Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Dimensi Sufistik dalam Kitab Nahwul Qulub Imam Al-Qusyairi

Avatar photo
49
×

Dimensi Sufistik dalam Kitab Nahwul Qulub Imam Al-Qusyairi

Share this article

Ilmu Nahwu umumnya adalah ilmu gramatikal bahasa Arab yang membahas tentang hukum akhir dari suatu kata, entah ditandai dengan harakat tertentu, ataukah dengan huruf tertentu.

Para ulama sejak zaman awal-awal peradaban Islam telah banyak yang berkontribusi dengan berbagai macam dialektika keilmuan yang mereka bangun. Sumbangsih mereka semakin menguatkan dasar teoritis Nahwu sebagai suatu disiplin ilmu gramatikal bahasa Arab. Kita sebagai pembelajar, menjadi dimudahkan untuk mencoba memahami dan mempelajari nya.

Analisa para ulama terhadap ilmu Nahwu tidak hanya berhenti pada sebatas aspek gramatikal saja. Lebih daripada itu, mereka juga menggali sisi-sisi esoteris (spiritual) yang terkandung dalam ilmu Nahwu. Hal ini bisa kita dapati dalam kitab-kitab para ulama yang concern di bidang tasawuf yang membahas ilmu Nahwu dalam perspektif mereka. Salah satu yang bisa kita jadikan contoh dalam hal ini adalah Nahwul Qulub karya Imam Al-Qusyairi rahimahullah. Sebuah kitab tentang nahwu hati.

Baca juga: Membandingkan Ushul Nahwu dan Ushul Fikih

Selama ini kita mengenal ulama yang bernama lengkap Abu al-Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi ini sebagai seorang ulama Sufi. Dan hampir semua karya tulisnya yang sering kita ketahui umumnya, hanya membahas seputar disiplin keilmuan fikih, tasawwuf, dan aqidah. Namun siapa sangka bahwa beliau juga sangat mendalam dalam ilmu gramatikal bahkan mampu mengorek sisi-sisi esoteris dan menangkap nuansa-nuansa sufistik yang terkandung dalam keilmuan tersebut.

Bisa kita ambil contoh, ketika beliau mendefinisikan bahwa I’rab itu dibagi menjadi empat dan tidak bisa lepas dari empat keadaan ini. Yaitu adakalanya rafa’, nashab, khafdh, atau jazm. Begitu juga keadaan hati juga tidak lepas dari empat keadaan tersebut.

Rafa’nya hati adalah dengan tingginya himmah (semangat yang tinggi untuk menempuh jalan tasawuf dan suluk). Nashabnya hati adalah kesiapan jiwa dan raga untuk taat kepada Allah. Khafdhnya hati adalah kerendahan diri dan hati di hadapan Allah. Dan jazmnya hati adalah terkuncinya hati dari segala sesuatu selain Allah.

Dalam bab tentang fa’il, beliau juga menerangkan aspek esoteris darinya. Allah adalah hakikat pelaku (fa’il) dari terciptanya jagad raya ini. Selain-Nya tidak ada yang memiliki kuasa sesungguhnya. Sehingga pada fa’il inilah, tersemat kemuliaan dan keluhuran yang hakiki (rafa’). Sedangkan makhluk-makhluk semuanya hanyalah maf’ul (objek-objek kehendak Tuhan).

Kemudian tingkatan maf’ul berada di bawah fa’il. Hal ini menyiratkan akan kelemahan dan kekurangan mereka sehingga pada diri mereka tidak bisa disematkan makna kemuliaan hakiki (rafa’), namun tingkat yang lebih rendah daripada itu, yakni nashab. Karena i’rab nashab lebih ringan daripada i’rab rafa’.

Sedangkan mereka yang kebingungan dan lalai dari meyakini Allah sebagai pencipta, menisbatkan penciptaan-penciptaan itu kepada makhluk (maf’ul). Kemudian mereka menempatkan makhluk tersebut seolah-olah adalah pencipta sebenarnya (na’ibul fa’il) dan menyematkan makna kehebatan dan keluhuran (rafa’) padanya.

Padahal bagaimanapun, rafa’nya na’ibul fa’il itu bukanlah sesuatu yang sifatnya hakiki. Sebagaimana kehebatan dan kemuliaan makhluk pun bukan sesuatu yang hakiki, tapi berasal dari Allah.

Baca juga: Cara Berlogika Ibnu Malik dalam Alfiyah Menjelaskan Akidah Asy’ariyah

Contoh lain bisa kita temukan dalam bab tentang tashghir. Definisi tashghir adalah menambahkan huruf tertentu pada suatu kata yang bertujuan untuk mereduksi maknanya. Misal lafadz جَبَلٌ (gunung) ditashghir dengan ditambah huruf ya’ menjadi جُبَيْلٌ (gunung kecil).

Bila dilihat dari kaca mata tasawuf, konsep tashghir ini menyiratkan bahwa ketika Allah ingin merendahkan hamba yang sombong, terkadang Dia malah menambahkan nikmat kepada hamba tersebut sehingga dia mengira itu adalah nikmat dari Allah padahal itu adalah istidraj atau cara Allah menarik perlahan-lahan hamba tersebut kedalam kehinaan. Sebagaimana firman-Nya :

وَٱلَّذِينَ كَذَّبُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, nanti Kami akan menarik mereka dengan berangaur-angsur (ke arah kebinasaan), dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-A’raf [7]: 182)

Baca juga: Al-Khawarizmi dan Kitab Mafatih al-Ulum

Begitulah sekelumit penjelasan tentang makna-makna esoteris sufistik yang terkandung dalam keilmuan Nahwu yang telah diuraikan dengan sangat baik oleh para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa ulama besar tasawuf seperti Imam Al-Qusyairi pun tidak pernah mengabaikan urgensi disiplin ilmu bahasa arab. Bahkan beliau sangat menguasainya, sampai mampu menyelami makna-makna tersirat di baliknya.

Selain itu, dimensi ilmu Nahwu bukan hanya tentang masalah linguistik dan gramatikal bahasa Arab semata. Namun lebih dari itu, ia bersifat multidimensi yang mana bila ada yang sanggup menyelaminya, akan menemukan rahasia-rahasia yang terkandung di dalamnya. Dan kitab Nahwu Qulub Imam Al-Qusyairi ini berhasil melakukannya.

Kontributor

  • Fauzan Niko Demastian

    Pernah nyantri di MBI Amanatul Ummah Pacet, Surabaya dan sekarang sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar Kairo Mesir