Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Jika ulama berbeda pendapat, mengapa kita harus bermazhab?

Avatar photo
53
×

Jika ulama berbeda pendapat, mengapa kita harus bermazhab?

Share this article

Keragaman merupakan ihwal yang wajar dan sunnatullah. Setiap perbedaan membuka sebuah kontestasi wacana, melahirkan ruang dialektis, dan memalu nalar masyarakat yang kaku dan rigid.

Adonis, seoarang penyair dan kritikus asal Suriah pernah berceloteh, “Buah pemikiran manusia terlahir hanya jika ada sebuah pertentangan dengan pemikiran manusia lainnya. Jika pertaruangan wacana dan konflik dialektis nihil, maka tak akan menelurkan sebuah pemikiran. Yang terjadi hanyalah proses taqlid, dan sebaik-baik itu adalah interpretasi.”

Perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara kaum muslimin telah terjadi sejak masa Nabi Muhammad saw. (khususnya dalam masalah cabang-cabang agama (furu’iyah). Seteru argumen antara satu sahabat dengan sahabat lainnya dalam menyikapi perintah agama ataupun sabda Rasulullah saw. bisa sangat berlainan.

Namun pada akhirnya dapat didudukkan dan diselesaikan dengan baik berkat kehadiran Nabi Muhammad saw. Perbedaan ini mereka maknai secara positif dalam persaudaraan dan saling menghargai tanpa perasaan saling mengungguli.

Riwayat singkat kemunculan mazhab

Semula mazhab tidak merujuk kepada nama orang, tapi cenderung merujuk ke suatu wilayah atau teritorial tertentu. Ambil contoh, ada satu tokoh di Madinah yang logika berpikirnya diikuti oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga dikenal dengan mazhab Madinah.

Setelah adanya mazhab berbasis wilayah, kemudian muncullah mazhab yang dinisbatkan kepada tokoh mujtahidnya itu sendiri, seperti halnya keempat mazhab yang umumnya sampai sekarang kita kenal itu.      

Permulaan abad ke-2 H sampai sekitar pertengahan abad ke-4 H merupakan masa kelahiran tokoh-tokoh imam mazhab dalam disiplin ilmu fiqih (teks yuripudensi keislaman).

Kelahiran mazhab fiqih yang berjumlah empat (syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali) dibidani salah satunya oleh fenomena-fenomena baru yang belum pernah ada pada zaman Rasulullah saw.

Sementara itu, di saat yang bersamaan umat Islam juga terdesak perlu menentukan sikap-sikap keagamaannya. Walhasil, para mujtahid ini menggali hukum dengan kapasitas berbagai disiplin keilmuan untuk membuahkan hasil ijtihadnya.

Bermula dari masa tabi’in antara kelompok Irak dan kelompok Hijaz ini kemudian lahir para tokoh mujtahid yang melahirkan mazhab fikih atas nama mereka, yang memiliki manhaj atau metode istinbath (penetapan hukum) masing-masing.

Mazhab fikih tersebut, khususnya mazhab yang empat yang masih menjadi pegangan umat islam sampai sekarang, dapat dibedakan kepada dua kecenderungan utama. Mazhab Hanafi cenderung kepada corak Irak yang menggunakan ra’yu (pendapat), sementara tiga mazhab lainnya, mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali cenderung menggunakan corak Hijaz yang condong kepada Hadits dan Atsar Sahabat. Kendati demikian, di antara tiga mazhab terakhir yang disebutkan, tetap banyak ikhtilaf (perbedaan).

Ikhtilaf (perbedaan) di kalangan tokoh pendiri dan pengikut mazhab merupakan rahmat bagi umat, sama sekali tidak memisahkan mereka dalam fanatisme mazhab dan golongan. Situasi ini tidak lepas dari keteladanan yang ditunjukkan oleh para tokoh pendiri mazhab yang menjunjung tinggi etika ikhtilaf (perbedaan). Mereka saling mengakui dan saling menghormati, meskipun berlainan manhaj dan hasil ijtihadnya.

Misalnya, Imam Malik menghormati Imam Abu Hanifah dan sebaliknya, Imam Abu Hanifah mengakui keilmuan Imam Malik. Imam Syafi’i mengagumi dan memuliakan gurunya Imam Malik, begitu rupa sebaliknya, Imam Malik membanggakan muridnya, Imam Syafi’i. Demikian pula, sikap ta’dzim Imam Hanbal kepada pendahulu-pendahulunya.

Adanya perbedaan hasil ijtihad dan keputusan hukum di antara mereka bukan alasan untuk saling mengobarkan pertikaian, kepentingan pribadi atau golongan, apalagi untuk memisahkan umat Islam dalam mazhab. Justru hal ini sebuah momentum untuk saling melengkapi kekayaan khazanah pemikiran Islam.

Urgensi bermazhab: Kenapa ulama bisa berbeda pendapat?

Banyak sekali faktor-faktor pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Walaupun al-Quran dan Hadits Mutawatir adalah sebuah kebenaran yang muthlak (qath’iyyu tsubut), namun di dalam dua pedoman itu juga terdapat redaksi-redaksi yang bersifat tidak perlu interpretasi (qath’iyyu dilalah) dan ada redaksi-redaksi yang bersifat intrepetatif asumtif (dzanniyyud dilalah).

Bagian terakhir ini yang kerap menjadi sumber pergesekan argumen karena ketaksamaan dalam memahami nash-nash al-Quran dan Hadits. Di mana pada akhirnya, keputusan hukum yang dikeluarkan juga berlainan.

Ketika sumber ajaran Islam dipahami dan dianalisis oleh umat manusia melalui daya akal atau nalar, sudah pasti keanekaragaman dan pertelingkahan bakal terjadi. Semakin zaman jauh berjarak dengan Rasulullah saw. dan sahabat serta tabi’in, maka besar kemungkinan persinggungan pemahaman di kalangan muslimin semakin terbuka lebar.

Lebih-lebih di era modern dewasa ini, sikut silang argumentasi di kalangan muslimin makin mudah meletup-meletus. Potensi penyimpangan prinsip makin sering terjadi, lebih parah pertentangan yang bisa berujung pada perpecahan.

Adalah fenomena, bahwa ada kelompok muslimin yang tidak siap berbeda, ringan mencela, bahkan mudah mengkafir-kafirkan saudara seiman seagama. Buntutnya suasana saling menyalahkan dan permusuhan berkepanjangan tak tahu ujung. Sudah pasti, ketika perbedaan antar pengikut mazhab yang fanatik, lebih-lebih yang ekstrem, disikapi dengan perasaan paling benar sendiri, maka persatuan dan persaudaraan muslimin yang jadi taruhannya.

Hal lain yang menjadi pemicu konflik antar umat muslim adalah kurangnya filterisasi terhadap fatwa-fatwa yang dikeluarkan. Perlu dipahami, bahwa dewasa ini, banyak sekali ditemui fatwa-fatwa tidak sesuai dengan hasil ijtihad para mujtahid terdahulu, dinilai sangat jauh bahkan menentang syariat. Hal ini marak dinormalisasikan, diklaim sebagai fatwa yang benar di kalangan masyarakat awam sehingga menjadi percik perpecahan antar umat.

Bagaimana cara kita menyikapi fatwa-fatwa yang bertentangan ini?

Ada beberapa hal yang sekiranya bisa dijadikan panduan, bagaimana cara bersikap pada fatwa-fatwa yang bertentangan dan mematahkan kepercayaan masyarakat fatwa-fatwa tak berdasar tersebut.

Dalam makalah Atsar Fatwa asy-Syadzah ‘ala al-Amni al-Fikri karangan Doktor Zainab Ayyad, disebutkan:

Pertama, tidak berpegang kepada fatwa tersebut, dalam artian wajib bagi masyarakat untuk tidak mengikuti fatwa-fatwa tersebut sehingga banyak manusia yang terjerumus dalam fatwa yang salah.

Kedua, memberikan gelar sebagai tanda kelayakan menjadi seorang mufti, seperti gelar kiai yang terdapat di Indonesia.

Ketiga, memiliki lembaga fatwa khusus yang menangani permasalahan-permasalahan kontemporer. Lembaga ini wajib dimiliki setiap negara khususnya di negara-negara Islam.

Keempat, merumuskan kurikulum pembelajaran keagamaan untuk mengedukasi anak-anak sejak dini, upaya pencegahan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Dan yang terakhir, membuat kanal media sebagai pusat informasi yang berkaitan khusus dengan dunia Islam.

Kelima hal ini menjadi langkah pencegahan dalam meminimalisir terjadinya perpecahan umat muslim yang lebih besar di masa yang akan datang.

Mengikuti salah satu dari empat imam mazhab adalah sebuah keniscayaan yang sudah disepakati oleh semua ulama. Bahkan Ibnu Shalah secara tegas menyatakan bahwa mengikuti mazhab selain empat yang sudah ditentukan hukumnya tidak boleh. Artinya mengikuti salah satu mazhab yang empat tersebut adalah wajib, karena pendapat-pendapat mereka dianggap sebagai pendapat ulama paling otoritatif. Meskipun perbedaan yang ada kerap kali menjadi pemicu perselisihan, akan tetapi hal tersebut cenderung menunjukkan betapa luasnya khazanah Islam.

Kontributor

  • Lena Layyinatul Banat

    Pernah belajar di Universitas al Azhar, Cairo, Mesir. Sekarang aktif mengajar ngaji anak-anak.