Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Baginda Nabi Muhammad Saw: Sosok Paling Dirindukan oleh Makhluk Sejagat

Avatar photo
36
×

Baginda Nabi Muhammad Saw: Sosok Paling Dirindukan oleh Makhluk Sejagat

Share this article

Jauh sebelum lahirnya Nabi Muhammad Saw, para sejarawan, agamawan dan ahli hikmahdari pendeta Nasrani di Syam dan Najran, rahib Yahudi di Hijaz dan Makkah, perawi sejarah, penyair-penyair Arab dan ahli nujumsudah memprediksikan akan munculnya anak yang diramalkan, juru selamat, nabi akhir zaman; begitu mereka menyebutnya.

Mereka berkeyakinan bahwa sosok yang ditunggu-tunggu tersebut sudah dekat masanya, yaitu dengan ditandai kejadian-kejadian di luar nalar yang mulai bermunculan mengiringi kelahirannya, mulai dari perang ‘Amm Fiil dan keajaiban yang menyertainya, matinya “api abadi” kaum Majusi, tertutupnya pintu langit bagi para jin dan cenayang hingga membuat mereka kebingungan, munculnya cahaya hijau yang membentang di seantero Jazirah Arab, dan kejadian ajaib lainnya yang terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan.

Adanya kepercayaan yang bersifat transendental ini menandakan bahwa rumusan teologis mengenai kenabian, atau minimalnya akan munculnya sang juru selamat di akhir zaman, merupakan hal yang cukup familier bagi masyarakat Arab kala itu. Kemudian dari persoalan keyakinan ini, memunculkan sebuah pertanyaan fundamental: apakah Muhammad ibn Abdillah merupakan sang juru selamat yang diramalkan itu? Mari kita melihat faktanya sendiri dari penuturan para sejarawan dan ahli hikmah.

Rasulullah Saw. dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal menurut pendapat yang masyhur. Ada yang mengatakan tanggal 8, dan 9 Rabiul Awal. Sedangkan tahunnya sendiri yaitu bertepatan pada peristiwa ‘Amm Fiil yang terjadi pada tahun 570/571 M. Sepertinya hanya pada hari kelahirannya saja para periwayat sejarah bersepakat, yaitu pada hari Senin, sebagaimana sabda Rasulullah Saw sendiri ketika ditanya mengenai puasa di hari Senin, “Itu hari kelahiranku dan diturunkan wahyu kepadaku” (HR. Muslim dan Ahmad)

Disebutkan dalam Maulid ad-Dziba’i bahwa alam semesta menunjukkan cinta mereka dan bersyukur tatkala mewujudnya Nur Muhammad Saw ke dunia; binatang-binatang liar di penjuru timur dan barat, binatang-binatang laut, dan tidak ketinggalan makhluk dari bangsa jin juga sama-sama berbahagia atas kelahirannya. Jagat alam malaikat pun gempar karena takjub dengan ciptaan Tuhannya yang tiada duanya ini. Malaikat ramai-ramai mendatangi rumah Sayyidah Aminah, menyampaikan kabar gembira bahwa waktu kelahiran Rasulullah Saw semakin dekat.

Semua makhluk berbahagia, kecuali raja setan, Iblis. Disebutkan dalam al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibn Katsir, bahwa Imam Suhaili menceritakan dari tafsir Baqi ibn Makhllad al-Hafizh bahwasanya Iblis menangis dengan keras sekali dengan rintihan yang memilukan sebanyak empat kali, dan salah satunya yaitu ketika Rasulullah Saw dilahirkan. Inilah salah satu alasan mengapa kita harus merayakan Maulid Nabi, dan dengan suka cita pula, agar selalu mendapatkan rahmatnya dan terhindar dari tipu daya setan yang sangat halus.

Tetapi meskipun seluruh makhluk mencintai Rasulullah Saw, toh dia tetap mengalami masa-masa sulit sedari kecil. Karena sang ayah, Sayyid Abdullah, meninggal dunia bahkan ketika dia baru berumur dua bulan dalam kandungan Sang Ibundanya, Sayyidah Aminah. Beberapa tahun kemudian Sang Ibundanya akhirnya menyusul sang suami ke hadirat Allah Swt setelah sebulan mengalami sakit parah. Jadilah Muhammad kecil yatim piatu sejak usia kanak-kanak. Namun, justru di waktu yang serba sulit inilah tanda-tanda kenabiannya mulai tampak dan bermunculan. Tanda kenabian tersebut berupa “inayah Tuhan.”

Baca juga: Yang Terjadi Saat Sayyid Abdullah Dilahirkan dan Menikah dengan Sayyidah Aminah

Disebutkan dalam satu riwayat bahwa ketika Nabi dalam pengasuhan Sayyidah Halimah, ia didatangi oleh dua orang tidak dikenal. Tiba-tiba dada Nabi dibelah, hatinya dikeluarkan dan kemudian disucikan dengan air zamzam. Menurut riwayat, mereka adalah malaikat.

Memang benar jika dikatakan bahwa cerita tersebut tidak masuk akal, tetapi fakta sejarah mengungkapkan keajaiban lain yang lebih masuk akal pada masa-masa pengasuhan Sayyidah Halimah ini. Keajaiban tersebut misalnya, air asi pengasuhnya yang tiba-tiba melimpah, menjadi sehat dan makmurnya saudara sepersusuhannya, binatang ternaknya menjadi gemuk dan beranak pinak dan lain-lain. Padahal sebelum kehadiran Nabi mereka hidup serba kesusahan. Alhasil, kehadirannya sontak mengubah kehidupan Sayyidah Halimah dan kabilahnya, Bani Sa’d, dari yang asal mulanya susah payah berubah drastis menjadi jauh lebih sejahtera atas keberkahan Nabi.

Seiring berjalannya waktu, wujud inayah Tuhan ini bukannya meredup tetapi semakin jelas terlihat. Diceritakan bahwa menginjak masa remaja, karena saking miskin dan sederhananya, Nabi menghabiskan paruh waktunya dengan menggembala kambing. Sewaktu-waktu ia juga diajak pamannya, Abu Thalib, merantau ke negeri Syam untuk berdagang. Berkat kejujurannya ia lalu dipekerjakan oleh saudagar kaya raya bernama Sayyidah Khadijah yang pada akhirnya menjadi istrinya sendiri di kemudian hari.

Pertemuan antara Nabi dengan Khadijah ini bukanlah semata kebetulan. Khadijah adalah wanita yang sangat dihormati oleh suku-suku Arab, cerdas dan terdidik. Melalui pengajaran yang diperolehnya dari para Ahli Kitab, yang juga merupakan saudara dan pamannya sendiri itu, memunculkan dalam dirinya sebuah firasat kuat bahwa Muhammad adalah sosok yang ditunggu-tunggu oleh sekalian umat manusia.

Karena itu ia mengutus orang kepercayaannya, Maisarah, untuk menemani Nabi setiap kali pergi berdagang. Oleh beberapa cendekiawan, figur Maisarah ini mempunyai peran penting dalam melihat kepribadian Nabi secara utuh. Dan lewat khadimnya itu pula, setelah 20 tahun menunggu, Khadijah lalu memutuskan dengan tanpa ragu untuk menikahinya. Ia berkata kepada Muhammad, “Sejak 20 tahun yang lalu aku telah diberitahu oleh pelayanku dan pendeta Buhaira, untuk menikahimu!”

Dari data ini dapat diketahui bahwa Buhaira telah meramalkan sejak jauh-jauh hari bahwa Muhammad bukanlah pemuda sembarangan. Khadijah juga meyakini kabar tersebut. Hal ini menandakan bahwa ia menikahinya bukan karena alasan biologis atau semacamnya. Bukan, sekali-kali tidak. Tetapi dibalik ini semua ada tujuan luhur yang bersifat ilahiah seperti yang akan kita lihat nanti.

Singkat cerita, mereka berdua akhirnya menikah. Kabar pernikahannya sontak membuat heran masyarakat. Karena Khadijah sendiri sebenarnya sudah banyak figur terpandang yang mencoba mengkhitbahnya tapi selalu berakhir dengan penolakan. Nabi sendiri juga merasa segan, “Anda adalah pembesar Quraisy, sedangkan saya hanyalah anak yatim Quraisy.” Bagaimana mungkin wanita paling terpandang suku Quraisy mau menikahi pemuda bernama Muhammad yang miskin, yatim piatu dan buta huruf? Dan bapaknya sendiri, Khuwailid, menurut satu riwayat awal mulanya juga menentang pernikahan itu?

Meskipun fakta sosialnya demikian, tapi takdir Tuhan berkata lain. Pernikahan antara keduanya pun digelar. Dan benar saja, terhitung sejak tahun pertama pernikahannya sampai 15 tahun sebelum diangkat menjadi utusan Tuhan, Muhammad ibn Abdillah menjadi pribadi yang lain sama sekali.

Berkat jasa Khadijah, ia tidak lagi disibukkan dengan urusan duniawi. Ia lebih sering berkhalwat, tirakat dan merenung, lebih-lebih setelah melihat kondisi masyarakatnya yang tenggelam dalam kesenangan duniawi, moral sosial yang sudah rusak dan nalar religius mereka yang menyimpang. Hal tersebut mendorongnya untuk intens bertahannus (beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Swt) sendirian di gua Hira. Sampai pada akhirnya ia dianugerahi wahyu pertama di sana tanpa ia sangka-sangka. Ia kaget sekaget-kagetnya.

Baca juga: Pendidikan Spiritual Rasulullah, Al-Azhar dan Nahdlatul Ulama

Sayyidah Aisyah menceritakan bagaimana permulaan wahyu ini muncul: “Awal turunnya wahyu kepada Rasulullah Saw dimulai dengan mimpi yang benar dalam tidur. Dan tidaklah beliau bermimpi kecuali datang seperti cahaya subuh. Kemudian beliau dianugerahi keinginan untuk menyendiri.”

Singkat cerita, Nabi kembali kepada keluarganya dengan membawa amanat Tuhan dalam keadaan seperti orang yang ketakutan, “selimuti aku, selimuti aku!”

Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya. Lalu beliau menceritakan peristiwa yang terjadi tersebut kepada Khadijah: “Aku mengkhawatirkan diriku.” Maka Khadijah dengan mantap berkata: “Demi Allah! Allah tidak akan mencelakakanmu selamanya, karena engkau adalah orang yang menyambung silaturahim, memikul beban tanggungan orang lain, memuliakan tamu, dan engkau juga mengerjakan berbagai kebaikan… dst.”

Keimanan Khadijah atas kerasulan Muhammad yang tanpa ragu tersebut bukanlah hal yang mengherankan, mengingat ia sudah memprediksi serta memperhatikan kepribadian luhurnya dengan jeli sejak lama, “Aku telah menunggumu sejak 20 tahun yang lalu!”

Dengan diturunkannya wahyu pertama, maka menjadi jelas bahwa Muhammad ibn Abdillah benar-benar merupakan sosok yang telah diramalkan kedatangannya oleh sekian ahli kitab, ahli nujum dan ahli sejarah!

Penggunaan redaksi yang bersifat psikologis di sini, seperti mimpi yang indah, kekhawatiran, atau dalam riwayat lain: ketakutan yang dahsyat sehingga keringatnya bercucuran—“selimuti aku”—mengandung nilai semiotik bahwa peristiwa pewahyuan adalah fenomena maha besar yang pernah dialami oleh manusia, siapa pun orangnya. Pengalaman kenabian ini tidak bisa disifati sebagai pengalaman intelektual-indrawi, yakni hal-hal yang masih bisa diperoleh dengan perantara akal dan pikiran, sebagaimana juga tidak bisa disebut sebagai pengalaman yang bersifat emosional-maknawi, yakni hal-hal yang berhubungan dengan perasaan, hati dan mata hati.

Fenomena wahyu tidak hanya persoalan intelektual maupun emosional semata sehingga layak disebut sebagai pengalaman umum atau fakta sosial, sebagaimana anggapan Durkheim. Lebih dari itu, fenomena pewahyuan (nubuwwat) telah melampaui relasi eksistensial dari pengalaman manusia pada satu sisi, sekaligus menegaskan karakteristik otentik dari perolehan wahyu itu sendiri (al-Quran) yang digambarkan sebagai qaulan tsaqilan di sisi lain.

Tetapi pengalaman subyektif ini bisa jadi tidak berarti apa-apa bagi masyarakatnya ketika mereka sendiri tidak mampu memahami fenomena ilahiyah tersebut. Maka pertanyaan fundamental yang otomatis muncul adalah: bagaimana masyarakat Arab kala itu dapat mempercayai bahwa Muhammad adalah seorang nabi dan al-Quran yang dibawanya merupakan kalamullah?

Setelah sekian paragraf berlalu tentunya pembaca tidak terlalu kesulitan untuk menjawab pertanyaan terakhir ini. Kebenaran tentang kenabian Muhammad dapat dipahami dari berbagai wujud inayah ketuhanan yang terlihat jelas mulai sebelum dia dilahirkan, adanya prediksi dari ahli kitab, ahli hikmah dan tetua agung, kepribadian dan akhlaknya yang luhur, kisah pertemuannya dengan Sayyidah Halimah dan para rahib, pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah yang tidak masuk akal dan juga dengan keajaiban-keajaiban lainnya yang lebih condong kepada kekhususan-kekhususan tertentu daripada sekadar fenomena umum. Hal-hal ini menegaskan bahwa fenomena pra-kenabian, atau yang sering disebut oleh mutakalimin dengan istilah irhash, merupakan bukti kuat yang mampu menyadarkan masyarakat Arab Jahiliah waktu itu (bahkan oleh mereka yang sangat ingkar sekalipun), bahwa Muhammad tak lain adalah utusan Tuhan yang Maha Benar!

Dan proses pewahyuan al-Quran yang mengoyak kondisi psikis Nabi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga memperlihatkan bahwa turunnya al-Quran bukanlah atas kehendaknya sendiri. Alih-alih seperti kalam pada umumnya, penurunan dan wujud al-Quran bahkan tidak mirip sama sekali dengan syair-syair “transendental” yang cukup familier dalam tradisi kesusastraan Arab Jahiliah kala itu.

Dalam kesusastraan Arab Jahiliah memang ada beberapa penyairnya yang menggubah puisinya dari para jin, dari alam transendental. Seperti, al-Walid bin al-Mughirah.

Karena kepakarannya yang hebat dan langka, al-Mughirah kemudian didapuk oleh kaumnya untuk mendatangi Nabi dengan niat menguji. Tapi tak disangka ia malah kembali kepada kaumnya dengan keyakinan yang mencengangkan: “Demi Allah! Tidak ada seorang pun di antara kamu yang lebih mengetahui daripada aku tentang syair, rajaz, kasidah dan syair-syair jin. Demi Allah! Sedikit pun tidak serupa apa yang diucapkannya (al-Quran) itu dengan syair, rajaz, atau kasidah. Sesungguhnya ia dapat menghancurkan apa yang di bawahnya. Sesungguhnya ia amat tinggi dan tidak dapat dikalahkan.”

Abu Jahal yang mendengar langsung laporannya sontak kaget: “Demi Allah, kaummu tidak akan puas sebelum kamu sendiri menjelaskannya kepada mereka.”

Tetapi entah karena alasan apa, setelah cukup lama berpikir al-Mughirah malah mengingkari keyakinannya sendiri: ”Tidaklah al-Quran ini melainkan sihir yang dipelajarinya dari orang lain.”

Baca juga: Hikmah di Balik Dakwah Rasulullah Secara Diam-diam

Di sisi lain, cendekiawan Malik Ben Nabi mempunyai tesis menarik menyoal masalah kenabian dan kerasulan. Menurutnya, karakteristik seorang nabi jika ditinjau dari sisi sosialnya bisa dipastikan mempunyai tiga hal berikut ini:

pertama, secara psikologis bersifat “memaksa” si penerima wahyu dengan menjauhkan dirinya dari faktor-faktor lain di luar misi pewahyuan sehingga pada akhirnya mengharuskannya untuk tetap bersikukuh pada aktivitas tertentu dan secara kontinu sesuai perintah Tuhan.

Kedua, ia disertai hukum berkarakter kuat (syariat dan mukjizat), terutama relasinya dengan kejadian-kejadian di masa depan. Dengan bahasa lain, ia mempunyai spirit “Maha Benar” yang kadang kala tidak rasional dalam pandangan umum.

Ketiga, konsistensinya aktivitas kenabian dan identiknya, baik secara lahir maupun batin, dengan para nabi dan rasul-rasul sebelumnya.

Ketiga karakteristik ini—yakni kegigihan, karakter ajaran dan kesamaan eksistensialis dan objektif dengan nabi-nabi sebelumnya—barangkali merupakan faktor empiris yang membedakan antara fenomena kenabian dengan selainnya dalam konstruk sosial, sehingga dengan bukti itu pula masyarakat Arab waktu itu dapat mempercayai kenabian Muhammad Saw dan al-Quran sebagai Kalam yang benar-benar berasal dari Tuhan yang Maha Benar.

Sebagian Sumber:

as-Sirah an-Nabawiyyah, Ibn Katsir.

as-Sirah an-Nabawiyyah, Ibn Hisyam.

I’jaz al-Quran, Imam Baqillani.

az-Dzahirah al-Quraniyyah, Malik Ben Nabi.

Kontributor

  • Bumi Sepuh Hafidzahullah

    Nama aslinya Syamsudin Asyrofi, aktifis Lakpesdam NU, mahasiswa S2 di Universitas Al-Azhar Mesir jurusan Tafsir dan Ulumul Quran dengan konsentrasi tesis bertemakan tafsir sufistik dalam bingkai sosial.