Shalat secara bahasa bermakna doa mutlak. Secara umum, istilah shalat kemudian digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu.
Tak hanya Islam, ibadah Kristen, misalnya, diistilahkan dengan shalat juga. Ingat hadits saat di mana Rasulullah mempersilahkan Kristen Suku Najran untuk shalat di masjid Madinah? Nah, hadis itu secara jelas menyebut ibadah mereka dengan istilah shalat juga. Dan istilah shalat untuk menyebut ibadah secara umum di di Mesir dan di Arab secara umum, masih berlaku hingga detik ini.
Shalat bagi kita adalah istilah untuk ibadah tertentu. Istilah untuk sebuah gerakan dan ucapan tertentu di waktu tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.
Shalat sebelum bi’tsah
Shalat sudah dikenal sejak lama. Para nabi dan rasul sebelum Rasulullah juga melakukan shalat. Meski dengan cara berbeda dengan yang kita lakukan sekarang.
Sebelum bi’tsah (masa didaulatnya sebagai seorang nabi), ibadah yang rutin dilakukan oleh Rasulullah adalah kontemplasi dan meditasi (secara fikih disebut ibadah bathiniyah) di gua Hira.
Baca juga: 7 Hukum Shalat Berjamaah, dari Fardhu Ain hingga Haram
Setelah bi’tsah dan sebelum Isra Mikraj, turun titah kewajiban kepada beliau dan umat untuk shalat malam. Ibadahnya bukan lagi kontemplasi atau meditasi, tapi shalat dengan gerakan khusus. Meski demikian, esensi kontemplasi ini tetap berlaku bahkan ulama sampai menyatakan ibadah bathiniyah lebih utama dari ibadah badaniyah, bahkan dari shalat sunnah sekalipun.
Shalat tanpa rukuk
Sebagimana disinggung sedikit di atas, sebelum Isra (perjalanan malam Makkah-Aqsha) dan Mikraj (perjalanan Aqsha-Sidratul Muntaha), Rasul dan kaum muslimin sudah shalat, tapi shalat dengan cara lama, yaitu shalat tanpa ada gerakan rukuk. Saat kemudian turun perintah wajibnya qiyamullail atau shalat malam kepada Rasulullah dan umatnya, shalat mereka masih belum ada gerakan rukuknya. [1]
Umat Islam punya banyak khususiyah (kehususan). Salah satu di antaranya adalah rukuk. “Dalam shalat, umat dulu (pra-Islam) tak mengenal rukuk,” kata Syekh Bajuri. Rukuk ini baru diwajibkan belakangan, bahkan beberapa waktu selepas Isra. Rasul sempat shalat bersama sahabat tanpa rukuk. Maka, ketika shalat Asar ada gerakan rukuk, selepas shalat, Ali bin Abu Thalib merasa ganjil dan dijawab kalau itu gerakan tambahan yang baru diperintahkan. Itu artinya, shalat Zuhur dan shalat qiyamullail sebelumnya praktis dilakukan tanpa rukuk.
Setelah Isra dan Mikraj yang terjadi setahun sebelum hijrah itu, diwajibkanlah shalat lima waktu setiap hari. Kewajiban itu menghapus kewajiban shalat malam. [2]
Baca juga: Mengapa Shalat Menjadi Tiang Agama?
Setelah perjalanan mukjizat Isra dan Mikraj, Jibril turun di waktu siang untuk mengajari Rasulullah gerakan shalat. Shalat yang pertama dilakukan adalah shalat zuhur. Jika rukuk diwajibkan ketika shalat asar, boleh jadi zuhur yang tak ada rukuknya adalah zuhur pertama saat diajarkan oleh Jibril AS itu. Atau zuhur di hari-hari lain (saya pribadi belum tahu apakah ada rentang waktu panjang antara zuhur pertama dalam Islam dan asar yang ada kewajiban rukuknya, ataukah hanya selisih jam saja).
Sami’allahu liman hamidah
Saat shalat, takbir tak hanya diucapkan saat takbiratul ihram atau takbir pembuka saja, tapi setiap peralihan gerakan dibersamai dengan ucapan takbir. Hal itu dilakukan sampai sesuatu terjadi, yaitu saat Abu Bakar terlambat jamaah shalat Asar. Ia berpikir tertinggal shalat berjamaah bersama Rasulullah. Ia bergegas lari, saat masuk masjid, ia dapati Rasulullah takbir untuk rukuk. Mendapati dirinya ternyata tak telat, Abu Bakar spontan mengucap, “Alhamdulillah” lalu takbir shalat di belakang Rasulullah. Turunlah Jibril saat Rasulullah rukuk seraya berkata “Muhammad, sami’allahu liman hamidah/Allah mendengar seseorang yang memuji-Nya,” maksudnya adalah ucapan alhamdulillah Abu Bakar tadi.
“Ucapkan sami’allahu liman hamidah,” perintah Jibril.
Baca juga: Hukum Tidak Urut Membaca Surat Al-Qur’an Ketika Shalat
Lalu saat beralih dari rukuk ke iktidal, Rasulullah mengucapkan apa yang diperintahkan Jibril: “Sami’allahu liman hamidah!”
Praktis, setelah kejadian itu, “sami’allahu liman hamidah” menjadi sunnah dibaca pada saat bangun dari rukuk menggantikan takbir. [3]
Rabbana lakal hamdu
Bahkan dalam urusan sesakral shalat, ashabat kadang melalukan improvisasi tanpa ada ajaran dari Rasululullah sebelumnya. Shalat dua rakaat setiap usai wudhu yang rutin dilakukan Bilal, misalnya. Atau kisah Rifa’ah bin Rafi’ Az-Zuraqi dalam Shahih Bukhari yang mengucapkan “Rabbana wa lakal hamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih” saat bangun dari rukuk.
Saking terkejutnya respon malaikat atas ucapan itu, Rasulullah sampai menanyakan siapa yang mengucapkan kalimat itu. Dan berkat improvisasi Rif’ah itu, bacaan yang sunnah dalam iktidal adalah sebagaimana apa yang diucapkan Rif’ah.
Baca juga: Tata Cara Mengqadha Shalat yang Terlewat
Dari shalat yang bermakna meditasi, menjadi shalat yang punya gerak fisik tanpa rukuk, lalu punya gerak rukuk, lalu ada kesunnahan membaca sami’allahu liman hamidah, dan seterusnya dan seterusnya, hingga sampai banyak para sahabat (ulama kemudian berbeda pendirian sebab para sahabat berbeda) berbeda cara shalat dalam hal yang parsial seperti sendekap (qabdh) atau melepas tangan (irsal) saat berdiri, membaca basmlah atau tidak, dan seterusnya, itu menunjukkan kepada kita bahwa shalat diwajibkan secara bertahap, dan bentuknya diatur secara gradual sehingga nama shalat sebagai istilah untuk ibadah tertentu menjadi ciri khas bagi umat Islam.
Shalat dan waktu-waktu shalat memang sudah dikenal di era para nabi, tapi shalat di lima waktu dengan pola sebagaimana yang kita tahu dan kita lakukan itu sangat eksklusif. Beda dari yang lain.
Referensi:
[1] Hasyiah Bajuri bab “Arkanush Shalah”.
[2] Hasyiah Bajuri “Kitab Ahkamish Shalah.”
[3] Syekh Nawawi al-Jawi dalam Qutul Habib bab “Haiatush Shalah“.