Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Belajar Nahwu dan Tasawuf dalam Talkhîsul ‘Ibârah Fi Nahwi Ahli Al-Isyârah

Avatar photo
48
×

Belajar Nahwu dan Tasawuf dalam Talkhîsul ‘Ibârah Fi Nahwi Ahli Al-Isyârah

Share this article

Ilmu nahwu itu sesuatu dan ilmu tasawuf itu
sesuatu yang lain. Kedua ilmu itu bersifat independen. Tapi bagaimana jika
keduanya digabungkan di dalam satu wadah, disajikan dalam satu kitab?

Pembahasan nahwu dalam kajian tasawuf atau nahwu
sufi memang bukan suatu yang baru. Kajian ini sudah dimulai sejak zaman dahulu
oleh seorang ulama, bernama Imam Abdul Karim bin Hawzan bin Abdul Malik bin
Thalhah Al-Qusyairi dengan kitabnya, Nahwu Qulub. 

Akan tetapi kajian nahwu dalam konteks tasawuf—sejauh
pandangan saya—belum semasyhur kajian nahwu pada umumnya yang mempelajari nahwu
dari sisi aslinya, yaitu gramatikal bahasa Arab.

Tampak berbeda sekali, nahwu dalam konteks
gramatikal bahasa Arab memang menjadi modal utama bagi seorang pelajar. Tapi
seperti kata pepatah “sambil menyelam minum air”, kajian ini menjadi
ketertarikan tersendiri bagi saya sebab dengan mempelajarinya kita bisa dapat
dua sudut pandang sekaligus, yaitu nahwu menurut pakar tata bahasa (ahli ibarah
atau an-Nuhah) dan nahwu menurut ulama tasawuf (ahli isyarah atau ash-Shufi).

Kitab Talkhîsul ‘Ibârah Fi Nahwi Ahli
Al-Isyârah
ini adalah kitab ringkas (sesuai namanya, talkhis) yang
membahas nahwu dari dua aspek tersebut. Sang penulis, Imam Izzuddin bin Abdissalam
Al-Maqdisi menjelaskan “Ibârah” dalam nahwu secara ringkas dan
dasar-dasarnya, lalu menjelaskan nahwu dalam pandangan orang-orang ahli
Isyarah, yaitu para sufi.

Sebab itu di setiap bab dalam kitab ini, kita akan
selalu menemukan dua kaidah:

1. Kaidah Ahli Ibarah sebagaimana pada lazimnya,
yang berimplementasi pada taqwimul lisan: kesahihan atau kemantapan
secara lisan atau tulisan.

2. Kaidah Ahli Isyarah yang berimplementasi pada tahshilul
janan
, yaitu kemantapan hati atau sampainya hati pada kepada Tuhan.

Kitab ini disusun dengan sistematika penulisan
kitab-kitab nahwu pada umumnya. Di buka dengan bab Kalam wa Aqsamuhu
(Kalam dan pembagiaannya), lalu diteruskan dengan ism wasytiqoquhu, isim
wa aqsaamuhu, fiil wa aqssamuhu
, dan seterusnya sampai ditutup dengan Bab nudbah.

Sang pengarang menulis kitab ini dengan mengikuti kaidah
madrasah Ahli Kufah, sebab memiliki salah dua ciri, yaitu menggunakan kalimat khafdh
bukan jar dan menggunakan fi’il hal bukan fi’il
mudhari’
.

Baik, mari kita ulas sedikit isi kitab sebagai
gambaran betapa manis dan indahnya kajian nahwu dalam sudut pandang tasawuf.

Kita ambil bab i’rab (perubahan akhir
kalimat). Dalam tata bahasa Arab (ahli ibarah), 
ada empat tanda perubahan akhir kalimat (i’rab) ; rafa’,
nashab, khafd,
dan jazm. Begitu juga dalam perspektif ahli isyarah,
bahwa gerak (harakat) seorang yang mendekatkan diri kepada Allah juga memiliki
empat tanda yang sama.

1. Rafa’, bagi seorang sufi adalah
tingginya himmah seseorang untuk mendekat dan beribadah hanya kepada dan
karena-Nya.

2. Nashab adalah tergelar atau kesiapan
badan untuk taat kepada-Nya.

3. Khafdz adalah menundukkan diri dan hati
seseorang kepada-Nya.

4. Jazm adalah menguci rapat-rapat hati
seorang hamba dari selain-Nya.

Sampai akhir kitab, akan terus menemukan
sistematika seperti ini. Dibuka dengan kaidah nahwu ahli ibarah, lalu mengalir
dan tenggelam dalam pembahasan nahwu ahli isyarah. Dan sesekali selain kita
dihadirkan pembahasan tentang tauhid sebagai bagian puncak dari taqwimul
lisan
dan tahshilul janan.

Di luar dari isi kitab, yang membuat saya jatuh
cinta adalah pentahqiqnya. Pentahqiq memang bisa siapa saja, tapi kitab yang
ada dihadapan kita ini ditahqiq oleh ulama Maroko bernama Syeikh Dr. Khalid
Zahri. Teman-teman saya menjuluki beliau sebagai “perpustakaan berjalan”.

Saat saya belajar ke beliau dan membaca kitab ini di
hadapan beliau, kesan saya rasakan, beliau bukan hanya maktabah berjalan, tapi
juga bahr la sâhila lahu alias laut tak bertepi, juga seorang
guru yang rendah hati, dan pengasih kepada para pelajar.

Penutup. Setelah mempelajari kitab ini, saya
menarik dua benang kesimpulan. Satu, jika lisan fasih dalam berbicara secara kaidah,
hati pun harus juga dijaga dan fasih secara qoidah menjaga hati sebagaimana
yang diajarkan oleh para ahli isyarah.

Hal di atas dapat diraih dengan benang yang kedua.
Salah satunya, jika fasih lisan adalah dengan menjaga dan menjalankan kaidah-kaidah
nahwu dan saraf dalam lisan atau tulisan, maka fasih yang kedua adalah menjaga
lisan dan hati dari perkataan dan sesuatu yang keji dan menghiasinya dengan
hal-hal yang indah.

Waallahu ta’ala ‘alam bisshowab.

Kenitra, 23 Jul 2021 M/ 11 Dzulhijjah 1442 H

Nama Kitab : Talkhîsul ‘Ibârah Fi Nahwi
Ahli Al-Isyârah
(
PDF)

Penulis        : Syeikh Izzuddin bin Abdissalam bin Ahmad bin Ghanim bin Ali
Al-Maqdisi Asy-Syafi’i (W. 678 H)

Pentahqiq    :
Dr. Khalid Zahri

Penerbit      : Dar Kutub Al-Ilmiah (DKI)

Tebal           : 44 halaman

Kontributor

  • Khoirul Ibad

    Alumni Pesantren Modern Daarul Uluum Lido 2017 dan Institute Imam Malik, Tetouan-Maroko 2021, belajar sambil mengajar di Pesantren Tahfizh Dulido.