Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Wabah dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik (Part 2) “Tragedi Kota Mekah”

Avatar photo
34
×

Wabah dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik (Part 2) “Tragedi Kota Mekah”

Share this article

Buku-buku sejarah Islam banyak menyebutkan
masjid didiamkan karena pandemi yang sering terjadi, bahkan kota Mekah dan
ka’bah sendiri tidak lolos dari pandemi tersebut.

Di antara riwayat yang menyebutkannya adalah dari
Ibnu Hajar (852 H) dalam bukunya Inbāul al-Ghumri bi abnā`il Umar yang memuat
peristiwa penting di tahun 827 H,  dia mengatakan,
pada permulaan tahun ini, di kota Mekah terjadi pandemi hebat sehingga mengakibatkan
orang yang meninggal dalam satu hari  sampai
empat puluh orang.

Keseluruhan yang meninggal pada bulan Rabiul
awal saja ada seribu tujuh ratus jiwa, ketika itu imam di maqom Ibrahim (dari
madzhab syafi’i) ketika menunaikan tidak ada yang jadi makmum selain dua orang
saja, sementara madzhab lain meniadakan salat berjamaah karena tidak ada yang bisa
berjamaah dengan imam.

Saya tidak mengetahui, apakah peniadaan salat jamaah
ini berlangsung di seluruh kota  Mekah
yang terjadi secara darurat dengan sebab kematian, penyakit dan sibuknya
orang-orang mengurusi orang yang sakit serta menguburkan atau karena
orang-orang tidak berani berkumpul karena takut dengan penyebaran pandemi?

Jumlah orang yang meninggal hingga seribu tujuh
ratus jiwa hanya dalam waktu dua atau tiga bulan saja tidak menunjukan bahwa
kematian dan penyakit tidak menghalangi orang-orang pergi ke masjid sehingga
membuat keadaan sangat sepi, pendapat yang kuat bahwa mereka menahan untuk
pergi ke masjid karena takut akan penyebaran pandemi.

Pada beberapa abad sebelumnya, Ibnu Adzari
al-Marokisyi dalam al-Bayan al-Maghrib fi akhbar andalus wal
maghrib
, di Tunis juga telah terjadi pandemi hebat pada tahun 395 H.
Pandemi tersebut memberi dampak kesusahan yang sangat besar hingga membuka
batas-batas manusia.

Harga-harga barang jadi mahal, bahan makanan
kosong, banyak orang mati baik ia kaya atau miskin, orang-orang tidak ada yang
mengeluarkan uang selain untuk berobat, menjenguk orang sakit atau mengurus
jenazah dan orang sakit. Menjadikan masjid di daerah Qoiruwan kosong.

Di Andalusia juga pernah terjadi pandemi yang
serupa, imam Dzahabi dalam Tarikh al-Islam menceritakan kejadiannya pada
tahun 448 H, dia berkata: Pernah terjadi kegentingan dan pandemi hebat di
Andalusia, banyak korban mati di Sevilla, mengakibatkan banyak masjid  ditutup dan tidak ada yang mengerjakan salat
di dalamnya.

Beliau juga menyebutkan dalam Siyar A’lam
an-Nubala,
kegentingan di Andalusia sangat hebat, sebelumnya belum pernah
terjadi kegentingan dan pandemi yang sama, sehingga masjid-masjid selalu
tertutup dan tidak ada orang yang mengerjakan salat di dalamnya. Tahun tersebut
disebut sebagai tahun paceklik yang mengerikan.

Pada tahun berikutnya (449 H) Ibnu Jauzi
mengisahkan kepada kita detil yang mengerikan dari pandemi hebat ini, pandemi
ini dengan sangat cepat menyebar dan membunuh.

Menyebar sampai wilayah yang sekarang dikenal
dengan nama Asia Tengah dan melenyapkan hingga dua juta manusia, lalu menyebar lagi
ke barat sampai mendekati negeri Irak, beliau berkata: Pada bulan Jumadil akhir
tahun 449 H ada buku yang berasal dari daerah di belakang sungai bahwasanya di negeri
ini pernah terjadi pandemi mengerikan yang tidak dapat dikendalikan.

Dalam satu hari saja dari daerah tersebut keluar
delapan belas ribu jenazah menuju pemakaman, saya menghitung jumlah yang meninggal–sampai
buku ini ditulis sudah mencapai satu juta enam ratus ribu lima puluh ribu jiwa.

Sejarawan tersebut juga menggambarkan
situasi  yang terjadi seolah situasi
dunia yang saat ini sedang terjadi, dunia yang penuh diliputi dengan kecemasan
dan ketakutan dengan pandemi Corona dan  memaksa
situasinya harus mati dan senyap.

Orang-orang berjalan di negeri tersebut dan
tidak melihat kecuali pasar yang kosong, jalanan yang sepi, pintu-pintu yang
tertutup, perdagangan dan segala urusan dunia tergulung sempurna. Kesibukan
orang-orang baik di malam dan siang hari adalah memandikan orang-orang mati, mengkafani
dan mengubur mayat. Sebagian besar masjid kosong dari jamaah.

Kebahagiaan yang Tertunda

Di Mesir juga pernah
terjadi pandemi mengerikan yang terjadi pada tahun 749 H, pandemi tersebut di eropa
dikenal dengan kematian hitam, imam Maqrizi (845 H) dalam as-Sulȗk li
ma’rifati Duwalil Mulȗk
menyoroti dampak-dampak sosial dari pandemi hebat ini:

“Kebahagiaan dan
perayaan pengantin akhirnya ditunda oleh orang-orang, tidak diketahui ada orang
yang merayakan perayaan kebahagiaan di tengah pandemi ini, tidak terdengar
suara lagu, adzan berhenti dikumandangkan dari banyak tempat, hanya ada satu
tempat yang masih mengundangkan dan itupun hanya satu azan.”

Sejarawan Ibnu Tughri
Bardi (872 H) dalam kitabnya an-Nujȗm az-zāhirah menyebutkan seperti
yang disebutkan oleh Maqrizi dan menambahkan bahwa masjid-masjid ditutup begitu
juga zawiyah-zawiyah.”

Kebalikan dari hal-hal
yang sudah digambarkan di atas, buku-buku sejarah juga merekam cara orang menghadapi
pandemi dengan berkumpul di masjid-masjid dan beribadah, tercatat dalam
manuskrip kitab karangan sejarawan Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman
al-Qursyi ad-Dimasyq  as-Syafi’i (780 H)
yang berjudul Syifa’ul al-qolb al-Mahzȗn fi bayani mā yata’allaqu bit tā’un
bahwa pernah terjadi pandemi hebat di tahun 764 H.

Orang-orang pada saat
itu memperoleh kebaikan yang berlimpah dengan menghidupkan siang dan malam dengan
berbagai ibadah, puasa, sedekah dan taubat. Kami meninggalkan rumah-rumah dan
mendiami masjid baik lelaki, anak kecil dan perempuan.

Ibnu hajar memiliki tanggapan
yang cerdas seputar penyebaran pandemi ini setelah orang-orang mengadakan
perkumpulan ini, beliau menyebutkan dalam in’bāul ghumri bahwa pandemi
yang terjadi pada tahun 833 H. ada salah satu pemimpin wilayah yang bernama
Syihabuddin Syarif mengumpulkan empat puluh orang keturunan Nabi SAW yang
semuanya bernama Muhammad.

Ia memberi kepada mereka
semua harta, mereka semua lalu membaca beberapa ayat al-Qur’an setelah salat Jumat
di masjid al-Azhar, ketika sudah mendekati waktu Ashar , bacaan al-Qur’an
mereka berhenti dan dilanjutkan dengan berdo’a dan meminta, banyak orang yang
turut serta bersama mereka, ada orang non Arab yang berkata kepada salah satu
syarif bahwa hal seperti ini dapat menolak pandemi.

Ibnu Hajar menanggapi
kegiatan tersebut dengan ucapannya: “Ketika hal tersebut dilakukan, tidak
ada perubahan yang terjadi pada pandemi selain lebih cepat menyebar.”

Ibnu Hajar juga
mempunyai tanggapan cerdas yang lain  terkait
dengan percepatan penyebaran pandemi setelah sepulang orang-orang dari haji
dari daerah Hijaz. Ketika terjadi pandemi di wilayah Mesir tahun 848 H, jumlah
yang meninggal ketika itu sekitar tiga ratus orang, tapi jumlah tersebut cepat
bertambah dan parah ketika orang-orang pulang dari haji.

Sehingga jumlah
orang-orang yang meninggal sangat besar terlebih anak-anak dan budak, diriwayatkan
jumlahnya mencapai ribuan dalam sehari saja, hal tersebut sangat dimungkinkan
karena orang-orang menyambut jamaah haji yang datang, mengunjungi dan
berdesakan sebab kedatangan mereka. Semua itu mempunyai dampak yang besar dalam
penyebaran pandemi ini.

Di antara tanggapannya
yang cerdas terkait tema ini, ada salah satu ahli fikih yang berpendapat untuk mengisolasi
diri –kalaupun seperti layaknya orang yang sedang sakit-adalah upaya untuk
menyelamatkan diri dari pandemi.

Dalam tarjamah Ibnu
Hajar tentang Ibnu Jaradah al-Halabi al-Hanafi (819 H)  ketika terjadi pandemi pada tahun 819 H ini
beliau amat sangat khawatir, perilakunya ketika itu berubah dengan membiasakan
diri melakukan segala upaya yang dapat mencegah penyebaran berupa do’a-do’a dan
ruqyah

Beliau juga pura-pura
sakit agar tidak melihat mayit dan tidak diundang untuk menghadiri pengurusan
jenazah, hal tersebut karena beliau teramat takut dengan kematian, kemudian
yang terjadi Allah menakdirkannya selamat dari pandemi tersebut.

Di antara cerita unik
dalam sejarah, ada yang mengkhususkan dirinya untuk melakukan isolasi serta
menjauhkan dirinya dari masyarakat 
kalaupun harus meninggalkan kota mereka, apa yang disebutkan oleh imam
Hanbali al-Halabi (971 H) dalam kitabnya Durrul Hibab fi Tarikh Halb ketika
menerjemahkan muridnya Syah Muhammad Dakni (952 H).

Dia berkata, ketika terjadi pandemi, ayahnya bersama orang-orang yang bersamanya pergi menjauh ke ladang, dia sangat takut dengan kematian, lalu Allah menakdirnya selamat ketika itu, namun tetap  saja orang tuaku meninggal pada masa pandemi yang lain.


Catatan: Serial sejarah “Waban dan Bencana dalam Catatan Ulama Klasik” merupakan ulasan yang mendalam mengenai keringanan untuk meninggalkan segala ritual keagamaan demi menjamin keselamatan jiwa.

Serial ini disadur dari kanal berita Aljazeera.net yang diunggah pada 24 Maret 2020. Redaksi Sanad Media merasa penting untuk mengangkat tema ini dengan tujuan dapat memetik pelajaran yang berharga dari catatan para ulama klasik Islam.

Tulisan berseri ini dibagi menjadi 4 bagian, dengan judul yang berbeda-beda. Redaksi menganjurkan membaca seluruhnya untuk mendapat pemahaman yang utuh.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.