Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Kontestasi kaum sarungan di era disrupsi

Avatar photo
29
×

Kontestasi kaum sarungan di era disrupsi

Share this article

Kita tahu bahwa santri yang belajar di Pesantren datang dari berbagai latar belakang ekonomi, ragam suku, budaya, bahasa, dan bahkan aliran. Namun demikian, mereka disatukan oleh Kiai dalam sebuah orkestra kehidupan pesantren sebagai bekal membangun bangsa dan mendidik umat manusia. Anda tahu, orkestra terdiri atas banyak alat musik dan instrumen, tetapi tujuannya hanya satu: harmoni. (hlm.12)

Orang-orang sejak dahulu mengenal santri sebagai “Kaum Sarungan”, yang oleh kebanyakan kalangan,  mereka disebut sebagai orang-orang shaleh yang mengerti agama. Kian ke sini budaya sarungan mulai berpindah makna. Kaum Sarungan bukan hanya mereka yang memang betul-betul yang paham agama. Namun budaya sarungan juga  dipakai oleh banyak kalangan sebagai fashion saat berlibur maupun OOTD ketika kumpul-kumpul bersama kawan dan  kolega.

Selain karena mudah dipakai, sarung memang mempermudah kita tanpa perlu menyibukkannya dengan ukuran ataupun ikat pinggang. Namun apakah hal demikian merupakan identitas Kaum Sarungan yang sesungguhnya. Ataukah hanya trend saja demi popularitas.

Buku ini menjadi suguhan yang tepat untuk mendeskripsikan betul arti Kaum Sarungan itu. Kumpulan esai di dalamnya mejabarkan pola kehidupan santri dalam pesantren. Tempaan yang mereka terima, membentuk kehidupan mereka jadi kokoh, visioner, tidak cengeng, dan tetap merendah. Sekalipun kehidupan pesantren itu sangatlah sederhana, namun orientasi mereka sangatlah jauh. Bila hidup terbiasa menghargai proses, maka hidup tak perlu banyak alasan untuk mengeluh.

Bisa jadi, buku karya Gus Dhofir ini adalah cambuk bagi para santri yang tengah menempuh masa belajarnya di Pesantren. Karena era sekarang bukanlah era di mana nenek moyang kita masih dengan santai menghadapi polemik kehidupannya sebagaimana mereka ceritakan pada cucu-cucunya. Era saat ini bukanlah era ramah seperti bapak-ibu kita temui sewaktu masih muda dulu.

Mengenai kondisi kawula muda saat ini, yang digadang-gadang sebagai generasi penerus bangsa yang unggul. Beragam realita bersimpang-siur di ranah pandangan kita dewasa ini. Beberapa dari mereka terlihat siap dengan tuntutan zaman. Kesadaran mereka atas amanah di pundaknya itu, berimplikasi pada giatnya menuntut ilmu, meraih beragam prestasi, dan optimis untuk bergerak menantang arus kehidupan.

Namun sebaliknya, juga ada kondisi pemuda-pemudi yang masih bersantai-santai dan tenang saja menghadapi gegap-gempita kehidupan yang nyaris tak terduga ini. Nyaris perpekannya berbagai media mereportasekan mereka  dengan kenaifan yeng diperbuat. Perundungan, tawuran, konsumsi narkoba, pesta-pesta, dan berbagai ketololan lain yang tak perlu disebutkan lagi.

Kemusykilan itupun muncul dalam benak kita bersama. Siapkah bangsa ini menghadapi tantangan zaman? Apakah bonus demografi pada tahun 2045 itu benar-benar terwujud seperti yang telah kita dambakan bersama.                      

Kaum sarungan dan era disrupsi

Agaknya segala ironi itu tak terlalu perlu kita resahankan. Karena waktu terus bergulir maju, maka masih ada kesempatan-kesempatan hari untuk membuat perubahan yang besar. Bila era revulusi 4.0 adalah mentransformasikan segala lini kehidupan kita ke ranah digital. Maka era Society 5.0 adalah eranya disrupsi. Kita benar-benar memasuki era dimana orang-orang dimanjakan dengan teknologi.

Era ini memiliki dampak positif karena mempercepat pertumbuhan ekonomi, pendidikan, sosial budaya dan merubah peradaban manusia. Dunia maya dan fisik terintegrasi menjaadi satu dan menghasilkan teknologi yang semakin canggih. Dampaknya adalah kita akan benar-benar dimanjakan karena konsep ilmu pengetahuan yang berbasis modern ini telah melayani segala kebutuhan kita.

Ilmu pengetahuan yang kian maju, keadaan yang kian mudah diakses, ternyata kita masih memiliki polemik. Ilmu semakin tinggi, namun kawula muda kita semakin defisit akan moral dan sopan santun.

Esai bertajuk Ada Apa Dengan Sarung? Adalah sisi lain dari buku ini yang memberikan jawaban atas polemik keagamaan, persoalan iman, akhlak dan ancaman modernitas terhadap keutuhan Islam dan ummatnya. Buku ini bukan tentang sarung, namun karena kultur sarungan adalah identik dari orang-orang pesantren, maka analisis Gus Dhofir ini yang paling pas untuk kader-kader bangsa yang berkemajuan yang tetap merendah seperti halnya Santri.

Penalaraannya tentang hadis-hadis, baik qudsi maupun hadis yang bertipe lain. Menjadi argumen yang cocok untuk diimplementasikan. Lebih-lebih dibahasan dengan bahasa kekinian yang mudah dicerna oleh siapapun.

Bila peradaban Barat mengaku bisa maju karena memisahkan Agama dengan ilmu pengetahuan, maka kita Bangsa yang bergama harus tetap menjadikan Agama sebagai acuan dan dasar karena keimanan. Peradaban Barat congkak, yang mendongakkan kepalanya ke langit. Kita justru harus tetap merendah dengan terus bersujud, menempelkaan wajah tertampan kita ke bumi. Karena orientasi kita –sebagai mana diajarkan kepada Kaum Sarungan ketika di pesantren— adalah orientasi akhirat.

Karena seperti yang telah disebutkan di awal tadi. Bahwa Kaum Sarungan adalah pemimpin orkestra. Berpentas di Era disrupsi bukanlah menjadi sebuah kendala. Karena dasar keimanan, Kaum Sarungan akan terus mengawal keutuhan NKRI, menjaga tradisi, dan terus memajukan Bangsanya tanpa harus mengikis moralitas dan reputasi negerinya.

Kontributor

  • Achmad Dhani

    Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.