Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Perjalanan Cinta Mufasir Wanita Aisyah Bintu Syathi’

Avatar photo
21
×

Perjalanan Cinta Mufasir Wanita Aisyah Bintu Syathi’

Share this article

‘Alā al-Jisr , jembatan cinta yang mengisahkan perjalanan Srikandi tafsir, Aisyah Bintu Syathi menemukan belahan jiwanya.

***

Sebagai wanita pertama yang menulis tafsir Al-Quran, menjabat di Lembaga Riset
Al-Majalis Al-Q
aumiyyah Al-Mutakhasshishah, menjadi dosen di 9
negara, sebagai pendidik yang mencetak banyak ilmuan berkelas, serta serius
mendalami ilmu humaniora dan sastra Arab; kehidupan yang sarat dengan aktivitas
ilmiah itu tak menjadi penghalang bagi Prof. Dr. Aisyah bintu Sy
athi’ untuk menjalani kisah cinta yang
indah.

Semua rentetan kisah itu ia tuangkan
dalam roman karyanya berjudul ‘Alā al-Jisr, yang ia tulis kala hatinya
masih dirundung sedih dan kekalutan setahun setelah kepergian suami sekaligus
guru terkasihnya, Dr. Am
in Al-Khuli tahun 1960-an.

Sebagai penulis papan atas, kisah hidup
penuh dengan tantangan dan rintangan yang ia lalui dapat menjadi sumber
inspirasi untuk ia tuangkan dalam tulisan dari berbagai sudut pandang. Namun
dalam otobiografi ini, ia memilih menumpah-ruahkan sisi kemalangannya menyusul
musibah kehilangan seorang belahan jiwa yang selama ini menemaninya membangun
rumah-tangga, belajar dan berkarya.

Novel ‘Alā al-Jisr memang tidak tebal,
memuat 152 halaman. Namun
isinya
sarat makna yang membuat
pembaca tidak akan cukup melahapnya sekali saja. Setiap kali diulang, pembaca
akan meraup maklumat-maklumat baru yang ia titipkan melalui gaya bahasa menawan
.

Tulisan saya ini mustahil mewakili novel
luar biasa karya sastrawati itu, hanya memberi sedikit gambaran keindahan
muatannya dan semoga menularkan semangat seorang tokoh wanita
tangguh.

Dalam ‘Alā al-Jisr, kejadian yang
penulis tekankan terpusat pada kisah cinta antara dirinya dan Al-Khuli.
Terlihat bagaimana penulis menggambarkan fase sebelum pertemuan; mulai dari
proses pembelajaran, pematangan berfikir dan pendewasaan diri. Menurutnya semua
itu adalah masa pemantasan diri untuk menemui belahan jiwanya. Melalui
perjalanan panjang penuh lika-liku itu, ia memperoleh kecerdasan dan
multi-skill yang seakan menjadi jisr (jembatan) yang menjembatani
pertemuannya dengan sang kekasih.

Ia seakan masih tidak menyana, gadis
kampung dekil yang lahir dan tumbuh di pesisir pantai Nil seperti dirinya akan
bertemu dengan salah seorang pemikir terhebat di Mesir pada zamannya, perintis
metode kritik sastra dalam tafsir Al-Quran, guru besar di universitas negeri
nomor wahid di Mesir.

Novel itu ia buka dengan sebuah syair
yang menggambarkan dirinya dan Al-Khuli terpisah oleh berbagai dinding
penghalang, terpisah ruang dan waktu, jarak, gap usia dan status sosial yang
regang. Seakan ia berada di sebuah tepi daratan, sedangkan Al-Khuli berada di
daratan lain yang begitu jauh, terpisah oleh jurang yang sangat panjang dan
curam. Sulit mengimajinasikan akan terjadinya pertemuan. Maka jalan terjal yang
dilalui Aisyah semenjak kecil beruntun mendekat, bagaikan jembatan untuk
menautkan cinta suci itu.

Keberhasilannya melalui jembatan angker
itu membuat dirinya berbangga dengan mengatakan, “Kisah kami ini bagaikan
dongeng mitos yang sulit terulang di dunia nyata.”

Pandangan Pertama

Ia merasa telah mengenal Al-Khuli sebelum berjumpa dengan sosoknya
untuk pertama kali dalam kenyataan. Pada halaman 121 novel, ia mengaku
pertemuan pertama itu terasa De Javu baginya.

“Ketika pertama-kali menyaksikan
Al-Khuli menyampaikan kuliah, murid-murid yang mengitarinya menyimak dengan
penuh perhatian. Aku
pun mendekat untuk ikut menyimak,
sektika aku terkesiap. Dadaku berdebar. ‘Aisyah,
suara ini benar-benar tidak asing. Tapi
kapan dan di
mana aku pernah
mendengarnya?’ Batinku.

Pertanyaan itu terus-menerus berputar di
otakku. Kupandang wajahnya dengan lekat, semakin menyulut api kebingungan.
Kapan dan di mana aku pernah melihatnya?

Sungguh, aku merasa sudah akrab
dengannya.

Sebelum menceritakan kisah pertemuan
pertama yang menjadi awal tumbuhnya benih-benih cinta yang kemudian dibina
menjadi sebuah kebersamaan erat di atas landasan ikatan suci pernikahan (al-‘urwah
al-wutsq
a); penulis menceritakan,
berawal dari kegundahan yang ia alami setelah menuntaskan tahun pertama di
bangku perkuliahan. Tahun keduanya di perkuliahan adalah masa-masa
membingungkan. Terutama dengan kondisi negara saat itu yang tengah genting
dengan suasana revolusi, beberapa mahasiswa di kampus bahkan gugur sebagai
korban.

Dia mulai berpikir, “Apa yang akan kudapatkan dari
perkuliahan ini? Sejauh mana timbal balik antara aku dan kampus? Bagaimana
kampus sesungguhnya berhasil membentuk alur pikir dan mengasah kemampuanku
membaca turats?”

Di balik kegundahan itu, Bintu Syathi’
tidak mendapatkan support kuat dari sang ayah, karena keputusan masuk universitas
adalah atas kenekatannya sendiri, di zaman ketika mengecap pendidikan tinggi
bagi wanita terbilang sangat tabu di Arab bahkan di dunia saat itu. Menjadi
mahasiswi saat itu dipandang sebuah bid’ah. Namun ia selalu merasa ada sebuah
power besar yang mendorongnya dengan kuat untuk melawan arus.

Di hari pertama perkuliahan tingkat II,
hari itu tepat peringatan hari ulang tahunnya, itulah hari pertama perjumpaan
manis.

“Aku mencoba mengenyahkan jauh-jauh
kegundahanku. Aku mengambil tempat di ruang kuliah dengan penuh rasa semangat,
dengan tekad kuat untuk meraih prestasi tertinggi.

Seorang dosen gagah penuh wibawa
memasuki kelas kami. Ia menyampaikan salam dan tanpa membuang-buang waktu, ia
berkenalan dengan langsung membicarakan SKS dan kontrak perkuliahan bersama
kami. Ia mengampu Mata Kuliah Ulum al-Qur’an. Kami diberikan kebebasan untuk memilih
sendiri tema pembahasan untuk diangkat sebagai pembahasan makalah yang akan
dipresentasikan.

Dengan penuh semangat, aku menjadi
mahasiswa pertama yang mengacungkan tangan dan menawarkan diri mendapat giliran
pertama dengan pembahasan pertama tentang
nuzul al-Qur’an.”

Dengan tetap cool, sang dosen menjawab tantanganku,
‘Berapa lama waktu yang kamu butuhkan untuk menyiapkan materinya?’

‘Bagi saya cukup sehari, Pak. Atau
bahkan setengah hari.’ Jawabku dengan tegas.

Beliau menyergahku, ‘Jawablah dengan
realistis! Tidak masalah kalian meminta waktu yang cukup panjang untuk
deadline.’

Aku membuat sedikit pertimbangan, tapi
pantang bagiku menarik perkataan yang telah keluar. Kutanyakan lagi sekaligus
menginformasikan kelengkapan referensi yang kupunya: ‘Apakah cukup jika saya
merujuk untuk pembahasan ini pada kitab Al-Burhān karya Badr Az-Zarkasyi, kitab
Al-Itqān dan Al-Lubāb karya Jalal as-Suyuthi ditambah dengan Sīrah
al-Hasyīmiyah, Thabaqāt Ibnu Sa’d dan Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari?’

‘Satu kitab saja dari yang kau sebutkan
itu cukup apabila kau mampu membacanya dengan baik.’ Jawabnya dengan tetap
tenang.

Inilah awal pertemuan yang membuat hati
seorang gadis pesisir Dimyath itu campur aduk oleh pesona sang dosen. Ia
semakin yakin, setiap langkah yang ia tempuh selama ini seakan tersusun untuk
perjalanan menemukan Amin Al-Khuli yang nanti akan menjadi dosen dan belahan
jiwa yang membuktikan kemaha-besaran Allah yang menciptakan manusia
berpasang-pasangan. Dari rumah itulah mereka bersama mengarungi bahtera rumah
tangga selama 20 tahun, mengeluarkan ide-ide besar yang sebagaimana diungkapkan
oleh pemikir besar Prof. Dr. Thoha Jabir Al-Ilwani, “Pemikir seperti kita
saat ini tidak bisa menyumbangkan sepersepuluh apa yang telah disumbangkan oleh
sepasang suami istri ini.”

Lalu bagaimana kehidupan Aisyah bintu
Syathi?

Aisyah bintu Muhammad Ali Abdurrahman yang
akrab dengan panggilan Bintu Syathi’ merupakan tokoh wanita pemikir, peneliti,
dosen dan penulis berkebangsaan Mesir. Ia adalah wanita pertama yang menjadi
dosen di Al-Azhar Asy-Syarif dan universitas lainnya. Di antara wanita pertama
yang berprofesi sebagai jurnalis di Mesir, khususnya di Harian Al-Ahram. Wanita
pertama di Arab yang dianugerahi Nobel King Faisal di bidang sastra dan studi
Islam. Padahal dia hidup di zaman hak wanita dikekang. Untuk masuk sekolah
dasar
pun dilarang, apalagi
sampai meraih gelar doktor dan mengajar di perguruan tinggi.

Kelahiran dan Keluarga

Aisyah lahir tak jauh dari pesisir Nil
di perkampungan Dimyath, 6 November 1913 M. Putri mungil itu lahir di tengah
keluarga alim Azhari, ayahnya Syaikh Muhammad bin Ali bin Abdurrahman adalah
pengajar di Ma’had Al-Azhar Dimyath. Kakeknya dari ibu Syaikh Muhammad
Ad-Damhuji adalah seorang
ulama besar Al-Azhar yang
nasabnya bersambung kepada Sayidina Husein bin Ali RA.

Pendidikan Awal

Tumbuh di tengah lingkungan taat
beragama, oleh sang ayah, ia dimasukkan ke kuttab Syaikh Mursi dan Ma’had
Diniyah Al-Azhar setempat. Baru menginjak usia enam tahun, 15
juz Al-Qur’an sudah dihafalnya.
Sebenarnya ayahnya dulu ingin menimang anak laki-laki untuk dikaderkan menjadi
ulama, karena itulah Aisyah dididik dengan ketat dan tidak diperkenankan banyak
bermain sebagaimana kawan sebayanya.

Setelah menggenggam ijazah Ibtidaiyah di
usia 10 tahun dengan nilai tertinggi, idealisme sang ayah meminta Aisyah untuk
putus sekolah dan menetap di rumah, konservatif dengan budaya saat itu. Namun
jiwa ambisius Aisyah bersikeras melanjutkan pendidikan. Berkat sokongan ibu,
kakek dan guru-gurunya, sang ayah luluh dan Aisyah dapat melanjutkan sekolah.
Bahkan kakeknya lah yang langsung turun tangan mengurus pendaftaran. Semula
sang
ibu merekomendasikan putrinya masuk
Madrasah Mu’allimat Favorit di Manshuroh, tetapi sang ayah lebih memilih
putrinya di Madrasah Thanta.

Tentang sikapnya ini, Bintu Syathi
mengatakan: “Aku belajar berlandaskan manhaj Al-Azhar. Kitab pertama yang
menjadi concern-ku adalah Al-Qur’an, ialah inspirasi terbesar yang mendorongku
mabuk mencintai ilmu, semangat belajar mengalir dalam darahku. Ayahku juga
seorang Alim, dia yang menanamkan kecintaan ilmu. Tapi mengapa dia juga yang
ingin menghalangi jalanku? Maka kutabrak haluannya dan aku yang berhak menang.”

Pengaruh Sang Kakek dalam Bakat Jurnalistik

Semasa belajar di sekolah menengah, sang
kakek sering menitip lewat Aisyah untuk membelikan Koran Al-Ahram dan Koran
Al-Muqattam untuk dibaca sebagai kewajiban harian. Sang kakek adalah seorang
aktivis yang kerap menulis kritik kepada pemerintah untuk perbaikan pengelolaan
sungai Nil, karena limbah yang terbuang dari kota mengalir ke Dimyath
mengganggu kebersihan dan mengancam keselamatan para nelayan.

Untuk menulis surat itu, ia mendiktekan
kepada cucunya Aisyah yang saat itu masih tidak suka dengan dunia literasi.
Secara tidak langsung, Aisyah terus berusaha menguatkan uslub tulisannya demi
memuaskan sang kakek.

Melanjutkan SMA dan Masuk Kuliah

Setelah menuntaskan masa belajar di SMP
Thanta, ia kembali mati-matian meyakinkan sang ayah untuk mengijikannya
melanjutkan ke Madrasah Mu’allimat Helwan. Dengan dukungan sang ibu dikuatkan
saran mursyid thariqahnya Abu Haikal Al-Syarqawi, Aisyah mendapatkan lampu
hijau.

Setelah lulus dengan tetesan keringat
perjuangan, ambisinya tidak berhenti sampai titik ini. Sang ayah merestui dia
menjadi guru di Madrasah Banat Manshuroh. Semangat mengajarnya terlihat dengan
jam mengajar 34 jam dalam sepekan. Padahal, ia bercerita masa-masa awal
mengajarnya lumayan menjenuhkan, karena hanya mengajar ekstrakulikuler. Itu
yang mendorongnya belajar Bahasa Inggris dan Prancis kemudian mengajarkannya.

Keuletan dan kecerdasannya membuat kagum
pengawas, maka dia dimutasi sebagai sekretaris di Kulliyah Banat di Giza. Dari
sana, dia mendapatkan sertifikat yang mengantarkannya masuk ke gerbang
Universitas Kairo. Dengan demikian, dia menjadi wanita ketiga sepanjang sejarah
Mesir yang menjadi mahasiswi setelah Aminah Al-Sa’id dan Sahir Al-Qolmawi.

Keahliannya dalam menulis terus ia asah
selama menjadi mahasiswi. Secara rutin, ia aktif mengirim naskah tulisannya
kepada tim redaksi majalah. Tulisan-tulisan berupa cerita, puisi dan artikel
kritis kebangkitan kaum wanita miliknya mulai tersebar sehingga dipinang untuk
menjadi penulis tetap di Koran terbesar Mesir Al-Ahram tahun 1935. Untuk
menjaga privasi, ia enggan menggunakan nama asli, ia memilih nama Bintu Sy
athi (Putri Pesisir) sebagai nama pena. Ketika masih duduk di tingkat 2,
dia sudah menyelesaikan buku berjudul “Pedesaan Mesir”.

Aisyah lulus dari Fakultas Sastra Arab
pada tahun 1939 M dengan nilai Mumtaz, skripsinya mengangkat penelitian
terhadap karya Abu Al-‘Alā’ Al-Ma’arri yang berjudul “Al-Hayāh Al-Insāniyyah”.
Kecerdasannya mengantarkan
dia menjadi asisten dosen
sembari melanjutkan kuliah pascasarjana. Tiga tahun berikutnya, ia meraih gelar
Magister dengan nilai Summa Cumlaude dengan Tesis berjudul “Studi Kritis
Risalah Al-Gufrōn”.

Dia menikah dengan dosennya Dr. Amin Al-Khuli,
pemilik sanggar sastra dan pemikir terkenal di Madrasah Al-Umana. Dari
pernikahan ini, ia melahirkan 3 orang anak.

Setelah menikah dia tetap melanjutkan
studi hingga berhasil meraih gelar doktoral setelah berhasil mempertahankan
disertasi dalam sidang yang diuji langsung oleh dekan fakultas, Prof. Dr. Thoha
Husein pada tahun 1950.

Jabatan akademiknya sebagai dosen terus
melejit, pada 1962 M dikukuhkan sebagai Profesor Bahasa dan Sastra Arab di
Universitas Ain Syams. Sementara di Universitas Al-Qorowiyyun Maroko dia
diangkat menjadi guru besar
tafsir tahun 1970 dan
menghabiskan waktu mengajar di sana selama 20 tahun.

Guru Bintu Syathi’

Di antara dosen-dosennya yang berpengaruh: Prof. Musthafa
Abdurraziq, Prof. Ahmad Luthfi Sayyid dan Prof. Thoha Husein. Termasuk juga
orientalis Jerman yang masyhur, Yusuf Asy-Syahat. Bintu Syathi’ bercerita:
“Asy-Syahat dosen kami, mengajar Fiqih dan Bahasa, saat mengajar dia disiplin
mengenakan jubah kebesaran Al-Azhar.”

Yang paling berpengaruh dari
guru-gurunya tentu saja Amin Al-Khuli. “Dia lebih dari seorang guru. Aku
menemukan dari dirinya sosok pembimbing, sahabat dan teman. Meskipun aku tetap
menghormatinya layaknya murid menghormati guru. Ketika aku merasa tak bisa jauh
darinya karena keterikatan ruh, kesejalanan pemikiran dan saling pengertian,
maka kami menikah.”

Karya-Karya Bintu Syathi’

Bintu Syathi’ meninggalkan lebih dari 40
karya keislaman, kesusastraan, sejarah serta riset teks-teks manuskrip. Di
antara karyanya: Tafsir Bayāni li Al-Qur’ān Al-Karīm, Al-Qur’ān wa Qodhōya
al-Insān, Sayyidāt Bait an-Nubuwwah (Biografi Ahlu Bait Wanita), Kajian Risālah
Al-Gufrōn (Kritik Sastra atas Prosa milik Penyair dan Filosof Abu ‘Alā
Al-Ma’arri.
Al-Ma’ari dalam karyanya ini seolah berdialog melalui alam
imajinasi dengan penyair-penyair besar pendahulunya seperti Zuhair bin Abi
Sulma di surga dan Imru’ul Qois di Neraka), Analisa Syair-Syair milik
Al-Khonsa’
(penyair Jahili), novel berjudul ‘ala Al-Jisr
(otobiografi yang merekam kisah hidupnya, ditulis setelah meninggalnya sang
suami dengan Bahasa yang puitis dan menyentuh), “Ksatrianita Karbala”
(tentang kepahlawanan Sayyidah Zainab binti Ali bin Abi Thalib pada tragedi
Karbala tahun 61 Hijriah).

Bintu Syathi’ menyumbangkan
gagasan-gagasan baru dalam sastra Arab, ia memiliki konsentarsi serius dalam
ilmu Bahasa Arab, lantaran menurutnya: “50 % dari ilmu-ilmu Al-Qur’an adalah
ilmu Bahasa Arab.”

Prestasi Bintu Syathi’

• Wanita pertama yang menulis tafsir

• Dosen Universitas Al-Qorowiyyun 20
tahun

• Penghargaan sastra Nasional Mesir 1978

• Medali dari kerajaan Maroko

• Pengharagaan Sastra dari Kuwait 1988

• Satu-satunya wanita yang diberikan
jabatan di Lembaga Riset Islami Kairo, Al-Majalis Al-Qoumiyyah
Al-Mutakhassishah.

• Lulusan mu’allimat terbaik se-Mesir
1929

• Mengajar di 9 negara, di setiap
universitas menjadi dosen favorit dan mencetak ilmuan berkelas

• Serius mendalami ilmu humaniora dan
Arab

Aisyah Bintu Syathi dan Emansipasi
Wanita

Dalam setiap tulisannya, Bintu Syathi
sangat kritis menyentil hukum-hukum yang zalim, sehingga ia patut digelari
Mujāhidah (pejuang wanita). Medan jihad utamanya adalah memerdekakan kaum
wanita dari cengkraman kebodohan yang membelenggu wanita Arab berabad lamanya.

Namun gerakan emansipasinya ini genuine
dan proporsional dengan memegang teguh landasan syariat dan memerhatikan fitrah
wanita, ia mengaku tidak ingin menyamakan lelaki dan wanita secara mutlak. Ia
mengakui hukum yang sudah Qath’i dalam Al-Quran seperti kebolehan poligami,
bagian warisan separuh dari bagian laki-laki dan sangsi suami kepada istri yang
nusyuz.

Ia hanya ingin agar hak-hak
saudari-saudarinya dikembalikan, hak-hak yang telah ditetapkan Islam namun
dirampas oleh kaum laki-laki dengan kejahilan dan ambisi ingin menguasai dengan
tabir agama, padahal sesungguhnya Islam sangat memuliakan wanita.

“Saya ingin memelihara hak yang
telah diatur, bukan memberi hak kebebasan. Bedakan antara keduanya! Saya ingin
wanita diberikan pendidikan yang layak dan diberikan hak berparsitipasi dalam
perjuangan, bukan berarti saya mempersilakan mereka meminum kham
ar, pergaulan bebas dan menanggalkan
prinsip malu.”

Kritik Aisyah langsung menukik pada
desakan perubahan undang-undang ahwal syakhsyiyyah tentang hak-hak istri
dan ibu-ibu tua.

Wafat

Hidupnya ia habiskan untuk membela agama
Allah, memperjuangkan hak kaum wanita dan mengangkat derajat mereka sesuai yang
telah diatur oleh Islam. Akhirnya Allah Ta’ala meletakkan amanah itu dengan mengambil
ruh sang mufassirrah Kitab Suci-Nya itu kepada rahmat-Nya pada 8 Desember 1998
setelah hidup dengan mengukir banyak prestasi yang membuat namanya abadi, tidak
hilang terkubur bersama jasadnya.

Kontributor

  • Zeyn Ruslan

    Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.