Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Manuskrip Kitab Bayân Al-Qahhâr Karya Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan

Avatar photo
30
×

Manuskrip Kitab Bayân Al-Qahhâr Karya Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan

Share this article

Berikut ini adalah halaman pertama dari manuskrip kitab
berjudul “Bayân al-Qahhâr” karya Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan (wafat sekitar
1730 M), ulama besar sekaligus tokoh utama sejarah Islamisasi wilayah Jawa
Barat pada abad ke-18 M.

Kitab “Bayân al-Qahhâr” ditulis dalam bahasa Jawa aksara
Arab (Jawa Pegon) dan berisi kajian tentang keutamaan hari-hari dan bulan-bulan
(dalam sistem penanggalan rotasi bulan [lunar] atau yang lazim disebut hitungan
kalender Hijriyah).

Manuskrip kitab “Bayân al-Qahhâr” ini tersimpan di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dalam koleksi Abdurrahman Wahid
(Gus Dur, dengan kode koleksi AW) bernomor (?). Naskah bernomor kode tersebut
sejatinya menghimpun beberapa macam teks, semacam teks kitab fikih, tauhid,
gramatika Arab (nahwu), termasuk  teks
kitab “Bayân al-Qahhâr” ini.

Keterangan identitas kitab (‘unwân al-kitâb) dengan
judul “Bayân al-Qahhâr” sekaligus identitas Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
sebagai pengarang  atas karya tersebut
(ism al-mu’allif) terdapat pada dua baris terakhir halaman pertama teks. Judul
kitab secara jelas tertulis dengan redaksi “Kitâb Bayân al-Qahhâr”, sementara
nama Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan tertulis dengan nama “Syaikh Haji Abdul Muhyi
Panembahan ing Karang”.

Tertulis di sana:

ايك له كتاب دين اراني كتاب بيان القهار. اتاوي أصلي كتاب
ايك سكع شيخ حج عبد المحي فنمباهن اع كرع

(Ikilah kitab den arani “Kitâb Bayân
al-Qahhâr”. Utawi asale kitab iku saking Syaikh Haji Abdul Muhyi Panembahan ing
Karang // Inilah kitab yang dinamakan “Kitâb Bayân al-Qahhâr”. Adapun asal
kitab ini merupakan karangan dari Syaikh Haji Abdul Muhyi Panembahan ing Karang
[Pamijahan])

Sayangnya, tidak ada kolofon yang memberikan kita
informasi kapan kitab ini diselesaikan. Saya sendiri memperkirakan jika naskah
ini adalah naskah salinan yang dibuat oleh salah satu murid generasi setelah
Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan.

Daerah “Karang”, sebagaimana tertulis dalam keterangan
teks di atas, adalah tempat Syaikh Abdul Muhyi mendirikan pusat dakwah
keislamannya. Karena itu jugalah, Syaikh Abdul Muhyi bergelar “Panembahan ing
Karang”, yang berarti “orang besar yang dikeramatkan di Karang”. Di kemudian
hari, nama Syaikh Abdul Muhyi lebih dikenal dengan sebutan Syaikh Abdul Muhyi
Pamijahan, kampung yang berada di bawah wilayah administratif Kecamatan Karang
(Karangnunggal, Tasik Malaya, Jawa Barat). Selain itu, Syaikh Abdul Muhyi juga
dikenal dengan julukan “al-Safarwadi” (berasal dari bahasa Arab, safar
[pengembara] dan wâdî [lembah perbukitan]) yang berarti “Sang Pengembara Lembah
Berbukit”.

Di daerah Karang (Pamijahan) itu juga, Syaikh Abdul
Muhyi mendirikan “zawiyah” (pemondokan sufi) yang menjadi pusat penyebaran
ajaran Tarekat Syattariyah ke seluruh kawasan Priangan, Cirebon, Banten, dan
kawasan Pulau Jawa lainnya. Para mursyid dan murid Tarekat Syattariyah di Jawa
secara umum, bisa dipastikan genealogi intelektual (sanad keilmuan) mereka
bermuara pada Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan.

Terdapat beberapa sarjana yang mengkaji sosok Syaikh
Abdul Muhyi Pamijahan dan perkembangan Tarekat Syattariyah yang diturunkannya
di sekitar wilayah Pasundan dan Jawa, seperti Rinkes, Martin van Bruinessen,
Tommy Christomy, Oman Fathurrahman, Mahrus el-Mawa, dan lain-lain.

Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sendiri mengambil sanad
Tarekat Syattariyah dari Syaikh Abdul Rauf Singkel (w. 1693), ulama besar
kesultanan Aceh yang menulis sejumlah karya berpengaruh bagi sejarah pemikiran
Islam di Kepulauan Nusantara abad ke-17 hingga saat ini. Adapun  Syaikh Abdul Rauf Singkel, beliau
mengambilnya dari dua guru utamanya yang berkedudukan di Madinah, yaitu Syaikh
(Mulla) Ibrahim al-Kurani (w. 1690) yang bergelar “Burhân al-Dîn”, dan juga
dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi (w. 1660) yang bergelar “Shafiy al-Dîn”.

Di antara salah satu putra Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan
adalah Syaikh Faqih Ibrahim yang berkedudukan dan dimakamkan di Cipager,
Majalengka (Jawa Barat) yang juga dicatat sebagai salah satu tokoh kunci
penerus dan penyebar ajaran Tarekat Syattariyah di Jawa setelah ayahnya. Tomy
Christomy dalam bukunya “The Sign of the Wali” (Canberra: ANU Press, hal. 103)
mengisyaratkan jika Syaikh Faqih Ibrahim Cipager ini pernah mengajar di
lingkungan keraton Katasura. Salah satu murid dari Syaikh Faqih Ibrahim Cipager
di Kartasura ini adalah Syaikh Abdurrahman Kartasura. Tampaknya, Syaikh Abdul
Muhyi Pamijahan menamakan salah satu putranya dengan “Ibrahim” (Syaikh Faqih
Ibrahim Cipager) sebagai upaya “tabarrukan” dan “tafa’ulan” dengan “kakek
guru”-nya yang berada di Madinah, yaitu Syaikh Ibrahim al-Kurani.

Selama ini, karya Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang saya
ketahui hanya ada satu buah saja, yaitu “Kitab Martabat Kang Pitu” (ditulis
dalam bahasa Jawa Pegon) yang berisi ajaran tasawuf martabat tujuh. Ketika
“menemukan” manuskrip kitab “Bayân al-Qahhâr” sebagai karya Syaikh
Abdul Muhyi Pamijahan ini, saya pun seumpama mendapatkan kembali mutiara intelektual
Islam Nusantara yang sejak sekian lama terlupakan.   Wallahu A’lam.

Bogor, Akhir Syawwal
1440 Hijri (Juni 2019)
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban

Kontributor

  • A. Ginanjar Syaban

    Nama lengkapnya Dr. Ahmad Ginanjar Sya'ban, MA. Filolog Muda NU ini adalah pakar naskah Islam Nusantara. Sehari-hari menjadi dosen di UNU Jakarta, dan aktif menulis juga menerjemah buku-buku berbahasa Arab.