Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Berita

Syekh Al-Azhar: Dua Kelompok yang Menyimpang dari Wasathiyah Islam

Avatar photo
40
×

Syekh Al-Azhar: Dua Kelompok yang Menyimpang dari Wasathiyah Islam

Share this article

Grand
Syekh Al-Azhar
Asy-Sharif, Dr. Ahmed at-Tayeb mengatakan bahwa wasathiyah atau moderasi Islam membutuhkan tanggung
jawab
kaum muslimin dalam mengemban kewajiban menjaga peradaban kemanusiaan serta melindunginya  dari penyimpangan dan dari berubahnya kemajuan mutakhir menjadi sumber kesengsaraan dan keterasingan kendati fasilitas
dan kemudahan begitu mudah didapat.

Dalam ketidakseimbangan itu, menurut
Imam
Besar Al-Azhar
, manusia mengalami kebingungan dan tidak mengetahui mana
yang benar dan mana yang salah.

Demikian disampaikan Syekh Ahmed
at-Tayeb dalam program serial Ramadhan beliau episode keempat, seperti dilaporkan
youm7.com
pada Jumat (16/4).

Pada tiga episode sebelumnya,
beliau menjelaskan bahwa karakter paling menonjol dari agama Islam adalah
wasathiyah (moderat) dan tawasuth (bersikap tengah-tengah) di setiap hukum dan
syariatnya. Bahkan menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan akidah dan ibadah.

Lebih lanjut, Ketua Majelis
Hukama al-Muslimin itu menerangkan bahwa karakteristik wasathiyah tidak dapat
dipungkiri oleh peneliti siapapun, ada dalam syariat Islam yang lurus. Agama
Islam berdiri di tengah antara paham atheisme yang anti-Tuhan di satu sisi dan
syirik atau politheisme di sisi lain. Ibadah dalam Islam berada di
tengah-tengah antara pelbagai agama yang cukup menjalankan syiar ibadahnya
dengan kontemplasi ruhani (tidak mengenal praktik peribadatan), dan agama-agama
lain yang menyerukan paham kerahiban, fokus ibadah dan lepas dari hal-hal
normal keseharian.

Syekh Al-Azhar menegaskan bahwa Islam
adalah satu-satunya agama yang menyemangati pemeluknya agar mengingat dan
menghadirkan Allah dalam laku hidup, tidak membutuhkan tempat dan tata cara
tertentu (untuk mengingat-Nya). Seorang muslim menyembah Allah; bisa sambil
berjalan di bumi untuk memakmurkan dan makan dari rezeki yang ada di atasnya.
Seorang muslim bisa menikmati makan dan minum tanpa berlebihan dan mubadzir. Seorang
muslim dapat memanfaatkan perhiasan dunia namun tanpa disertai rasa ujub,
takabur dan memandang rendah orang lain. Dengan kata lain, muslim dibebani
(taklif) ibadah-ibadah yang mudah untuk dijalankan, baik yang rutin harian,
bulanan atau bahkan sekali seumur hidup, supaya komunikasi dengan Tuhannya
tidak terputus.

Wasathiyah atau moderasi Islam,
menurut beliau, menjadi representasi dari kendali keselamatan agama ini. Melenceng
keluar dari prinsip wasathiyah sama dengan keluar dari agama itu sendiri, baik
dalam bentuk berlebih-lebihan maupun bermudah-mudah terhadap perkara agama.

Perbedaan keduanya jelas. Sikap berlebihan-lebihan
dalam agama terlihat dalam upaya menambahkan atas apa yang telah disyariatkan Allah
swt. kepada hamba. Adapun sikap bermudah-mudah tampak dalam meremehkan hukum
syariat agama. Keduanya sama-sama buruk dan tercela, karena sama-sama keluar
dari garis tengah atau keadilan. Orang yang ketat, kaku bahkan ekstrem dalam
beragama hingga mengharamkan apa yang dihalalkan atau mewajibkan sesuatu yang
sebenarnya tidak wajib, tidak lebih baik daripada orang yang berani mengeluarkan
fatwa yang isinya justru mencoreng ajaran Islam, seperti berfatwa menghalalkan
apa yang diharamkan.

Syekh Ahmed at-Tayeb melanjutkan
bahwa kedua model beragama itu justru akan mencabut Islam dari esensi agama
yang diinginkan Allah swt. dan dipraktekkan Rasulullah saw. Kaum muslimin di
setiap zaman dan tempat selalu diuji dengan kelompok-kelompok seperti itu.
Mereka menyesatkan generasi muda Islam, entah dengan propaganda “keluar dari
kungkungan ajaran agama” atau dengan beragama yang kaku, ekstrem dan menutup
diri dari lingkungan dan sosial.

Kunci agar terhindar dari bahaya
dua kelompok itu, menurut beliau, adalah dengan belajar dan bertanya kepada
ulama yang menyampaikan agama Allah dengan adil dan yang tidak takut kepada
siapapun kecuali Tuhannya.

Tiga Premis Sebelum
Bicara Wasathiyah Islam

Grand Syekh Al-Azhar Ahmed
at-Thayeb menegaskan bahwa ada tiga premis yang harus diketahui sebelum
membicarakan wasathiyah Islam.

Pertama: Al-Quran adalah sumber
pertama dan prinsip-prinsip umum universal bagi kaum muslimin dalam merumuskan
aturan-aturan sosial, ekonomi dan politik. Kerangka legislatif universal inilah
yang disebut dalam bahasa modern sebagai tsawabit (hal-hal baku yang
bersifat tetap dan permanen) dalam syariat. Adapun model-model terapan yang terus
berubah itu disebut dengan mutaghayyirat (hal-hal yang mengalami pergantian).
Hukum-hukum al-Quran yang berkaitan dengan aspek kehidupan manusia yang berubah-ubah
(seperti transaksi), semua itu adalah hukum-hukum umum yang memungkinkan untuk mengikuti
perubahan zaman.

Kedua: Tidak ada dalam al-Quran
dan hadits, dalil yang menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat temporal saja,
sekiranya orang-orang Islam bisa mengantongi alasan jika ingin berlepas atau
menanggalkan beberapa ajaran agama. Yang pasti ditegaskan nash adalah bahwa
syariat Islam bersifat permanen sekaligus fleksibel dan memiliki kemampuan
mengimbangi perubahan zaman.

Ketiga: Premis yang diterima
kalangan cendekiawan yang berpikir adil bahkan dari kalangan non-Muslim
sekalipun, adalah bahwa syariat Islam telah memberikan sumbangsih nilai-nilai,
konsep pemikiran, ajaran dan hukum legislasi yang terbaik dan terindah sepanjang
sejarah peradaban manusia.

Program Al-Imam Tayeb ini disiarkan
pertama kali pada bulan Ramadhan tahun 2016. Dalam tahun kelima ini,
Imam besar Al-Azhar
itu akan membahas tentang karakteristik agama Islam, prinsip wasathiyah, hukum-hukum
taklif, kemudahan syariat, sumber legislasi hukum Islam dan bantahan atas
syubhat (penyimpangan dan kekeliruan) yang menyerang sunnah (hadits) dan
turats.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.