Perumusan sistem politik Islam ini (baik Sunni maupun Syiah) terus dilakukan sampai kurun zaman modern. Walaupun demikian, segera tampak bahwa rumusan-rumusan yang telah ada belumlah memadai.
Ini terlihat dengan adanya keterkejutan umat Islam menghadapi pengaruh konsep-konsep politik Barat yang sama sekali baru dan asing. Terjadi perdebatan di antara kalangan pemikir dan penguasa umat Islam untuk menyikapi konsep-konsep politik Barat semacam nation state, nasionalisme, souverenighty, republik, demokrasi, sosialisme, kapitalisme, dan sebagainya.
Berawal dari proses kolonialisasi dunia Islam oleh negara-negara Barat, pengaruh pemikiran Barat ini mau tak mau masuk dalam kehidupan politik umat Islam. Ilustrasi cantik tentang kenyataan itu disampaikan oleh Basam Tibi, “for the term Islamic Republic in either Sunni or shi’ite Muslim sources is a new invention documenting European influences on Islam” (istilah Republik Islam dalam literatur Sunni atau Syiah adalah sebuah inovasi baru bentuk pengaruh-pengaruh Eropa terhadap Islam). Sebab, kata Tibi, konsep republik berasal dari Barat, bukan konsep Islam. Sebelum muncul pengaruh Barat, kaum Sunni hanya mengetahui sistem kekhalifahan, sementara kaum Syiah hanya mengetahui sistem Imamah. Masuknya konsep-konsep politik Barat melahirkan dilema bagi Muslim. Ketegangan itu tampak dari perdebatan yang hingga kini belum selesai.
Beberapa tema yang diperdebatkan adalah Nation States vs Khilafah dan Demokrasi vs Syari’ah. Pertama, Nation States vs Khilafah. Fenomena politik di atas juga memperlihatkan adanya pengaruh konsep nation-states (negara bangsa). Sejak masa awal perkembangan Islam sampai setidak-tidaknya kurun pramodern, masyarakat muslim mengenal hanya dua konsep teritorial politik religius, yaitu, konsep dar al-Islam sebagai wilayah damai kaum muslim, dan dar al-Ḥarb sebagai wilayah perang non muslim. Karenanya, keberadaan konsep nation-states jelas menciptakan ketegangan historis dan konseptual bagi masyarakat Muslim ketika mereka memasuki zaman modern awal. Sebabnya, konsep Barat tersebut mengancam pertumbuhan dan keutuhan dunia Islam.
Meski konsep nation-states pada batas tertentu bukan tidak pernah dikenal oleh sementara kalangan muslim, tetapi konsep ini tidak pernah menjadi dasar pokok politik Islam. Menurut Khan, bahasa Arab tidak mempunyai padanan yang pasti untuk kosa-kata bangsa. Kata-kata ummah, su’b, dan qawm digunakan secara beragam, tetapi tak satu pun dari ketiganya yang secara penuh mengungkapkan gagasan tentang bangsa. Apalagi istilah ummah ini lebih mengacu kepada kelompok masyarakat sosio-religius, bukan pada suatu kelompok masyarakat politik. Sementara pada pihak lain, konsep nation-states didasarkan pada kriteria-kriteria etnisitas, bahasa, budaya dan wilayah geografis. Konsekuensinya, politik yang tercakup dalam nation-states bersatu dengan mengabaikan garis-garis religius.
Pada tingkat institusional, konsep nation-states juga berbenturan dengan konsep kekhalifahan. Pada intinya, kekhalifahan adalah suatu institusi politik yang menegaskan bahwa semua wilayah dar al-Islam merupakan religiously based super-states. Yakni, negara yang terbentuk bukan atas dasar etnisitas, budaya dan wilayah geografis, melainkan atas dasar keimanan. Jelas, adanya pemikiran baru mengenai nation-states dirasakan oleh kalangan elit politik muslim sebagai suatu rongrongan terhadap institusi kekhalifahan.
Realitas sejarah pun membuktikan bahwa pada akhirnya sistem politik atau institusi kekhalifahan yang ada pada waktu itu kekhalifahan Utsmani (Ottoman) yang berpusat di Turki kemudian runtuh pada 1924. Fenomena dicopotnya kedudukan Sultan Abdul Majid sebagai Khalifah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924 oleh Dewan Nasional atas dorongan Mustafa Kemal Pasya itu sekaligus mengakhiri era (sistem) kekhalifahan Islam yang menggoncangkan dunia Islam. Demikian kata Soekarno yang sedikit banyak merasakan jiwa zaman (zeitgeist) saat itu, sekaligus menjadi pengagum pendukung Kemalisten Indonesia.
Kedua, Demokrasi vs Syari’ah. Apabila ide nation-state meresahkan lebih karena perbenturan institusional yakni bentuk negara maka terdapat masalah yang lebih mendalam dari itu yang lebih meresahkan umat Islam, terutama kaum ulama-intelektual. Yakni kemunculan terminologi demokrasi sebagai sebuah konsep Barat tentang kedaulatan. Demokrasi sesungguhnya bermaksud positif, yakni untuk lebih meningkatkan partisipasi politik rakyat. Namun, persoalannya menjadi lain ketika demokrasi dihadapkan vis a vis agama. Sebabnya, menurut Hamid Enayat, If Islam comes into conflict with certain postulates of democracy, it is because of its general character as a religion.
Dalam agama (termasuk Islam), terdapat hal-hal sakral yang tidak bisa dipertanyakan dan mutlak diyakini kebenarannya (taken for granted), karena berasal dari Tuhan. Syari’ah, misalnya dalam Islam, banyak mengandung nilai-nilai sakral. Ini tentu berbeda dengan demokrasi. Apapun, termasuk hal yang sakral sekalipun, bisa diperdebatkan atas nama kepentingan rakyat, karena rakyat lah yang berdaulat. Tak pelak, timbul pertentangan diametral seolah-olah tidak terdamaikan antara kedaulatan Tuhan versus kedaulatan rakyat.
Ketika negara-negara Muslim mengadopsi model demokrasi Barat, agar menjadi dan dianggap sebagai negara bangsa modern, maka dengan sendirinya terjadi liberalisasi syariah. Contoh paling ektrim adalah Turki. Semula Dinasti Utsmani sangat berhati-hati dalam memperbaharui syariah. Sampai tahun 1840-an, supremasi syariah tidak pernah diungkit-ungkit. Namun, pada akhir abad ke-19, hukum pidana dan perdagangan model Barat mulai diperkenalkan, di mana fungsi syariah hanya menyentuh masalah hukum kekeluargaan (misalnya, perkawinan). Dengan kebangkitan Kemal Atarturk, pada 1926, supremasi syariah sama sekali dihapuskan dan diganti dengan hukum Swiss. Transisi menuju demokrasi pun, pelan tapi pasti, berjalan di Turki.
Permasalahan inilah yang terutama menghinggapi umat Islam di masa modern. Berhadapan vis a vis dengan Barat, respon umat Islam mengenai sistem politik Barat modern pun menjadi beragam. Muncul kelompok sekuler yang mengadopsi konsep dan teori-teori politik Barat secara mentah-mentah. Dengan diwakili tokoh-tokoh seperti Ali Abd Raziq atau Thaha Husein, politikus Kemal Ataturk yang menegaskan bahwa Nabi sesungguhnya tidak mensyariatkan untuk pembentukan tata pemerintahan Islam secara formalistik.
Di sisi lain yang mencoba mempertahankan tradisi politik Islam juga tidak tinggal diam. Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, berusaha mempertahankan eksistensi kekhalifahan di Turki yang sudah terlihat jelas berada di ambang kehancuran, dengan kampanye tulisannya di majalah al-Manar yang kemudian dibukukan, berjudul al-Khilafah, pada tahun 1922. Rasyid Ridha dalam al-Khilafah itu sendiri, sudah mulai mencari alternatif dari kekhalifahan Islam, dengan berulangkali ia menyebutkan konsep dawlah Islamiyah atau al-Ḥukumat Islamiyah. Dengan demikian, introduksi konsep negara Islam sebagai padanan khilafah bisa dirujuk ke Rasyid Ridha.
Bagian 1: Menghidupkan Syariah dalam Negara Modern
Bagian 3: Proses Syariah dalam Negara Modern