Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Islam dan modernisasi (1): mencari jalan pulang

Avatar photo
51
×

Islam dan modernisasi (1): mencari jalan pulang

Share this article

Beragamnya sikap terhadap modernitas terus berlanjut, namun realitas perubahan modern juga diakui. Radio, televisi, komputer adalah bagian dari dan paket kehidupan Muslim. Bahkan para pemimpin agama, konservatif dengan bebas menggunakan pengeras suara untuk mengajak shalat kaum beriman, dan kaset-kaset rekaman digunakan untuk pendidikan agama dan agitasi politik. Namun demikian, persoalan kuncinya adalah; perubahan manakah yang mungkin, dan seberapa banyak? Apakah alasan islaminya untuk perubahan? Interpretasi Islam siapakah yang berlaku?

Sejarah Islam modern menggugat prasangka-prasangka dan harapan-harapan. Pandangan yang berlaku berpendapat bahwa modernisasi memerlukan pemisahan agama dari kehidupan publik ketika masyarakat-masyarakat yang termodernkan secara progresif dan tak terelakkan menjadi tersekularkan. Proses modernisasi yang sebenarnya termasuk dampak nalar, sains, dan teknologi; dipandang mendorong dan meningkatkan proses ini. Bagi banyak orang, daya hidup agama di dunia pasca-pencerahan menuntut agar iman bertarung dengan nalar dan, lewat proses reformasi menyerahkan sebagian wilayah. Seperti pendekatan kritik Injil modern dan kesarjanaan teologis kritis yang lebih rasional menghasilkan perumusan ulang secara mendasar atas iman dan akidah Kristen dan Yahudi.

Demikian pula banyak yang meramalkan bahwa jika Islam tidak ikut menyesuaikan, maka tidak ada harapan baginya untuk tetap relevan bagi generasi Muslim modern. Apalagi, teknologi dan pendidikan modern telah sering digunakan untuk memperkuat iman, bukan melemahkannya. Jika pada zaman dahulu para pemimpin agama mungkin menolak radio dan televisi, zaman sekarang mereka memanfaatkan media dan kaset untuk berdakwah dan mengembangkan, untuk mendidik dan menarik pemeluk baru. Pesan Islam tidak lagi cuma disampaikan lewat para pemimpin agama lokal. Seperti yang dengan cepat dapat ditangkap oleh para pengunjung negeri Muslim, ajaran Islam sekarang disebarluaskan lewat media massa yang dikendalikan pemerintah maupun kaset, buku, dan pamflet-pamflet yang tersedia di pasar-pasar dan masjid-masjid atau, jika perlu, secara rahasia dicetak dan disebarkan lewat organisasi-organisasi bawah tanah.

Tulisan-tulisan para ideolog semisal Hasan al-Banna, Sayyid Qutb, Maulana Maududi, Yusuf al-Qardhawi, Ali Syariati, Ayatullah Khomeini, dan banyak lagi yang lainnya sekarang tersedia dalam terjemahan-terjemahan yang murah harganya atau dalam pamflet-pamflet yang merangkum dan memasyarakatkan ide-ide mereka. Demikian pula, khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah keagamaan para dai kondang disebarkan ke seluruh penjuru dunia Muslim lewat media dengar pandang, sehingga pengaruh mereka tidak terbatas pada wilayah atau negara tertentu.

Disebabkan oleh penggunaan media massa dan teknologi modern, kaum Muslimin di desa-desa dan di kota-kota tidak lagi cuma tergantung kepada imam-imam dan ulama-ulama lokal atau media yang dibiayai negara untuk mempelajari Islam. Malah, mereka seringkali berjumpa dengan interpretasi-interpretasi yang berbeda. Terdapat beragam suara yang tersedia secara internasional lewat saluran-saluran resmi dan tidak resmi, di atas maupun di bawah tanah.

Apalagi, meski hampir semua negeri Muslim mengadopsi model-model politik, ekonomi, pendidikan dan pembangunan hukum Barat, warga negara mereka tidak sepenuhnya menggunakan nilai-nilai implisitnya secara intelektual dan psikologis. Sementara kelas minoritas elit telah menerima dan terakulturasikan sepenuhnya dengan falsafah dan sistem nilai Barat yang sekular, mayoritas orang tidak menganut pandangan yang sekular, rasionalis. Penganutan tradisi ini ada pada orang-orang lintas kelas dan pekerjaan, mencakup bagian horisontal masyarakat: pengrajin dan pedagang, birokrat dan guru, hakim dan psikiater, profesor dan pengacara. Sebuah pengamatan terhadap faktor-faktor yang memperkuat kembali, dan bahkan mensakralkan tradisi itu dalam Islam adalah, penting untuk memahami baik kekuatan tradisi yang berkesinambungan maupun dampaknya terhadap perubahan.

Serangkaian peristiwa pada abad-abad awal pembentukan telah menghasilkan tradisi yang disakralkan yang garis antara wahyu dan interpretasi manusia, seringkali dikaburkan. Tradisi lama suku yang dihormati, kearifan dan sunnah Arabia yang terakumulasikan, di Islamkan dan disakralkan dengan mengasalkan otoritasnya tidak pada komunitas Muslim, tetapi pada wahyu Tuhan.

Perkembangan hukum Islam dan pemikiran bahwa ekspresi pandangan hidup umat ini adalah produk dari wahyu Tuhan (Kitab Suci dan Sunnah Nabi) dan bukan kearifan manusia selanjutnya memperkuat keyakinan bahwa tradisi Islam adalah sebuah ekspresi dan sumber hukum yang berasal dari wahyu Tuhan. Telah menjadi kecenderungan sebagian Muslim taat untuk menisbatkan iman dan praktik mereka kepada tradisi Nabi, yang mengaburkan sumber atau dimensi manusiawi dari akidah dan praktik tertentu. Bagi banyak orang, hukum Islam tak lagi dilihat sebagai produk wahyu Tuhan dan interpretasi manusia. Malah, hukum Islam dipandang oleh mayoritas ulama sebagai hukum rumusan-ilahi, cetak biru yang sempurna bagi masyarakat.

Sikap ini menyebabkan kecenderungan hampir semua fuqaha Sunni, sejak abad kesepuluh, untuk percaya bahwa karena pedoman kehidupan pribadi dan masyarakat telah ditetapkan, maka ijtihad tidak lagi diperlukan atau diizinkan. Masyarakat cukup meniru atau mengikuti (taklid) pedoman tradisi yang disakralkan sebagaimana yang dirumuskan dan terekam dalam hukum Islam. Jadi, tradisi secara efektif dibakukan dan disucikan dengan menisbatkannya pada wahyu dan hukum yang sakral. Sedemikian rupa, tradisi lalu menjadi sumber yang kuat bagi identitas dan kesatuan umat, memberikan rasa persatuan, kepastian, dan petunjuk yang menjadi asas bagi keragaman budaya lokal dan praktik keagamaan populer yang menjadi karakter negeri-negeri Islam.

Namun demikian, manfaat tersebut diperoleh dengan sebuah pengorbanan yang mahal, yaitu kecenderungan untuk melupakan dinamisme, keragaman, dan kreativitas manusiawi yang pernah menyumbang bagi perkembangan Islam. Masukan manusiawi dalam pembentukan tradisi dan hukum Islam menjadi terkaburkan ketika generasi-generasi berikutnya merawat dan menyebarkan kesadaran sejarah Islam yang lebih statis, yang lebih diromantiskan. Tradisi Islam menjadi relatif baku dan terkeramatkan; generasi-generasi masa depan cuma sekadar mengikuti pandangan hid up Islam, jalan lurus Islam sebagaimana yang telah dirumuskan secara sah dan lengkap dalam hukum Islam. Perubahan atau inovasi yang substantif dianggap sebagai bidah, menyimpang dari hukum wahyu atau praktik umat.

Sifat tradisi yang sakral dalam Islam adalah sifat pentingnya, karena ia menjadi pondasi iman, menjadi realitas yang memberikan inspirasi bagi kaum tradisionalis, dan rintangan bagi para reformis. Ada dua pendekatan atau sikap utama terhadap pembaruan dan reformasi Islam yang dapat diidentifikasi: pertama, keinginan kaum tradisionalis untuk memulihkan idealitas Islam awal; dan kedua, ajakan kaum reformis untuk melakukan renovasi dan rekonstruksi lewat reformasi Islam, yang berbeda dengan reformasi Barat. Kedua pendekatan tersebut sama-sama mengandalkan sumber-sumber Islam. Perbedaan kunci antara kaum tradisionalis dan modernis adalah pada pemahaman dan penggunaan sejarah dan tradisi Islam yang berbeda, juga sifat dan tingkat perubahan yang mereka usahakan.

Semua mungkin sepakat atas perlunya pembaruan dan reformasi, namun mereka berpisah jalan ketika mereka berbelok kepada pertimbangan-pertimbangan semisal arah, metode, dan tingkat perubahan maupun siapa yang akan melegitimasi perubahan itu. Demi kepentingan ketepatan dan kejelasan yang lebih besar, perlu untuk membicarakan empat orientasi atau sikap terhadap perubahan, meski harus diakui bahwa kategorisasi semacam ini semena-mena, dan bahwa perorangan atau kelompok yang ada mungkin akan saling tercakup dalam satu kategori dengan yang lainnya. Keempat kategori dimaksud adalah sekular, konservatif, neotradisionalis (atau neo-fundamentalis), dan reformis (neo-modernis).

Syahdan, kaum sekular mendukung pembatasan agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kadang ditolak karena dianggap kafir, hampir semua membantah dengan menyatakan bahwa mereka beragama tetapi percaya bahwa agama harus dibatasi pada kehidupan pribadi. Mereka percaya bahwa, pencampuran agama dengan politik tidak tepat dan menganggap mereka yang melakukan ini, sebagai tindakan memanipulasi Islam untuk tujuan politik, bukan tujuan agama.

Tiga sikap berorientasi agamis (konservatif, neotradisionalis, dan neomodernis), meski berbeda dalam hal-hal yang penting, akan terlihat saling tercakup. Semua mendukung kembali kepada Islam, tetapi makna dan metode mereka berbeda. Sikap konservatif diwakili oleh mayoritas ulama, untuk siapa Islam diungkapkan cukup memadai dan lengkap dalam formulasi Islam klasik, dikembangkan oleh mazhab-mazhab hukum selama abad-abad awal Islam, serta terwujud dan terpelihara dalam kitab-kitab fiqih. Ketika kaum konservatif pada prinsipnya mengakui ijtihad, dalam praktiknya mereka maksudkan sebagai interpretasi atau penerapan hukum Islam tradisional, bukan reinterpretasi yang membuka peluang perubahan dalam hukum.

Mereka memandang tidak terlalu penting merujuk langsung kepada Al-Qur’an dan Sunnah untuk memperoleh jawaban-jawaban baru. Islam adalah sistem budaya tertutup yang sepenuhnya telah diartikulasikan pada zaman dahulu. Interpretasi Islam ini, menurut mereka, mengatur umat Muslim sepanjang sejarah dan tetap sah sampai hari ini dan sepanjang zaman. Oleh sebab itu, kaum konservatif menekankan taklid dan menghindari inovasi atau penyimpangan dari masa lalu. Karena hukum Islam adalah jalan yang diwahyukan Tuhan, maka ia bukanlah hukum yang harus diubah atau dimodernkan, tetapi masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum Tuhan. Tingkat perbedaan yang terdapat antara hukum dan masyarakat menunjukkan penyimpangan masyarakat dari hukum. Solusinya, bukan penyesuaian dan perubahan hukum tetapi kembali kepada norma-norma yang telah mapan.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.