Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Dualisme hari raya, polemik tahunan jelang Idul Fitri

Avatar photo
33
×

Dualisme hari raya, polemik tahunan jelang Idul Fitri

Share this article

Perbedaan penentuan hari raya Idul Fitri maupun Ramadhan kerap menjadi suguhan rutin tahunan di Indonesia. Bahkan mungkin saking seringnya terjadi, hal itu seolah menjadi wajar. Padahal jika ditelisik lebih jauh, fenomena perbedaan dalam tubuh umat sebisa mungkin dihindari dan bersatu bersama sesama umat merupakan anjuran yang nyata dalam Al-Quran maupun Hadis.

Perbedaan itu sebenarnya terjadi karena perbedaan metode penetapan awal bulan oleh beberapa kelompok atau ormas. Sehingga semenjak dari hulu saja sudah berbeda, hasilnya sudah jelas berbeda. Meski tidak menutup kemungkinan ada kesamaan hasil namun itu tidak lain hanya ketepatan saja. Lantas, adakah upaya yang terlihat bisa menjadi solusi menyatukan beberapa perbedaan itu?

Metode penetapan awal bulan

Di era kontemporer sekarang ini, terdapat dua arus dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Pertama dengan tetap menggunakan rukyat hilal (melihat hilal secara langsung) dan kedua menggunakan hisab falak (perhitungan astronomi). Metode pertama lebih kepada representasi memegang apa yang disabdakan Nabi mengenai cara penentuan awal bulan puasa dan metode kedua lebih kepada pengambilan substansi sabda Nabi dengan memanfaatkan capaian teknologi.

Metode rukyat hilal berlandaskan hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim: “Puasalah karena melihat bulan dan beridul fitrilah (juga) karena melihat bulan.” Melihat pesan yang jelas itulah mayoritas ulama hingga sekarang tetap menggunakan metode rukyat sebagai cara untuk mengetahui pergantian bulan. Seiring berjalannya waktu, capaian teknologi sudah bisa menghitung awal bulan namun tetap saja rukyat menjadi metode yang diprioritaskan.

Para ulama yang menggunakan rukyat tidak lantas mengabaikan hisab begitu saja. Hisab berfungsi untuk mengetahui apakah posisi hilal sudah dapat dilihat atau belum. Sehingga ketika bulan dalam posisi bisa dilihat maka andai ada orang bersaksi dia melihat hilal, persaksiannya diterima. Sebaliknya, jika menurut hitungan, hilal tidak mungkin bisa dilihat kemudian ada orang bersaksi dirinya telah melihat hilal, maka persaksiannya akan ditolak. Sebagaimana hal ini ditegaskan oleh Imam Subki dalam kitab Fatawanya.

Dengan demikian maka mengakomodir antara kewajiban mengamalkan nas hadis dengan perkembangan teknologi. Metode yang sama digunakan oleh Darul Ifta Mesir. Yaitu tetap menggunakan rukyat setiap menentukan masuknya bulan hijriyah dengan koridor ilmu hisab sebagai ukuran bisa dan tidaknya hilal dilihat.

Sedangkan mereka yang menggunakan hisab, berlandaskan surat Ar-Rahman ayat: “Matahari dan bulan (beredar) sesuai dengan perhitungan.” Dan surat Yunus ayat: Dialah pula yang menetapkan tempat-tempat orbitnya agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)”. Sedangkan menyikapi hadis yang menyatakan rukyat, mereka berpendapat bahwa perintah tersebut memandang bahwa kondisi yang ada saat itu, adalah kondisi ummi atau tidak bisa menulis yang tertera dalam hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Bukhari: “Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab.” Sehingga hanya rukyat satu-satunya cara yang bisa dilakukan. Tidak mungkin diperintahkan menggunakan hisab falak.

Hemat penulis, pandangan kedua masih saja tidak cukup untuk mengatakan bahwa tidak lagi memerlukan rukyat. Sebab klaim bahwa perintah rukyat dalam hadis adalah karena kondisi saat itu, klaim ini masih lemah. Tidak ada syarat cukup bahwa faktor ‘ummi’ menjadi ‘ilat’ bagi perintah rukyat. Memandang bahwa syarat ilat harus jelas, terukur, relevan. Juga jika ilat disebutkan secara jelas, maka harus ada huruf yang menunjukkan bahwa itu adalah ilat. Di mana semua itu tidak ditemukan dalam rumusan ini.

Upaya penyeragaman

Tentang bagaimana penyeragaman hari raya antar kawasan, hal ini berpotensi berbeda sebab pada kenyataannya tidak semua daerah di belahan dunia ini serempak dalam keberhasilan melihat hilal. Namun tidak menutup potensi agar serempak dalam hal penentuan awal bulan. Setidaknya ada 3 pandangan dalam upaya penyeragaman awal bulan. Pertama unifikasi kalender, kedua dengan penyeragaman matla’, ketiga dengan keputusan pemerintah. 

Unifikasi kalender adalah ide untuk menyatukan kalender hijriah seluruh dunia. Melihat bahwa beberapa permasalahan timbul akibat perbedaan penentuan awal bulan. Seperti perbedaan hari raya dan bulan Ramadhan, kemudian di saat bulan Ramadhan pelaku perjalanan ke negara yang berbeda awal bulan sehingga berakibat dia harus mengikuti tempat tujuannya, meski berbeda dengan daerah asalnya. Ide ini beberapa kali disuarakan baik dalam konferensi-konferensi maupun opini individu.

Misalnya di Turki tahun 1978 Pada Konferensi Penetapan Awal Bulan Kamariah, kemudian Temu Pakar II yang diselenggarakan oleh ISESCO pada tahun 2008 di Maroko. Unifikasi kalender Hijriyah otomatis menggunakan dasar hisab sebagai penentu awal bulan, tidak mungkin dengan menggunakan rukyat. Menurut laporan, berulang kali ide ini masih menemui jalan buntu dalam kesepakatannya terganjal oleh belum diterimanya metode hisab secara umum untuk digunakan sebagai metode penetapan awal bulan.

Penyeragaman matla’ atau tempat melihat hilal. Dalam mazhab empat, terjadi perbedaan perihal apakah matla’ ini satu atau sesuai zona. Artinya, jika hilal berhasil dilihat di suatu matla’, apakah berarti daerah lain juga mengikuti daerah tersebut atau tidak. Menurut mazhab Hanafi dalam Kanzud Daqaiq, Mazhab Maliki dalam Mukhtasar Khalil dan Hanbali dalam Al-Furu, semua menyatakan tidak mempertimbangkan perbedaan matla’. Menurut mazhab Syafii tidak demikian, satu matla’ tidak berlaku untuk matla’ lainnya, sebagaimana disebutkan dalam Manhaj At-Tulab dan Al-Majmu dengan berlandaskan riwayat dari Ibnu Abbas.

Keputusan konferensi ketiga Majma’ul Buhuts Islamiyah Kairo pada tahun 1966 mengenai penentuan awal bulan menyatakan bahwa perbedaan matla’ tidak dipertimbangkan meski antar kawasan saling berjauhan. Dengan catatan antar kawasan masih mengalami malam yang sama meskipun persamaan itu sedikit. Misalnya satu kawasan masuk magrib dan kawasan lain sudah menjelang subuh maka ini disebut mengalami malam yang  sama.  

Yang ketiga adalah berpedoman pada keputusan pemerintah. Terlepas dari beberapa perbedaan dalam penentuan awal bulan, namun jika pemerintah melalui institusi resminya telah menetapkan awal bulan maka bagi rakyat tidak diperkenankan menyelisihinya. Kaidah yang menyatakan keputusan pemerintah akan menghilangkan perbedaan, bisa dipakai untuk sarana penyeragaman awal bulan.

Dalam Syarah Al-Furuq dikatakan: “Jika hakim (pemerintah) telah memberi keputusan mengenai awal bulan Ramadhan maka bagi seluruh penduduk negeri harus mematuhinya.” Hal sama juga ditegaskan dalam Al-Fiqh Ala Madzahib Al-Arba’ah: “Jika pemerintah telah memutuskan awal bulan Ramadhan dengan berbagai metode dalam mazhabnya, maka bagi umat Islam harus mengikutinya meski mereka berbeda mazhab. Sebab keputusan pemerintah akan menyatukan perbedaan.”

Dari ketiga upaya penyatuan di atas, dua upaya terakhir sangat mungkin untuk digunakan. Yaitu dengan memakai rumusan penyatuan matla’ sehingga dalam konteks global maupun regional bisa diselaraskan dan diseragamkan. Atau dengan upaya ketiga yaitu dengan mengembalikan keputusan kepada pemerintah dan rakyat secara serentak mengikutinya. Cara ini sangat bisa diterapkan dalam konteks satu negara, bahkan menjadi kebijakan yang sudah selayaknya dipakai untuk mengikis potensi perbedaan di kalangan rakyat.

Dimuat pertama di situs numesir.net

Kontributor

  • Hafidz Alwi

    Asal Malang Jawa Timur. Pernah belajar di pesantren Lirboyo. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Al-Azhar jurusan Tafsir. Berkhidmah di PCINU Mesir. Penulis adalah penerjemah video Youtube Sanad Media.