Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Yang tidak Nabi lakukan, belum tentu haram

Avatar photo
41
×

Yang tidak Nabi lakukan, belum tentu haram

Share this article

Sebagian orang menilai, bahwa setiap hal yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad dan para sahabat adalah perkara baru yang tidak boleh dilakukan oleh umat Islam. Oleh karenanya, mereka sering berdalil dengan bertanya balik: “Apakah hal ini pernah dilakukan oleh Nabi atau para sahabat?” untuk mengharamkan masalah keagamaan yang diajukan. Namun apakah memang demikian cara berpikir yang benar yang sering mereka sebut sebagai manhaj salaf?

Ulama bersepakat, bahwa sikap tarku (meninggalkan) yang dilakukan oleh Nabi, bukan salah satu metode dalam berdalil. Dalam menetapkan hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah, para mujtahid menggunakan: 1) al-Quran, 2) Hadis, 3) Ijmak atau kesepakatan para mujtahid, dan 4) Qiyas.

Selain empat hal ini, ada metode lain yang hanya saja masih berstatus muktalaf fih (diperselisihkan ulama). Itu artinya sebagian mazhab ada yang menggunakan metode berikut, tidak dengan mazhab yang lain. Sebut saja di antaranya: 1) Pendapat sahabat, 2) Saddudz-Dzarî’ah, 3) Pengamalan penduduk kota Madinah, 4) Hadis daif, 5) Hadis mursal, 6) Istihsân dan lain seterusnya. Tentunya, dalam setiap poin dari metode penggalian hukum ini memiliki syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi.

Akan tetapi, dari sekian banyak metode untuk mencetuskan suatu hukum, tidak ada satu pun ulama yang menawarkan metode tarku (meninggalkannya Nabi terhadap suatu urusan) sebagai salah satu dalil. Tarku menurut kesepakatan ulama, tidak dapat memunculkan hukum sama sekali. Terdapat banyak nas yang menegaskan bahwa tarku ini benar-benar bukan dalil.

Imam Ibnu Hazm al-Andalusi (w. 456 H) yang dikenal sebagai ulama mazhab Zhâhiri yang ketat, beliau membantah pendapat ulama Malikiyah dan Hanafiyah yang memakruhkan shalat dua rakaat sebelum maghrib hanya karena tidak pernah dilakukan oleh Sayidina Abu Bakr, Umar dan Utsman. Beliau menyatakan:

Pendapat mereka ini tidak ada apa-apanya. Sebab riwayat yang menyatakan demikian itu bersumber dari hadis munqathi’ (salah satu perawi hadis tidak ada). Sebab Ibrahim (salah satu perawi) tidak semasa dengan para perawi yang telah kami sebutkan. Beliau (Ibrahim) baru lahir setelah Sayidina Utsman wafat beberapa tahun kemudian. Jika kita perkirakan, andai saja riwayat di atas  benar adanya, tetap saja tidak bisa dibuat hujah. Sebab para sahabat dalam riwayat tersebut nyatanya tidak melarang atau memakruhkan pelaksanaan shalat dua rakaat sebelum maghrib. Dan kami tidak berselisih pendapat dengan mereka (ulama Malikiyah dan Hanafiyah) dalam hal, bahwa meninggalkan ibadah sunah itu mubah.” (lihat: al-Muhallâ fil-Âtsâr, II/22)

Seperti yang diketahui, pendapat sahih mengenai shalat sunah sebelum maghrib dalam mazhab Syafi’i adalah sunah, berdasarkan pada hadis al-Bukhari (III/59).

Demikianlah sikap Imam Ibnu Hazm yang memandang sikap tarku-nya para sahabat. Begitu juga sikap beliau dalam memandang tarku-nya Nabi Muhammad SAW. Beliau berpendapat tentang puasa sebulan penuh di selain Ramadhan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW:

“Rasul SAW tidak pernah puasa selama sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan. Hal ini tidak lantas menunjukkan bahwa puasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan adalah makruh.” (lihat: ibid, II/36)

Selain itu, Nabi SAW juga tidak pernah berkhotbah di atas mimbar seperti sekarang ini. Akan tetapi sahabat tidak pernah memahami bahwa khotbah di atas mimbar adalah bidah atau haram dilakukan. Oleh karenanya, para sahabat membuatkan mimbar untuk Nabi. (lihat: Ahmad, III/363, at-Tirmidzi, II/379, ad-Darimi, I/29, dll.)

Nabi juga tidak pernah saat i’tidal membaca: “Rabbanâ wa laka al-hamdu hamdan katsirân thayyiban mubârakan fîh”. Akan tetapi sahabat tidak pernah memahami bahwa hal yang tidak dilakukan oleh Nabi ini adalah haram. Dalam riwayat sahabat Rifâ’ah bin Râfi’ justru Nabi mengapresiasi doa i’tidal yang diinovasikan oleh para sahabat itu. Nabi bersabda: “Aku melihat 30-an malaikat bergegas mencatat pahala doamu agar menjadi yang pertama mencatat.” (lihat: Ahmad, IV/340, al-Bukhâri, I/275, Abû Dawûd, I/204, dll.)

Sahabat Bilal tidak pernah memahami haram/bidah, shalat dua rakaat setelah wudu yang tidak pernah dilakukan Nabi. Ketika dua rakaat shalat sunah wudu ini dirutinkan oleh Bilal tanpa sepengetahuan Nabi, Nabi justru mendapatkan wahyu dan berkata: “Amalan apa yang membuatku melihat suara bakiakmu ada di surga, wahai Bilal?” Sayidina Bilal menjawab, bahwa hal itu karena rutinitas shalat sunah wudu yang beliau lakukan. (lihat: al-Bukhâri, I/366, III/1371)

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemahaman sahabat terhadap sikap tarku Nabi menunjukkan, tidak semua yang ditinggalkan oleh Baginda adalah bidah yang haram dilakukan dan pelakunya akan masuk neraka. Dari pemaparan di atas pula dapat disimpulkan pula bahwa sikap tarku Nabi, sahabat, tabiin dan tabiuttabiin ini tidaklah membuahkan hukum apa pun; wajib, haram, makruh, sunah, atau mubah.

Kontributor