Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Islam dan modernisasi (2): membaca tiga arus pemikiran agama

Avatar photo
33
×

Islam dan modernisasi (2): membaca tiga arus pemikiran agama

Share this article

Meski kebanyakan ulama enggan menerima penerapan reformasi hukum moden, mereka menerimanya sebagai kadar sementara, karena reformasi tersebut membiarkan cetak biru ideal mereka sendiri untuk kembali diterapkan suatu saat kelak. Jadi, pada tahun-tahun terakhir, indeks pokok pembaruan adalah pembaruan tuntutan penerapan kembali hukum Islam di Iran, Pakistan, Sudan, Mesir, dan wilayah-wilayah lain.

Namun demikian, kaum konservatif lebih cenderung untuk menerima orde yang mapan dan menunggu saat mereka. Mereka adalah pengikut, bukan pegiat, yang seringkali berperan sebagai bagian dari kemapanan agama. Sikap kaum konservatif dapat dilihat di negara-negara seperti Pakistan dan·Mesir, tempat mayoritas ulama dan pengikut mereka, meski mereka terus menyuarakan keberatan mereka dari waktu ke waktu, ingin berkompromi, bekerjasama, atau tetap diam.

Ketika iklim berganti pada akhir 1970-an dan 1980-an, mereka ingin bergabung dengan mereka yang menuntut pembatalan reformasi hukum keluarga dan menuntut penerapan hukum Islam. Tetapi, mereka tidak berharap atau tidak memandang perlunya perumusan ulang hukum; justru mereka mendukung pemulihan hukum tradisional. Demikian pula ketika mereka mendominasi parlemen dan naik ke tampuk kekuasaan, mereka membatalkan Undang-undang Perlindungan Keluarga, dan menerapkan hukum Islam yang terdapat dalam kitab-kitab fiqih mereka. Kalaupun perubahan benar-benar terjadi, perubahan ini bertahap dan bersifat pengecualian dan di wilayah-wilayah yang tidak tercakup oleh hukum tradisional.

Sebelumnya: Islam dan modernisasi (1): mencari jalan pulang

Kaum neo-tradisionalis mempunyai banyak persamaan dengan kaum konservatif. Mereka juga mendukung gerakan kembali kepada Islam dan Syariah. Namun, mereka berbeda dalam hal bahwa, kaum neo-tradisionalis, meski menghormati rumusan-rumusan hukum Islam klasik, tidak terikat dengan rumusan-rumusan tersebut. Malah, mereka mengklaim hak untuk merujuk langsung kepada sumber-sumber Islam utama guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Gerakan-gerakan semisal Ikhwanul Muslimin dan Jamaati-Islami mewakili pendekatan ini. Seperti gerakan-gerakan revivalis abad kedelapan belas, mereka percaya bahwa hukum Islam secara historis telah dimasuki praktik-ptaktik yang tidak Islami.

Maka, diperlukan revitalisasi umat dengan kembali kepada sumber-sumber pokok Islam. Kaum neotradisionalis lebih cocok untuk menjadi pegiat politik, dengan menggugat kemapanan politik dan agama. Mereka juga lebih fleksibel daripada kaum konservatif dalam hal kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan perubahan. Para pemimpin mereka seringkali orang biasa, bukan ulama, seperti dalam, kasus orang-orang semisal Hasan al-Banna dari Ikhwanul Muslimin Mesir dan Maulana Maududi Jamaat-i-Islami pada ‘zaman dulu.

Saat ini, bermacam-macam gerakan semisal Ikhwanul Muslimin Mesir, Sudan, dan Yordania; Partai Kebangkitan Tunisia, Fron Penyelamat Islam Aljazair; Jamaati-Islami Pakistan dan Bangladesh, Jamiyat al-Ishlah Kuwait, dan ABIM di Malaysia, dan organisasi lainnya, memiliki kader pemimpin dari kalangan non ulama. Hal ini tidak untuk mengecilkan peran penting yang dimainkan oleh para ulama semisal Syaikh Fadlallah (Libanon) dan Yusuf al-Qardhawi (Qatar), atau ulama di Iran dan di tempat-tempat lain.

Baik kaum neotradisionalis dan kaum konservatif menolak sekularisme Muslim dan modernisme Islam. Sekularisme Muslim dianggap sebagai agen imperialisme Barat, orang pribumi yang melakukan pembaratan dan merusak Islam. Sementara modernisme Islam dianggap punya maksud membaratkan atau telah membaratkan Islam, dan karenanya mengorbankan visi otentik dan suara Islam. Kaum neo-tradisionalis menegaskan bahwa, reinterpretasi-Islam mereka tidak tergantung sama sekali kepada sumber-sumber Barat dan hanya didasarkan pada sumber-sumber Islam, yang bisa memberikan jawaban-jawaban bagi masyarakat Islam saat ini.

Bertolak belakang dengan modernisme Islam, neotradisionalisme justru menyatakan keswasembadaan Islam, bukan kesesuaiannya dengan Barat. Neo-tradisionalisme berupaya menekankan wilayah-wilayah yang membedakan Islam dengan Barat, pengharaman dan sanksi-sanksi yang dianggap sebagai mandat al-Qur’an atas konsumsi khamr, judi, pencurian, perzinaan, maupun pengharaman bunga bank, pembayaran zakat sebagai pajak kesejahteraan sosial, dan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Meski westernisasi ditolak, modernisasi yang selektif tidak ditolak. Sains dan teknologi secara hati-hati dimanfaatkan dan diislamkan, yaitu, ditundukkan kepada nilai-nilai dan tujuan-tujuan Islam. Nilai-nilai dan adat istiadat Barat ditolak sama sekali, karena Islam dianggap swasembada sepenuhnya.

Sikap ini tercermin dalam slogan untuk konferensi internasional tentang ekonomi Islam di Pakistan pada tahun 1982: Ekonomi Islam, ekonomi minus nilai-nilai Barat plus nilai-nilai Islam. Kaum neotradisionalislah, dan bukannya kaum konservatif, yang pada dekade-dekade terakhir mengideologikan Islam, dengan mengupayakan untuk menafsirkan Islam sebagai sistem alternatif untuk politik, hukum, pendidikan, dan perbankan. Karena unsur penafsiran manusia, beragam interpretasi Islam diwakili dalam pemikiran neotradisionalis. Apalagi, bersama dengan berjalannya waktu, perubahan-perubahan dalam kepemimpinan dan keadaan juga menyebabkan sikap-sikap Islam yang berbeda untuk persoalan yang sama. Selagi para pemimpin Ikhwanul Muslimin semisal Sayyid Qutb dan Musthafa al-Sibai’i mengembangkan sosialisme Islam sebagai media untuk keadilan sosial pada akhir dekade 1950-an dan awal 1960-an.

Saat ini Ikhwan cenderung untuk menekankan kepemilikan pribadi sebagai norma Islam. Di samping itu, kecenderungan masa lalu Ikhwan untuk menganggap nasionalisme dan persatuan Arab sebagai tahap yang penting dalam pembaruan Islam telah diganti dengan kecenderungan sekarang untuk menekankan solidaritas Islam, dan bukannya persatuan Arab. Demikian pula, meski Maulana Maududi pada awalnya berpendapat bahwa penguasa dapat menganggap musyawarah sekadar sebagai forum informal dan tidak mengikat, mengabaikan jumlah suaranya, namun pada tahun-tahun terakhir ia mengajarkan bahwa sarana semacam ini mengikat. Untuk selanjutnya, Jamaati Islami lalu menerima dan berpartisipasi dalam proses demokrasi Pakistan, terlibat dalam Senat, Dewan Nasional, dan kabinet.

Akhirnya, kalangan yang paling mudah beradaptasi adalah para reformis atau neomodernis. Mereka juga aktivis yang memandang periode Islam awal sebagai periode yang mewujudkan idealitas. Meski mereka tercakup dalam kriteria neotradisionalis, dengan siapa mereka sering dikelompokkan, kaum reformis membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah dan nilai-nilai wahyu abadi Islam dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.

Mereka berpendapat bahwa aturan-aturan yang dirumuskan dalam kitab-kitab fiqh adalah pemahaman dan penafsiran para fuqaha awal, yang menerapkan kaidah-kaidah dan nilai-nilai Islam bagi masyarakat mereka. Kaum reformis membedakan antara kaidah Syariah dengan aturan-aturan fiqh yang tergantung dan relatif. Aturan-aturan fiqih bersifat relatif dan perlu dirumuskan ulang berdasarkan kebutuhan masyarakat modern.

Banyak reformis, setelah lulus pendidikan awalnya memperoleh pendidikan tingkat lanjut dan tinggi dari universitas-universitas negeri berorientasi Barat atau di Universitas terkemuka di Amerika Serikat, Inggris, dan Francis. Tergolong reformis adalah Dr. Ali Syariati (Iran) yang lulusan Sorbonne dan Abdul Karim Soroush yang lulusan London University; Rasyid Ghannoushi, pemimpin Partai Kebangkitan Tunisia (dulunya Gerakan Kecenderungan Islam); Hassan al-Turabi dari Sudan yang lulusan Sorbonne, pemimpin Fron Islam Nasional dan ketua parlemen; mantan Perdana Menteri Shadiq al-Mahdi, berpendidikan Oxford, cucu Mahdi Sudan; dan Anwar Ibrahim dari Malaysia, lulusan Universitas Malaya, mantan ketua ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) dan mantan menteri pendidikan dan mantan deputi perdana menteri Malaysia; tokoh intelektual Indonesia, Nurcholish Madjid yang lulusan University of Chicago; Amien Rais, mantan ketua Muhammadiyah; serta Hassan Hanafi (Mesir), seorang filsuf lulusan Sorbonne yang menyebut diri sebagai pemimpin kiri Islam. Mereka tidak memilih orientasi sekular Barat dan tidak pula, menurut pandangan mereka, berorientasi Barat sebagaimana generasi modernis Islam sebelumnya.

Tidak seperti Muhammad Abduh dan Sayyid Ahmad Khan, para reformis Islam sekarang tidak menganggap diri mereka sedang menjawab Barat, tetapi justru sedang mengupayakan cara yang lebih independen, otentik, untuk menjawab kebutuhan masyarakat mereka yang berubah. Mereka pernah belajar dari Barat tetapi tidak berharap untuk mem-Barat-kan masyarakat Muslim. Mereka tetap berorientasi Islam dan menekankan komitmen kepada modernisasi Islam, suatu masa depan yang perkembangan politik dan sosialnya lebih kuat berakar pada sejarah dan nilai masa lalu.

Tetapi, bertolak belakang dengan kebanyakan neotradisionalis, retorika mereka bukan sebagai kritik terhadap Barat dan mereka terbuka kepada proses asimilasi yang selektif. Kaum reformis menekankan Islamisasi, sebuah proses yang kaidah-kaidah dan nilai-nilai Islam diterapkan kembali untuk memenuhi kondisi-kondisi lingkungan sosial yang baru. Seperti kaum neo-tradisionalis, mereka menafsirkan Islam sebagai ideologi total dan berupaya menerapkan hukum Islam dan mendirikan bank-bank Islam.

Bertolak belakang dengan kaum neotradisionalis, mereka lebih kreatif dan melakukan lebih banyak penafsiran ulang dan tidak terlalu terikat kepada interpretasi tradisional ulama. Dengan demikian, kalangan ulama yang lebih konservatif menganggap mereka sebagai ancaman terhadap otoritas mereka. Ulama menyerang penyimpangan-isme mereka dan menentang kualifikasi kaum reformis sebagai mujtahid, dengan bersikukuh bahwa hanya mereka saja yang memenuhi syarat sebagai pengawal Islam. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.