Ibrâz al-Muntadâ fî Hurmah Kitâbah Lafzh al-Qur’ân bi Khath al-Hûlandâ ialah kitab yang membincang polemik hukum menulis al-Qur’an dengan aksara “Walanda” (latin) di Tatar Sunda. Kitab ini ditulis oleh KH. Rd. Abdullah bin Husain Pabuaran Sukabumi.
Berikut ini adalah kitab berjudul “Ibrâz al-Muntadâ fî Hurmah Kitâbah Lafzh al-Qur’ân bi Khath al-Hûlandâ” karya KH. Rd. Abdullah b. Husain (w. 1962), seorang ulama besar Tatar Sunda asal distrik Pabuaran (saat ini masuk wilayah kecamatan Warudoyong), kota Sukabumi, Jawa Barat.
Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab dan berisi kajian seputar polemik hukum menulis kitab suci al-Qur’an dengan aksara Latin (aksara Walanda). Tidak terdapat kolofon pada kitab yang memberikan kepada kita informasi kapan kitab ini ditulis. Meski demikian, penulisan kitab ini diperkirakan pada awal abad ke-20 M (antara 1920-1940).
Kitab ini dicetak oleh Percetakan Sayyid Usman b. Yahya dengan format cetak litografi (cetak batu) dan jumlah keseluruhan halaman 40 (empat puluh) halaman. Percetakan Sayyid Usman b. Yahya, yang beralamat di Petamburan no. 65, Batavia Centrum (Jakarta), tercatat sebagai salah satu percetakan swasta terbesar di Nusantara yang banyak mencetak kitab-kitab keislaman sejak akhir abad ke-19 M.
Tertulis pada halaman sampul:
هذه رسالة تسمى بإبراز المنتدى// في حرمة كتابة لفظ القرآن بخط الهولندى// للفقير الضعيف بلامين عبد الله بن حسين الفبواراني السكبومي// غفر الله له ولوالديه ولجميع المسلمين آمين
(Ini adalah sebuah risalah yang dinamakan “Ibrâz al-Muntadâ fî Hurmah Kitâbah Lafzh al-Qur’ân bi Khath al-Hûlandâ” [berarti “Mengemukakan Forum dalam Haramnya Menulis Lafaz al-Qur’an dengan Aksara Belanda”], karya seorang hamba yang fakir nan lemah tanpa daya, yaitu Abdullah b. Husain, orang Pabuaran Sukabumi, semoga Allah mengampuninya, juga kedua orang tuanya dan seluruh umat Muslim, Amin)
Dalam kata pengantarnya, KH. Rd. Abdullah b. Husain menulis:
أما بعد. فيقول العبد الفقير الى رحمة رب الثقلين. عبد الله بن حسين. الفبواراني مسكنا. السكبومي بلدا. الشافعي مذهبا. أورثه الله تعالى علما نافعا وأدبا. لما وقع في بلادنا حريق النزاع الشديد. الذي أصاب القريب والبعيد. وأدى الى الافتراق بين المسلمين. والبغضاء والعداوة بين المؤمنين. وغيرها مما لا يرضاه أحد من أهل الدين في حكم كتابة القرآن بخط الهولندا من اللاتينية
(Ammâ ba’du. Maka berkata seorang hampa yang fakir kepada rahmat Tuhan dua perkara yang amat berharga, yaitu Abdullah b. Husain, yang tinggal di Pabuaran, di negeri Sukabumi, yang bermadzhab fikih Syafi’i. Semoga Allah mewariskan kepadanya ilmu yang bermanfaat, demikian juga adab yang luhur. Ketika terjadi di negeri kami perdebatan yang sengit, yang dampaknya menjangkau pihak yang dekat atau pun jauh, yang mengakibatkan perpecahan di antara umat Muslim, serta kebencian dan permusuhan antara umat Mukmin, juga hal-hal lainnya yang sekiranya tidak patut di mata para ahli agama, yaitu perkara hukum menulis al-Qur’an dengan aksara Walanda [Latin]).
Beliau lalu melanjutkan:
دعاني ذلك الى أن أضع رسالة في هذا الباب. أميّز فيها القشر عن اللباب. وإن كنت لست أهلا لذلك. ولا ممن يخوض في تلك المسالك. رجاء أن يطفأ الله تعالى نار هذه المخذورات. ويزيل رماد هذه الخرافات. فجاءت وافية لفتح هذه المغالق كافية في تحقيق المقاصد والتفصى عن المضائق
(Hal itu telah menuntutku untuk menulis sebuah risalah kecil terkait permasalah tersebut, di mana di dalamnya aku menjelaskan antara cangkang dengan inti, meski aku bukan orang yang ahli dalam bidang itu, tidak juga sebagai orang yang mendalami ranah kajian itu. Namun dengan berharap agar Allah Ta’ala berkenan meredam api kegaduhan itu, sekaligus menghilangkan sekam perkara baru itu. Maka risalah tersebut pun hadir membuka kebuntuan, cukup untuk mewujudkan maksud, serta meluaskan kesempitan)
وسميتها “إبراز المنتدى في حرمة كتابة لفظ القرآن بخط الهولندا”. وأسستها ببيان معنى الترجمة وما يتعلق بها وبيان معنى التفسير والتأويل ما يتعلق بهما. والله تعالى أسأل أن ينفع بها المؤمنون وأن يجعلها سببا للإتفاق والإئتلاف في عدم الإفتراق بين المسلمين
(Aku menamakan risalah ini dengan “Ibrâz al-Muntadâ fî Hurmah Kitâbah Lafzh al-Qur’ân bi Khath al-Hûlandâ”. Aku menuliskannya dengan menjelaskan makna istilah “terjemah” dan hal-hal yang berhubungan dengannya, juga menjelaskan makna istilah “tafsir dan ta’wil” dan hal-hal yang berhubungan dengan keduanya. Aku meminta kepada Allah Ta’ala agar menjadikannya bermanfaat bagi umat Mukmin, dan menjadi sebab untuk rukun, guyub dan terajutnya persaudaraan, serta hilangnya perpecahan di antara umat Muslim)
Pada bagian penutup kitab, KH. Rd. Abdullah Husain juga menulis:
هذا ما ظهر في هذه القضية والعلم أمانة في أعناق العلماء وليعرض ذلك على العلماء من أهل مصر وغيرهم ليميز الخطأ من الصواب. وفوق كل ذي علم عليم. والله سبحانه وتعالى أعلم. وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم. م.
(Inilah yang sekiranya menjadi jelas dalam permasalahan [hukum menulis al-Qur’an dengan huruf Latin]. Ilmu adalah amanat yang dipikul di atas pundak para ulama, agar dapat diperlihatkan dengan ilmu itu mana hal-hal yang salah dan benar kepada para penduduk negeri. Di atas setiap orang pintar, masih ada lagi orang yang jauh lebih pintar. Hanya Allah Ta’ala jua yang paling mengetahui. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad, serta para keluarga dan sahabatnya. Tamat)
* * * *
Di antara wacana keislaman di kawasan Nusantara, termasuk di dalamnya adalah wilayah Tatar Sunda, yang mengemuka sebagai polemik pada awal abad ke-20 adalah wacana perihal “hukum menerjemah dan menulis lafazh kitab suci al-Qur’an dengan aksara Latin dan aksara non-Arab lainnya”. Polemik ini mencuat selama beberapa dekade, antara 1920 hingga 1940-an.
Terdapat pro dan kontra perbedaan di antara ulama Tatar Sunda perihal wacana di atas. Ada kelompok ulama yang menentang dan mengharamkan penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa non-Arab dan juga penulisan lafazh al-Qur’an dengan aksara Latin, ada juga kelompok yang mendukung dan memperbolehkannya.
Di antara kelompok ulama yang memperbolehkan masalah ini adalah KH. Ahmad Sanusi Sukabumi dan rekan-rekannya yang terkumpul dalam kelompok “al-Ittihadoel Islamijjah”. KH. Ahmad Sanusi menulis karya berjudul “Tamsjijjatoel Moeslimin” (terbit pertamakali tahun 1934), yang berisi kajian tafsir al-Qur’an dan ditulis dalam bahasa Sunda aksara Latin.
Adapun pihak ulama yang menentang dan mengharamkan masalah di atas adalah KH. Ahmad Syathibi Gentur (Cianjur), KH. Usman Perak (Betawi), Habib Alwi b. Thahir Johor (Malaya), KH. Dimyathi Caringin (Bogor), termasuk juga KH. Rd. Abdullah b. Husain Pabuaran (Sukabumi).
Perbedaan pendapat kedua belah pihak di atas tampaknya cukup runcing dan rumit. Baik pihak yang pro dan kontra, kedua-duanya mengemukakan pandangan, pendapat dan argumen mereka dalam karya tulis. Islah Gusmian dalam artikelnya yang berjudul “Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Era Awal Abad 20 M” (dimuat dalam “Mutawâtir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis”, vol. 5, no. 2, Desember 2015: hal. 223-247) menyinggung perihal polemik ini.
Dari pihak yang menentang dan mengharamkam penerjemahan dan penulisan lafaz al-Qur’an dengan aksara Latin, terdapat karya berjudul “Tashfiyyah al-Afkâr” (Membersihkan Pemikiran) yang ditulis KH. Usman Perak (Betawi), juga “Tadzkirah al-Ikhwân fî Hukm al-Tafsîr wa Tarjamah al-Qur’ân” (Pengingat untuk Para Handai Taulan dalam Menerangkan Hukum Tafsir dan Terjemah al-Qur’an) yang ditulis oleh KH. Dimyathi Caringin (Bogor). Termasuk halnya karya berjudul “Ibrâz al-Muntadâ fî Hurmah Kitâbah Lafzh al-Qur’ân bi Khath al-Hûlandâ” (Mengemukakan Forum dalam Haramnya Menulis Lafaz al-Qur’an dengan Aksara Belanda).
Sementara itu, KH. Ahmad Sanusi, dari pihak yang mengatakan “bolehnya hukum menerjemahkan dan menulis lafaz al-Qur’an dengan aksara Latin”, menulis dua buah karya, masing-masing berjudul “Tahdzîr al-Afkâr min al-Ightirâr bi Dhalâlât wa Iftirâyât Tashfiyyah al-Afkâr” (Peringatan untuk Pemikiran agar Tidak Tertipu oleh Kesesatan dan Tuduhan Kitab “Tashfiyah al-Afkâr”) juga “Minzharah al-Islâm wa al-Îmân fî Tajnîb al-‘Ainaiy wa Dhalâlât Tadzkirah al-Ikhwân” (Kaca Mata Islam dan Iman dalam Menjauhi Dua Hasutan dan Kesesatan Kitab “Tadzkirah al-Ikhwân”).
Dua buah karya KH. Ahmad Sanusi tersebut sekaligus sebagai respon atas karya yang masing-masing ditulis oleh KH. Usman Perak dan KH. Dimyathi Caringin sebelumnya. Seorang santri KH. Ahmad Sanusi yang bernama M. Zarkasy juga menulis risalah berjudul “Menoelis Qoer-an dengan Hoeroef Latyn; Seroean kepada Segenap Pengandjoer Kaoem Moeslimin di Indonesia” dalam rangka menyokong pendapat gurunya itu.
Perang fatwa antar kedua belah pihak di atas terus berlanjut. Pada 4 Oktober 1936, pemerintah membentuk “Comite Permoesjawaratan Menoelis Al Qoeran dengan Hoeroef Latin” dan mengundang kedua belah pihak untuk melaksanakan diskusi dan debat terbuka.
Pada 25 Oktober 1936, sebuah forum debat terbuka pun berhasil dilaksanakan di Cipelang Gede, Sukabumi dan dihadiri oleh kedua belah pihak. Umat Muslim di Tatar Sunda pun tampak antusias menghadiri debat terbuka tersebut. Tercatat lebih dari 15.000 orang turut serta menyaksikan perdebatan tersebut (lihat Miftahul Falah, Riwayat Perjuangan KH. Ahmad Sanusi [Sukabumi: Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat dan Pemerintah Kota Sukabumi, 2009] hal. 129).
* * *
Terlepas dari perbedaan pendapat kedua belah pihak, yang menarik untuk dicermati adalah cara para ulama di atas dalam menyikapi suatu perbedaan. Mereka meninjau sebuah masalah dengan ilmu dan juga adab. Baik yang pro dan kontra, keduanya sama-sama menuangkan pendapat mereka dengan menulis kitab.
KH. Rd. Abdullah b. Husain, ketika berpendapat tidak bolehnya hukum menulis lafaz al-Qur’an dengan aksara Latin, ia pun menulis sebuah karya berbahasa Arab yang di dalamnya ia kemukakan pendapatnya dan juga argumen-argumennya yang merujuk dari khazanah karya-karya ulama klasik dan juga modern. Selain itu, tampak juga dalam kitab yang ditulis oleh KH. Rd. Abdullah b. Husain keluhuran adab dan juga sikap rendah hatinya. Tak ada caci maki, tak ada provokasi.
Terkait sosok KH. Rd. Abdullah b. Husain, saya pernah menjumpai puluhan koleksi kitab tua miliknya yang kini tersimpan di perpustakaan KH. Abdullah Mukhtar (pesantren an-Nizhom Panjalu, Sukabumi).
Kitab-kitab tua tersebut banyak dipenuhi oleh catatan penting (taqrîrât) dalam bahasa Arab, Jawa dan Sunda. Dalam banyak halaman awal kitab-kitab tersebut, terdapat pula catatan kepemilikan atas nama KH. Rd. Abdullah b. Husain, juga catatan tanggal pembelian dan juga catatan ketika ia mempelajari kitab-kitab tersebut di Makkah al-Mukarramah dalam rentang waktu tahun 1900-1915-an.
Menurut penuturan KH. Abdullah Mukhtar Panjalu (disampaikan dalam silaturahim dengan beliau pada 17 September 2019) yang pernah menjumpai KH. Rd. Abdullah b. Husain semasa hidupnya, disebutkan jika KH. Rd. Abdullah b. Husain adalah “syaikh al-masyâyikh” (guru dari para ulama) di Sukabumi.
Banyak ulama-ulama besar Sukabumi pada masanya yang merupakan murid beliau. KH. Rd. Abdullah b. Husain juga sangat akrab dengan Habib Syaikh b. Salim al-Athas, juga dengan KH. Masthuro (pendiri al-Masthuriyyah), KH. Hasan Basri Abdullah Cicurug (Mama Bentang), KH. Abdullah Mahfuz (Tipar) dan ulama besar Sukabumi lainnya.
KH. Rd. Abdullah b. Husain merupakan putra dari KH. Rd. Husain b. Rd. Hamzah (w. 1912), yang pernah menjabat sebagai hoofd penghulu (penghulu besar) Sukabumi. Jabatan tersebut kemudian dilanjutkan oleh putranya yang bernama Rd. H. Ahmad Djoewaeni b. Husain (w. 1940), yang juga kakak dari KH. Rd. Abdullah b. Husain.
Putra dari KH. Rd. Husain yang lain adalah Syaikh Rd. Abu Bakar b. Husain, yang tercatat sebagai pengajar di Masjidil Haram di Makkah dan wafat di kota suci itu (M. Saleh Putuhena, Haji Indonesia: Suatu Kajian Sejarah Tentang Perjalanan dan Pengaruhnya pada Pertengahan Pertama Abad XX. Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003: lampiran IV).
KH. Rd. Abdullah b. Husain pernah lama belajar dan bermukim di Makkah. Sepulangnya ke Sukabumi, beliau bermukim di Pabuaran (Kota Sukabumi) dan mendirikan pesantren “Ma’rifatul Qur’an”.
Beliau juga tercatat menulis sejumlah karya yang telah dicetak, sebagian dalam bahasa Arab dan sebagian yang lain dalam bahasa Sunda Pegon. Di antara karya-karya tersebut adalah “al-Munabbihât ‘alâ Isti’dâd al-Amwât”; “Du’a Kangjeng Nabi Muhammad Yaum al-Ahzâb”; “Du’a Kangjeng Nabi Hidir” dan lain-lain. Namun karyanya yang masih berupa manuskrip (naskah tulis tangan) masih jauh lebih banyak lagi. Di antara karya beliau yang masih berupa tulis tangan dan pernah saya jumpai adalah “Taqrîrât [Hâsyiah]” atas kitab Syarah Fath al-Mu’în.
Pada 23 Juni 2020 lalu, saya sempat menziarahi makam KH. Rd. Abdullah b. Husain yang terletak di kompleks masjid “al-Kautsar” di Pabuaran, Kota Sukabumi. Ziarah tersebut ditemani oleh Kang Enden Ahmad Muhibuddin dan Kang Supriyadi Sufyan Tsauri. Keduanya adalah para ulama muda Sukabumi yang juga alumni Pesantren Lirboyo (Kediri, Jawa Timur).
Pada ziarah tersebut, kami pun berjumpa dengan Ibu Dedeh Chodijah yang terbilang sebagai “cucu” dari KH. Rd. Abdullah b. Husain. Sayangnya, pesantren “Ma’rifatul Qur’an” yang dulu pernah didirikan dan diasuh oleh beliau kini sudah tidak ada lagi.
Wallahu a’lam
Sukabumi, Muharram 1443 Hijri
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban