Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Buku

Relasi Gender Perspektif Kosmologi dalam The Tao of Islam

Avatar photo
25
×

Relasi Gender Perspektif Kosmologi dalam The Tao of Islam

Share this article

Anggapan mengenai Islam yang tersebar luas, berawal dari Arab menyebar
ke berbagai belahan dunia dengan cara pembantaian
, sudah
menjadi isu yang basi. Anggapan ini mudah ditepis baik dengan fakta sejarah
maupun dengan nilai-nilai yang diajarkan oleh Islam. Akan tetapi anggapan atau
praduga tentang pandangan kuno Islam terhadap kaum wanita, kedudukan dan
penghargaan terhadapnya hampir tidak berubah dari masa ke masa. Anggapan ini
telah berakar kuat pada pikiran banyak orang terutama di Barat.

Shaciko Murata di dalam penelitiannya membahas tentang relasi
gender
, salah satunya dari
prespektif kosmologi. Berbekal keilmuan yang luas, peneliti menyadari bahwa ia
terlebih dahulu harus melihat tentang kedudukan wanita melalui prespekti Timur
Jauh, ia merasa perlu kembali menengok tentang ajaran I Ching dan ajaran-ajaran
China lainya yang membahas kaum wanita secara umum. Karena hal tersebut dapat
menjembatani pemahaman tentang kedudukan wanita dalam Islam.

Dari prespektif ilmu keislaman, Sachiko merasa
tidak memungkinkan untuk membahas kedudukan wanita dari prespektif
syariah. Sachiko lebih melihat
ini dari p
erspektif tradisi intelektual Islam, karena mereka banyak
menjelaskan tentang Islam
sebagai “sebab”bukan
sek
adar “bagaimana”. Para intelektual Islam yang
kebanyakan kelompok ini dikategorikan sebagai
sufibanyak membahas tentang
hal-hal fundamental termasuk tentang hakikat gender dalam matriks realitas
tertinggi. Sebenarnya para
inteletual
Islam
, seperti al-Ghazali, telah menyadari dan
mengingatkan para
ulama fikih yang
hanya memandang dan menilai sesuatu melalui satu dimensi saja.

Kosmologi sebagai suatu pendekatan merupakan
hal yang belum begitu familiar pada awalnya. Namun dalam masalah Relasi Gender
ditemukan hal-hal menarik dari kacamata ilmu Kosmologi. Dimulai dari realita
kosmik yang paling terlihat yaitu Langit dan Bumi. Di
dalam al-Qur’an dijelaskan
bahwa Tuhan menjadikan segala sesuatu berpasang-pasangan, dalam artian seseuatu
yang berpasangan adalah dua realitas yang berbeda namun saling melengkapi.
Al-Qur’an pun dalam menyampaikan sesuatu sangat sering menyebutkanya secara
berpasangan. Pasangan yang paling sering disebutkan oleh al-Qur’an dengan cara
berpasangan adalah langit dan bumi. Langit dan bumi adalah dua titik acuan
dasar dunia, yang kemudian menjadi istilah yang korelatif dalam maknanya. Dalam
penyebutan langit dan bumi, al-Qur’an juga seringkali menyertakan kalimat “an
yang ada di antara keduanya”yang dapat diartikan sebagai sinonim “sepuluh ribu
hal”yang lahir dari Yin dan yang dalam tradisi Tao.

Selanjutnya tentang perkawinan makrokosmik
antara langit dan bumi, hubungan antar keduanya adalah hubungan yin dan yang.
Keduanya bagai suami dan istri atau ayah dan ibu yang saling melengkapi
meskipun keduanya adalah realita yang berbeda. Ibnu Arabi di
dalam tafsiran ayat “Kepada
setiap langit diwahyukan jalan masing-masing
,”berkata:

“Dan dia menjadikan bumi layaknya Istri dan langit
layaknya suami. Langit memberikan kepada bumi sebagian dari perintah yang
diwahyukan, sebagaimana pria memberikan air ke
dalam diri wanita melalui senggama. Ketika
pemberian itu berlangsung bumi mengeluarkan seluruh strata-strata benda yang
dilahi
rkan yang
telah disembunyikan Tuhan di dalamnya.

Perkawinan atau hubungan seksual makrokosmik
menurut Ibnu Arabi dan juga para pengikutnya bukanlah suatu fenomena manusiawi.
Melainkan sebagai kekuatan produktivitas universal yang terdapat di dalam
setiap tingkat eksistensi, mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil
seperti atom. Dari tingkat yang paling tinngi adalah apa yang kemudian disebut
dengan “perkawinan ilahi “, yaitu tatkala Tuhan menciptakan suatu benda,
maka tuhan dan benda non-konsisten diibaratkan seperti  pria dan wanita, sementara benda eksisten
yang lahir dari penyatuan itu adalah anak. Dalam hal ini Ibnu Arabi memberikan
komentarnya: “yang pertama dari para ayah yang tinggi adalah sangat jelas.
Yang pertama dari para ibu yang rendah adalah yang mungkin dan non-eksisten
.

Contoh yang menonjol tentang perkawinan seluruh
atom menurut Ibnu Arabi adalah perkawinan antara lemabaran dan pena. Perkawinan
ini adalah dua prinsip eksitensi ruhani yang melaluinya dimunculkan seluruh
kosmos. Maka sebagaimana di dunia manusia membutuhkan Adam dan Hawa, demikian
pula di dalam kosmos membutuhkan Adam ruhaniah dan Hawa ruhaniah untuk
melahirkan Langit, bumi dan segala sesuatu yang ada diantaranya.

“Suatu perkawinan
supraindrawi yang masuk akal terjadi antara pena dan lembaran. Jejak yang
tersimpan di dalam lembaran itu seperti air mani yang dikeluarkan dan dimasukkan
kedalam rahim wanita, makna–makna yang tersimpan di dalam huruf-huruf langit
yang menjadi terwujud karena tulisan itu adalah seperti ruh-ruh dari anak-anak
yang tersimpan di dalam badan-badan mereka.”

Di dalam hubungan antara pena dan lembaran,
atau hubungan antara langit dan bumi adalah sinonim hubungan yin dan yang dalam
tradisi Tao. Pena dan langit sebagai pemberi pengaru
h (Muatstsir) adalah yang, bumi dan
lembaran yang menerima pengaruh tersebut adalah yin. Kemudian dalam hubungan
dengan tuhan, pena dan langit adalah yin dan tuhan adalah yang. Dan pada suatu
tingkatan yang lain bumi dan lembaran adalah yang bagi eksistensi-eksistensi di
bawahnya. Dalam hal ini
sebagaimana digambarkan oleh Ikhwan al-Shafa’:

 “Hubungan antara jiwa dan akal adalah seperti
hubungan antara kecemerlangan bulan dan cahaya matahari, sementara hubungan
antara akal dan sang pencipta adalah seperti hubungan cahaya matahari dan
matahari itu sendiri, jika bulan dipenuhi oleh cahaya matahari, ia menyamai
matahari dalam cahayanya. Demikian pula, ketika jiwa menerima limpahan akal
sehingga keunggulan-keunggulanya menjadi sempurna, ia menyamai akal dalam
tindakan-tindakanya.”

Kemudian beranjak kepada
perkawinan Mikrokosmik antara manusia pria dan wanita, pandangan Islam tentang
perk
awinan manusia banyak
dijelaskan di dalam al-Qur’an dan al-Hadist yang keseluruha
nnya adalah menilai positif terhadap
pernikahan atau hubungan seksual. Begitupun para sufi dan tradisi intelektual
Islam merangkum pandangan Islam terhadap perkawinan dengan nilai positif.
Al-Ghazali misalya memaparkan lima manfaat pernikahan yaitu: mempunayi anak,
melindungi agama dan membatasi nafsu, membangun rumah tangga dan melatih diri
sendiri dalam melatih watak yang baik. Secara garis besar manfaat-manfaat ini
tidak menyentuh aspek hubungan seks yang banyak dipaparkan sufi yang lain,
karena al-Ghazali dalam hal ini sedang menghadapi konteks masyarakat umum.

Kemudian mengenai derajat antara pria
dan wanita, salah satu ayat terkenal dalam hal ini adalah fiman Allah Swt: “Kaum
pria satu derajat lebih tinggi daripada mereka (kaum wanita)
.” Bagian itu terdapat pada
sebuah ayat panjang yang membahas tentang hukum perceraian. Maybudi’ dan
beberapa penafsir lainya dalam menjelaskan ayat ini bahwa hak kaum pria
terhadap wanita sama persis seperti hak kaum wanita terhadap laki-laki, hanya
saja kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada kaum wanita, yaitu
melalui perjanjian untuk menafkahi dan memberikan dukungan kepada kaum wanita.

Posisi berbeda ditunjukkan Ibnu
Arabi dalam salah satu bagian tulisa
nnya. Dia menjelaskan bahwa dalam
hubungan antara pria dan wanita, pria tidak berdaya tanpa adanya wanita, wanita
adalah mikrokosmos yang bisa memusatkan pada dirinya realitas resepif yang ada,
wanita menyatukan pada dirinya kekuatan dari seluruh kosmos. Ibnu Arabi
menjelaskan mengenai kejadian Hafsah dan Aisyah dengan Nabi Muhammad Saw: “Tuhan
telah menunjukkan kekuatan yang menonjol dari wanita dalam firman-Nya berkenaan
dengan Aisyah dan Hafshah: “jika kalian berdua bersatu untuk melawanya (Nabi),
Tuhan adalah pelindungnya, beserta Jibril dan orang-orang mukmin yang baik, dan
sesudah itu para malaikat pun mendukungnya.”
Semua ini adalah untuk melawan
kekuatan dua orang wanita. Dan di sini
Tuhan
hanya menyebutkan yang kuat, mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan
.

Ibnu Arabi dalam banyak
bagian tulisanya yang membahas derajat pria dan wanita, tidak memandang dari
aspek penerapan-penerapan sosial, malinkan pada makna kosmologi dan metafisik.
Artinya ia ingin menunjukkan apa yang ada dalam hakikat realitas yang
menentukan tingkat ini. Sebagaima dikemukaka
nnya: “derajat
itu bersifat ontologis (wujudi), sehingga ia tidak hilang
.” Ibnu Arabi menyamakan
kedudukan antara pria dan wanita seperti kedudukan langit dan bumi. Wanita sama
seperti bumi dalam hal menjadi lokus yang menerima aktifitas. Tingkat pria
dipengaruhi oleh dominasi yang pada dirinya dan tingkat wanita dipengaruhi
dominasi yin. Adapun mengenai ketentuan syariat (taklif) yang diberikan Allah
Swt kepada pria dan wanita adalah sama dan setara.

 Hal lain yang tentang wanita yang diungkapkan
oleh para sufi seperti Ibnu Arabi dan para pengikutnya adalah tentang
penyaksian tuhan.
Perenungan dan
penyaksian
wanita merupakan jenis persaksian sempurna yang
diberikan kepada manusia. Para sufi menjelaskan tentang hal ini dengan
kapasitasnya sebagai seorang ahli makrifah, bukan sebagai ahli pikir
rasional. Ibnu Arabi menjelaskan:

“Ketika pria menyaksikan yang
maha nyata dalam diri wanita, inilah penyaksian dalam suatu lokus yang menerima
aktifitas, ketika pria menyaksikan Dia dalam dirinya sendiri dalam kaitannya
dengan kenyataan bahwa wanita terwujud darinya.”

“Maka penyaksiannya atas yang
nyata dalam diri wanita adalah yang paling lengkap dan paling sempurna, sebab
ia menyaksikan yang nyata dalam kaitannya dengan kenyatan bahwa Dia sekaligus
seorang wakil dan lokus penerima aktifitas.”

Pendapat Ibnu Arabi ini kemudian
dikomentari dengan penjelasan yang berkembang dan panjang oleh para muridnya
atau murid dari muridnya seperti Jandi, Qasyari dan Abdurrahman Jami’.

Kontributor

  • Choirul Anam Muhammad

    Alumni Imam Syafi’i College Mukalla-Yaman, mahasiswa aktif pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Twitter : anamchoirul_9