Dunia intelijen tidak jarang dikesankan negatif padahal justru perlu dikuatkan karena berkaitan dengan pertahanan negara dan rekonsiliasi konflik.
“Dua hal ini telah dibuktikan oleh Pak Kiai As’ad Ali,” ujar Dr. Ahmad Ginanjar Sya’ban, M.Hum dalam bedah buku Perjalanan Intelijen Santri yang diselenggarakan oleh Kajian Timur Tengah dan Islam Universitas Indonesia Rabu (9/2).
Terbukti negara yang kuat tidak hanya dibangun dengan kemajuan teknologi dan ketahanan militer, tetapi juga ditopang oleh sistem intelijen yang kuat. Peta Timur Tengah adalah contoh yang baik untuk belajar bagaimana intelijen memiliki peranan penting dalam peristiwa-peristiwa besar hingga mengubah peta sejarah.
Kiai As’ad Ali banyak mengupas segmen Timur Tengah dalam bukunya Perjalanan Intelijen Santri ini. Diakui atau tidak, saat ini dunia Timur Tengah masih dan terus bergejolak terutama antara Arab dan Israel.
Perang Arab Israel
Ahmad Ginanjar Sya’ban atau familiar disapa Kang Aceng ini menegaskan betapa perang yang terjadi antara Arab dan Israel sejatinya mencerminkan ilmu sejarang perang intelijen.
“Perang Arab-Israel tahun 1948, 1967 dan 1973 itu tidak sekadar perang fisik, namun lebih dari itu, orang-orang mengatakan itu adalah perang intelijen.” ujar pria kelahiran Majalengka Jawa Barat ini.
Pada tahun 1967, Israel perang dengan negara-negara Arab yang dikomandoi oleh Mesir. Saat itu Arab dan Israel sama-sama memiliki kekuatan militer, persenjataan dan peralatan tempur yang sepadan. Mesir yang saat itu dipimpin oleh Gamal Abdel Naser bersekutu dengan Uni Soviet, negara adidaya terkuat di dunia selain Amerika Serikat yang menjadi sekutu Israel.
Dalam Perang Enam Hari itu, negara-negara Arab mengalami kekalahan luar biasa dari Israel. Pesawat-pesawat Mesir sudah dihancurkan oleh Israel sebelum lepas landas dari pangkalan militer. Hal itu bisa terjadi karena Israel telah berhasil mengalahkan Mesir dari sudut perang intelijen.
Kesuksesan Israel ini tidak dapat dilepaskan dari seorang agen wanita yang ditanamkan Israel untuk memata-matai Mesir. Mata-mata itu bernama Heba Salim. Cantik, rupawan, berwawasan luas, berbudaya Eropa dan berkewarganegaraan Mesir. Dia dibaiat menjadi agen Mosad di Perancis karena saat itu negara Perancis menjadi tempat transit agen-agen dalam perang Arab-Israel. Sayangnya, tidak ada orang Mesir yang tahu.
Heba Salim ditugasi untuk mendekati salah seorang perwira Mesir bernama Faruq al-Fiqi hingga dibuat jatuh hati kepadanya. “Inilah awal kekalahan Mesir karena seluruh informasi pangkalan militer diberikan kepada Heba,” ujar Kang Aceng.
Mesir baru menyadari ada peran intelijen karena mustahil Israel dapat mengetahui bangunan pangkalan militer yang beton-betonnya pun belum kering total. Dicarilah kemudian hingga terungkap ada sosok wanita intelijen Mossad di balik kekalahan perangnya.
Berangkat dari pengalaman pahit ini, Presiden Anwar Sadat juga melakukan cara yang sama. Dia menanam mata-mata bernama Rafat al-Hajjan di Israel. Kemenangan Mesir Israel pada perang 1973 di antara berkat kerja intelijennya. Benteng pertahanan Israel (Berlief) yang disebut-sebut sebagai benteng Konstantinopel kedua berhasil dihancurkan oleh tentara Mesir.
Peraih Santri Award 2021 bidang agama ini menggarisbawahi bahwa pengalaman Mesir dan Israel ini membuktikan pentingnya ilmu sejarah intelijen.
Hubungan Intelijen dan Rekonsiliasi Konflik
Kiai As’ad Ali telah melakukan peran vital dalam menyelesaikan pelbagai konflik di Tanah Air. Beliau pernah diminta oleh Badan Intelijen Korea untuk menyelamatkan belasan warga negaranya yang disandera di Afghanistan.
Korea meminta tolong kepada Indonesia (yang diwakili Pak Ali As’ad) karena warga Indonesia adalah muslim dan Afghanistan harus didekati dengan sentimen keislamannya.
Kesuksesan Pak Ali As’ad ini, menurut Kang Aceng, membuahkan berkah di kemudian hari bahwa orang-orang Afghanistan lebih jauh bersedia belajar Islam kepada Indonesia (Nahdlatul Ulama). Secara keagamaan, dua negara itu sama-sama menganut paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Secara teologi Indonesia menganut akidah Asy’ariah dan Afghanistan menganut akidah Maturidiyah, fikih Indonesia bermazhab Syafi’i sedangkan Afghanistan menganut mazhab Hanafi. Di samping itu, tasawuf dan tarekat sama-sama berkembang subur di sana.
Orang-orang Taliban banyak belajar di Madrasah Deoband. Salah satu gurunya yang masih hidup dan saat ini berada di Pakistan adalah Syekh Muhammad Taqi al-Utsmani. Dia adalah murid Musnid Dunya Syekh Yasin Padang (w. 1991), ulama besar hadits internasional asal Nusantara.
Peran Ulama Network
Ahmad Ginanjar Sya’ban kemudian menjelaskan bahwa jika kita ingin menyelesaikan konflik di daerah yang mayoritas penduduknya adalah muslim, maka serahkan kepada Nahdlatul Ulama karena memiliki jaringan ulama yang kuat. Guru-guru ulama NU adalah orang-orang yang pada zamannya menjadi mahaguru di Makkah.
Penulis buku Mahakarya Islam Nusantara itu mencontohkan bagaimana dalam tradisi pengijazahan di al-Azhar Mesir akan terlacak bahwa banyak ulama-ulama al-Azhar yang menjadi murid Syekh Yasin Padang, dan Syekh Yasin Padang mengambil sanad dari Syekh Muhammad Bakir Jogja dan Syekh Mahfud At-Tarmasi. Namun sayangnya, nama-nama ulama besar itu tidak dikenal sebagai orang Indonesia oleh orang-orang Mesir.
Kang Aceng mengingatkan bahwa Indonesia sebenarnya memiliki modal sejarah dan pengetahuan berupa ulama network dan kitab-kitab karangannya yang masih banyak berupa manuskrip namun belum dikelola secara baik.
Menurut Dosen UNUSIA Jakarta, ini bisa dijadikan sebagai alat soft power bagi Indonesia untuk berdiplomasi di luar negeri. Langkah ini sukses dilakukan oleh Turki yang mengangkat sosok penyair Yunus Emre dan Jalaluddin Rumi ketika ingin berdiplomasi dengan negara-negara Arab.
“Indonesia juga punya. Syair-syair milik Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, kitab-kitab Syekh Nawawi Banten bisa dijadikan salah satu etalase alat soft power diplomasi pemerintah ketika ingin berhadapan dengan bangsa-bangsa Arab Muslim.” terangnya.
Kiai As’ad dan Rekonsiliasi Konflik Poso
Ahmad Ginanjar Sya’ban menceritakan kisah pertemuannya dengan Bapak Adnan Arsyad salah satu mantan panglima perang Poso. Beliau menyadari bahwa sebenarnya diaa adalah anak-anak dari ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (As’adiyah dan DDI). Beliau bercerita diberikan tanah wakaf oleh Pak Kiai As’ad untuk dibangun pesantren.
Selama belasan tahun terlupakan, di atas tanah yang diwakafkan itu sekarang sedang proses pembangunan pesantren NU. Adapun kantor sekretariat PCNU Poso itu dari pihak lain yang menginginkan Poso menjadi damai.
“Ini pentingnya ulama network dalam merekonsiliasi konflik.” pungkasnya.
KH. As’ad Said Ali pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) selama 9 tahun sejak 2001 dan Rais Syuriyah PBNU (2022-2027). Kiai kelahiran Kudus Jawa Tengah ini pernah bertugas di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Suriah, Lebanon dan Yordan.