Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Ziarah Makam Syekh Ahmad Al-Ja’ly di Kota Seribu Darwis

Avatar photo
25
×

Ziarah Makam Syekh Ahmad Al-Ja’ly di Kota Seribu Darwis

Share this article

Bukan perkara mudah bagi siapa saja yang nyantri di Sudan, sebagian mahasiswa menyebutnya tanah wingit (angker), niat harus direload setiap detik. Tanah gersang, cuaca yang ekstrem, tak banyak ‘santri’ yang dapat rampung sampai final. Setiap tahun ada saja mahasiswa yang “oleng”. Dan pulang dengan tangan hampa ke tanah air.

Sudan, negeri yang mereka bilang antah berantah, selalu dipandang dengan sebelah mata. Seperti maqolah Kiai Ahmad Faqih “menungso ki mung ngerti opo sing di sawang karo matane, orah eroh neng ngarepe eneh sejatine opo”.

Kurang lebih artinya “Manusia itu hanya mengetahui apa yang mereka lihat dari indra pengelihatannya (mata), akan tetapi mereka tidak mengetahui sejatinya yang ada di depannya itu apa”.

Glowing in the dark sebuah kata yang sangat pantas disematkan pada negeri ini, negeri seribu darwis (sufi). Seorang wali yang berada jauh dari Ibu Kota Khartoum. Beliau adalah Al ‘Arif Billah Syaikh Ahmad Al-Ja’ly, disemayamkan di desa Kadabas, berada 384 KM utara ibu kota Khartoum. 

Waktu tempuh ke Kadabas kurang lebih sekitar 10 jam jalur darat. Lalu, perjalanan dilanjutkan dengan perahu menyebrangi sungai Nil. Dan terkahir menggunakan mobil pick up atau biasa disebut ‘arobiyyah.

Al ‘Arif Billah Syekh Ahmad Al-Ja’ly bin Hajj Hammad bin ‘Abdullah bin ‘Ali bin ‘Abdil Majid Rofidah, kemudian nasab ini sampai ke Hibrul Ummah (pemimpin umat) Sayyiduna ‘Abdullah bin ‘Abbas Ra. Beliau lahir pada tahun 1298 H/1880 M di desa Goz Funj (Tombs Of The Quoz) selatan Berber.

Ketika usia beliau menginjak masa-masa nyantri. Ayahnya memondokkan ke pesantren Khalwah Hifdzil Qur’an Syaikh Muhammad Shodiq Al Karury di desa Banury. Khalawi atau Khalwah secara bahasa berarti tempat khalwat (menyepi). Semacam pesantren kalau di Indonesia.

Khalawi ini banyak terdapat di Sudan, biasanya tempatnya terpencil dan jauh dari keramaian, sesuai dengan namanya. Kemudian beliau melanjutkan rihlah nyantrinya ke Syaikh ‘Abdul Hamid Al Azroq di Toer Jazirah. Dan Syaikh Ahmad Al Ja’ly muda belajar berbagai disiplin keilmuan kepada beliau.

Beranjak dewasa, beliau berdagang bersama kakaknya, Muhammad Al Hajj Hammad di berbagai wilayah seperti Berber, Cordovan, dan Abyadh. Di sinilah beliau berjumpa dengan Sayyid Isma’il Al-wali Ra.

Dengan sopan dan sangat memperhatikan setiap untaian kata dan perilakunya, Sayyid Ismail memerintahkan putranya Sayyid Al-Makki untuk menemani Syeikh Ahmad Ja’ly muda kembali dari perantauannya ke Cordovan, lau beliau berpisah dengan Sayyid Al-Makki, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Hijaz untuk menunaikan Ibadah Haji.

Syekh Ahmad Al-Ja’ly mengambil sanad Thoriqoh Al-Qodiriyah pada Syaikh ‘Abdurrahman Al Khurasany. Namun, ada cerita unik, saat beliau akan mengambil sanad. Karena sebelum berbaiat Thoriqoh Qodiriyah beliau bertemu dengan Sayyid Hasan Al Mirghany di wilayah Naoery Khalwah Syaikh Shodiq Al-Karury.

Saat mengikuti Sayyid Hasan, seluruh santri beliau dibaiat Thariqoh Al-Khotmiyah kecuali Muhammad Al-Ja’ly. Sayyid Hasan berkata kepada Ahmad Al-Ja’li muda :

يَا وَلَدِيْ ! أنت طريقتك بتجيك فى مسجدك

Anakku! Thoriqohmu adalah thoriqohmu sendiri, (seorangwali) akan datang ke masjidmu.

Dan benar, Syaikh ‘Abdurrahman Al Khurasany mengadakan perjalanan ke Berber lama setelah dari Madinah Munawwaroh. Kemudian beliau mampir ke Khalwah Kadabas selama sepuluh hari. Beliau sudah mengetahui bahwa Syaikh Ahmad ada di Khalwah.

Di waktu yang sama, Syaikh Ahmad menyuruh santri ndalem keluar bersamanya utnuk menemuinya sembari dawuhan, “Kita semua setelah ini akan ditemui seorang laki-laki yang termasuk wali dari beberapa wali Allah”. Di sini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan dari berkata-kata yang tidak pantas, karena bisa kuwalat.

Dari bumi Kadabas inilah Al-Qur’an mulai berkembang, kemudian masjid di perluas, Kholawi Hifdzi Al-Qur’an dan tempat persinggahan para tamu. Dari sinilah kemudian kholawi di Sudan mulai bermunculan, seperti Kholawi Abnail Manashir, Abnail Ja’lain, Abnai Darfur, Abnai Cordovan dan lainnya.

Seperti halnya Wali Songo, sebuah mahakarya tidak hanya diukur dari sebuah kitab saja, akan tetapi kelestarian tradisi dan dilanjutkan oleh generasi selanjutnya, bahkan semakin berkembang. Generasi yang sukses ialah generasi yang mendidik penerusnya lebih sukses darinya.

Maqobiri Auliya Fil kadabas di tempat itulah Syeikh Ahmad Al-Ja’ly dimakamkan. Beliau wafat di usia delapan puluh delapan tahun. Makam ini termasuk tempat mustajab, banyak orang datang ke sana. Di samping tabarrukan dengan beliau, juga meminta doa pada dzurriyahnya selaku pengasuh khalwah.

Banyak kisah masayarakat sekita tentang karomah Syeikh Ahmad Al-Jily, termasuk yang penulis sendiri alami, yaitu beberapa orang gila yang datang ke sana. Meminta doa dan kesembuhan dengan wasilah beliau. Dua atau tiga bulan kemudian orang gila tersebut sembuh.

Kam min masyhur bibarokatil mastur adagium ini sangat terkenal di kalangan sufi. Artinya banyak orang tenar karena barokah orang mastur (wali yang menyembunyikan diri). Tak heran banyak mahasiswa yang ngalap berkah kepada para ulama Sudan dengan ngaji bersama beliau atau sowan ndalem dan mbatur minta didoakan.

Ada suatu perkataan dari Syaikh Ahmad Shiddiq At-Tijany yang terkenal di seantero Sudan, daerah Kadabas khususnya, “Man zaaro hunaka wa ta’allamal Qur’an biqiroatihi wahifdzihi wa amali bihi, wa ‘indama khoraja minhaa wa ja’alahullahu waliyyan min auliyaillah”.

Ungkapan ini bagai mantra keramat karena sangat berarti bagi siapa saja yang berziarah di sana (Kadabas) dan belajar Al-Qur’an dengan membaca, menghafal, dan mengamalkannya. Maka ketika ia keluar dari sana, ada semacam harapan hati agar kelak menjadi kekasih Allah. Wallahu A’lam.

Kontributor