal yang lebih ringan dari sebab di
atas, keringanan meninggalkan salat Jumat berlaku bagi orang yang sedang berhutang
sementara ia dalam keadaan sulit tidak memiliki apapun yang dapat ia gunakan
untuk membayar hutang, ia takut orang yang berhutang akan melaporkan dan memenjarakannya.

Imam syafi’i berkata dalam al-Umm : Kalau
orang yang berhutang sedang dalam kesusahan dan ia sembunyi tidak menampakan
dirinya di depan orang yang menghutangi, ia boleh  saja meninggalkan salat Jumat.

Begitu pula sebaliknya, orang yang menghutangi
boleh saja meninggalkan salat Jumat karena khawatir orang yang berhutang tidak
datang salat Jumat. Imam Badruddin Aini (855 H)  mengambil intisari sebuah hadits dalam Umdatul
Qori’ Syarh Shohih Bukhori
, orang yang menghutangi boleh saja meninggalkan
salat jamaah agar orang-orang yang memiliki hutang tidak segan untuk
mengikutinya.

Begitu juga ketika takut akan fitnah, tidak
hanya satu ulama saja yang membolehkan mengisolasi  diri ketika terjadi keributan politik atau
yang lainnya, seperti yang dinukil oleh imam Dzahabi (748 H) dalam Siyar a’lām
nubalā`
dari imam Muthrof bin Abdulllah bin Syākir (95 H) bahwa ketika
orang-orang sedang panik (saling membunuh) maka ia akan berdiam diri dalam
lubang rumahnya serta tidak mengikuti salat Jumat dan salat jamaah  sampai fitnah tersebut mereda.

Kemungkinan yang menyebabkan sang imam
membolehkan meninggalkan salat Jumat dan jamaah adalah takut ada bahaya yang
lebih besar. Boleh meninggalkan salat tersebut bila dengan mengerjakannya dapat
menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Ada kisah tentang imam Malik (179 H), kisah yang
lebih mirip dengan terjadinya wabah pada masa akhir hayatnya, beliau tidak
keluar rumah lalu berangkat ke masjid Nabawi selama delapan belas tahun. Kisah
tersebut disampaikan imam Qurthubi (672 H) dalam kitabnya at-Tadzkiroh.

Masalah yang sama adalah ketika penguasa daulah Abbasiyah al-Makmum (218 H) memaksa orang-orang untuk mengakui al-Qur’an sebagai  makhluk,  ibnu Aibak ad-Dawādāri  (wafat setelah 736 H) berkata dalam kitab Kanzu ad-Duror dan Jami al-Ghoror: Tahun 218 H:

“Merupakan permulaan ujian yang sangat berat dan munculnya perkataan al-Qur’an sebagai makhluk serta membunuh para ulama yang tidak mau mengakuinya, mereka banyak yang bersembunyi di dalam rumah serta tidak mau pergi untuk menunaikan salat di masjid, di antara mereka ketika itu sudah banyak sekali yang dibunuh.

Berdasarkan semua dalil di atas, bahwa seseorang
atau sekelompok kecil yang meninggalkan salat Jumat atau jamaah, sama sekali
berbeda dan tidak sama dengan menutup masjid serta melarang semua orang melaksanakan
salat Jumat dan jamaah.

Peniadaan salat jamaah dan Jumat untuk banyak
orang–kalaupun tidak dibahas oleh para ahli fikih sebagaimana mereka membahas
isolasi diri- banyak sekali terjadi dalam sejarah Islam yang sebabnya bersifat memaksa.
Hal ini yang akan coba kita pada paragraf-paragraf selanjutnya.

Pandemi yang Mengerikan

Telah terjadi peristiwa yang mengejutkan pada pandemi
Emmaus (sebuah desa di Palestina yang terletak 28 KM di sebelah timur laut kota
Yafa dan telah dihancurkan oleh Yahudi pada tahun 1967 M) yang menyebar di negeri
Syam pada tahun 18 H.  

Pandemi 
ini menyebabkan korban jiwa dari kalangan sahabat dan tabiin pilihan
yang sangat banyak dan bertambah mengerikan dengan banyak korban penduduk kota
Syam, hal tersebut menjadikan khalifah umar (23 H) bersumpah untuk tidak makan
lemak, susu dan daging agar orang-orang bisa tetap hidup.

Sebagaimana yang diriwayatkan oleh sejarawan
Ibnul Atsir (630 H) dalam kitab al-Kamil, kalaupun seperti itu berita
tentang detil kehidupan keseharian yang diantaranya adalah mendirikan salah Jumat
dan jamaah sangat sedikit sekali, saya dapat kabar yang amat menyedihkan dari
akhir tragedi tersebut, korban dari pandemi tersebut sangat tinggi. Riwayat
dalam kitab tersebut juga senada dengan banyak riwayat yang terdapat dalam buku
turats.

Imam Ahmad (241 H) juga meriwayatkan dalam kitab
al-Musnad hadits dari Syahr bin Hausyab (112 H) dari ayah angkatnya
bahwa dia mengalami masa pandemi Emmaus, pada masa itu yang menjadi gubernur adalah
Abu Ubaidah bin Jarrah yang meninggal sebab pandemi tersebut.

Ia kemudian digantikan oleh Muadz bin Jabal yang
juga kemudian meninggal karena pandemi yang sama, selanjutnya digantikan lagi
oleh Amr bin Ash (43 H), dia berdiri dan berkhutbah di depan orang-orang: “Hai
sekalian manusia, ketika sebuah pandemi muncul, maka nyalanya seperti nyala
api, maka larilah kalian darinya ke puncak gunung, dalam riwayat lain, maka
berpisahlah kalian semua menuju puncak gunung dan perut-perut lembah.”
 

Lalu dia  (imam Ahmad) berkata, Abu Watsilah al-Hudzali
berkata : “Kau bohong, sungguh saya telah menemani Rasul SAW, kau lebih
buruk dari keledaiku (ejekan karena  baru
masuk Islam pada masa-masa akhir).”
Lalu Amr berkata : “Demi Allah saya
tidak menolak apa yang kau katakan, sungguh kami tidak akan menghukumi dengan
hal tersebut”
.

Lalu ia keluar dan orang-orangpun keluar dan
berpisah darinya, kemudian Allah membelanya atas mereka, ketika berita tersebut
sampai kepada Umar bin Khotob, ia berkata : “Demi Allah beliau tidak
membenci pendapatnya.”

Pada hakikatnya riwayat-riwayat tersebut saling
bertentangan satu sama lain, apakah orang-orang akhirnya mengambil pendapatnya
atau tidak. Namun penyelesaian pandemi ini sangat masuk akal sekali, pendapat
agar orang-orang berpencar di  puncak, lereng
gunung, dan perut lembah.

Pendapat tersebut diriwayatkan secara mutawatir dari
Amr bin Ash, diriwayatkan dari jalur yang mutawatir oleh Abu Ja’far at-Thobari
(310 H) dalam Tahdzibul Atsar, ibnu Khuzaimah (9311 H) dan Ibnu Hibban
(354 H) dalam kedua kitab shohihnya.

Berdasarkan riwayat diatas, Amr bin Ash
–sepengatuhan kami- adalah orang pertama yang berpendapat dengan isolasi diri dari
kehidupan sosial untuk menghadapi pandemi, berpencar di puncak gunung dan perut
lembah tentu menghalangi-tidak diragukan lagi- orang-orang untuk mengerjakan
salat Jumat dan jamaah, sebab secara syara’ salat jum’ah tidak diwajibkan
kecuali bagi penduduk desa, kota dan penduduk setempat.

Ketika orang-orang saling berbeda pendapat untuk
melaksanakan perintah Amr bin Ash atau menolaknya, kita tidak berhak memastikan
bahwa para sahabat dan tabi’in pada saat ada pandemi banyak yang meninggalkan
salat Jumat dan jamaah, namun paling tidak kita memiliki dalil ajakan untuk
melakukan isolasi diri sejak masa sahabat.

Penyebab keributan dari pendapat Amr adalah Abu
watsilah al-Hudzali, dia merupakan sahabat yang tidak dikenal kecuali dalam
riwayat  ini. Dalam riwayat yang lain,
yang  mendebat pendapat Amr adalah Syurhabil
bin Hasanah yang meninggal karena pandemi ini.

Ia menolak berdasarkan pemahamannya atas hadist Nabi SAW untuk tidak menjauh  dari pandemi, namun Amr memahami hadits bahwa larangan tersebut adalah larangan untuk menjauh ke negeri lain karena khawatir akan menularkan pandemi, bukan larangan untuk menjauh ke tempat yang tidak berpenghuni seperti di puncak gunung dan perut lembah.


Catatan: Serial sejarah “Waban dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik” merupakan ulasan yang mendalam mengenai keringanan untuk meninggalkan segala ritual keagamaan demi menjamin keselamatan jiwa.

Serial ini disadur dari kanal berita Aljazeera.net yang diunggah pada 24 Maret 2020. Redaksi Sanad Media merasa penting untuk mengangkat tema ini dengan tujuan dapat memetik pelajaran yang berharga dari catatan para ulama klasik Islam.

Tulisan berseri ini dibagi menjadi 4 bagian, dengan judul yang berbeda-beda. Redaksi menganjurkan membaca seluruhnya untuk mendapat pemahaman yang utuh.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.