Dalam sebuah ceramah, seorang ustadz bercerita bahwa ia
pernah diminta untuk memimpin doa
bersama di sebuah acara. Ia enggan mengabulkan permintaan itu, karena
menurutnya Nabi tidak pernah mencontohkan hal tersebut.
Akhirnya doa
dipimpin oleh salah seorang yang hadir. Tapi menurut ustadz tadi, doa orang ini
salah. Doa yang seharusnya dibacanya adalah seperti ini:
اللهم اقْسِمْنِي مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا
وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ
Tapi yang ia baca malah seperti ini:
اللهم اقْسِمْنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تُحَوِّلُنَا بِهِ
جَنَّتَكَ …
Menurut ustadz tadi, doa yang dibaca orang tersebut artinya
menjadi seperti ini : “Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang
memindahkan kami dari surga-Mu…”
Kemudian ia menimpali, “Pindah dari surga mau kemana? Tentu
ke neraka! Tapi para jamaah yang tidak mengerti bahasa Arab itu hanya berkata,
“Amiin…”.
Lalu sang ustadz pun berpesan, “Makanya jangan mau doa-doa
kita dipimpin.”
***
Sebenarnya kalau pesan yang ingin disampaikan sang ustadz
adalah agar lebih berhati-hati dalam berdoa; atau sebaiknya kita memahami lafaz
doa yang kita ucapkan; atau ini sebagai motivasi untuk belajar bahasa Arab;
tentu ini sesuatu yang baik.
Tapi dari konteks pembicaraannya, ia ingin menegaskan bahwa
kesalahan dalam redaksi doa sangat fatal akibatnya. Untuk itu ia berpesan,
“Jangan mau doa kita dipimpin.”
***
Poin pertama yang perlu kita koreksi adalah kalau betul-betul
mengikuti sunnah seperti yang sering digembar-gemborkan oleh sang ustadz dan
orang-orang yang semanhaj dengannya, maka redaksi doa tersebut bukan seperti
yang ia katakan di awal (yang menurutnya mesti dibaca oleh orang yang didaulat
untuk memimpin doa tersebut).
Redaksi doa ini terdapat di dalam Sunan at-Tirmidzi, dan tidak menggunakan kalimat:
اللهم اقْسِمْنِي مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تَحُوْلُ بِهِ بَيْنَنَا
وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ
Sebagaimana yang disampaikan sang ustadz. Melainkan dengan
redaksi:
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ
بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ
“Ya Allah, berikan kami rasa takut pada-Mu yang dapat
menghalangi kami dari bermaksiat kepada-Mu.”
Perbedaannya tidak hanya terletak pada penggunaan objek (maf’ul)
dari kata اقْسِمْ yang menurut sang ustadz adalah ya mutakallim yang
dibantu oleh nun wiqayah sehingga menjadi اقْسِمْنِي sementara di dalam hadits menggunakan huruf jar lam sehingga
menjadi اقْسِمْ لَنَا , tapi juga terletak pada dhamir yang digunakan.
Sang ustadz menggunakan ya mutakallim yang berarti
‘saya’. Artinya doa ini untuk diri sendiri. Sementara hadits menggunakan nun
jamak yang berarti ‘kita’. Artinya doa ini untuk bersama, bukan untuk sendiri.
Ditambah lagi, kalau sang ustadz lebih teliti, di awal hadits
disebutkan bahwa doa ini Nabi ucapkan untuk para sahabat. Artinya doa ini
memang untuk bersama. Perhatikan redaksi hadits berikut:
عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي عِمْرَانَ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ، قَالَ:
قَلَّمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ مِنْ
مَجْلِسٍ حَتَّى يَدْعُوَ بِهَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ لِأَصْحَابِهِ: «اللَّهُمَّ
اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا يَحُولُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعَاصِيكَ، وَمِنْ
طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ، وَمِنَ اليَقِينِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ
عَلَيْنَا مُصِيبَاتِ الدُّنْيَا
Dari Khalid bin Abi Imran, Ibnu Umar berkata, “Jarang sekali
Rasulullah Saw bangkit dari sebuah majelis melainkan beliau berdoa dengan doa
berikut untuk para sahabatnya: “Ya Allah, karuniakanlah pada kami rasa takut
pada-Mu yang bisa menghalangi kami dari maksiat pada-Mu, dan (karuniakan pada
kami) rasa takut pada-Mu yang dapat menyampaikan kami pada surga-Mu, dan rasa
yakin yang dapat meringankan kami menerima berbagai musibah di dunia ini.”
***
Poin berikutnya adalah mengenai ‘kesalahan fatal’ dalam
redaksi doa yang digunakan orang tersebut menurut sang ustadz. Redaksi yang ia
baca adalah :
اللهم اقْسِمْنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تُحَوِّلُنَا بِهِ
جَنَّتَكَ
Redaksi ini oleh sang ustadz diterjemahkan seperti ini: “Ya
Allah, berikanlah kami rasa takut pada-Mu yang memindahkan kami dari surga-Mu.”
Sebenarnya, terjemahan ini baru pas kalau orang tersebut
menambahkan kata مِنْ ‘dari’ sebelum kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’. Tanpa
kata مِنْ ‘dari’ maka artinya tidak mutlak seperti yang diklaim sang
ustadz, karena kata جَنَّتَكَ ‘surga-Mu’ dalam
hal ini menjadi objek kedua (maf’ul bih tsani) dari kata تُحَوِّلُنَا “memindahkan kami’, sehingga artinya bisa saja menjadi: “Ya
Allah, karuniakan kami rasa takut pada-Mu, yang dengan rasa takut itu bisa
memindahkan kami akan (kepada) surga-Mu”. Jadi ‘surga-Mu’ dalam hal ini bisa
dipahami sebagai tujuan dipindahkan.
Tapi anggaplah terjemahan yang disampaikan sang ustadz
terhadap redaksi orang tersebut benar. Lalu apakah ini berarti si pendoa
benar-benar meminta kepada Allah untuk dipindahkan dari surga? Dan apakah
orang-orang yang mengaminkannya juga berkeinginan seperti itu? Serta yang
paling penting, apakah Allah SWT akan mengabulkan sebuah doa sesuai dengan
redaksi yang terucap dari mulut atau melihat kepada apa yang ada di dalam hati?
Mari perhatikan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim berikut ini:
لَلَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِينَ يَتُوبُ
إِلَيْهِ، مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضِ فَلَاةٍ،
فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْهَا طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ، فَأَيِسَ مِنْهَا،
فَأَتَى شَجَرَةً، فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، قَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلَتِهِ،
فَبَيْنَا هُوَ كَذَلِكَ إِذَا هُوَ بِهَا، قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ
بِخِطَامِهَا، ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللهُمَّ أَنْتَ عَبْدِي
وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ
“Sungguh Allah lebih bergembira dengan tobat hamba-Nya ketika
ia bertobat, daripada seseorang yang berada di atas hewan tunggangannya di
sebuah padang lepas, lalu hewan itu lepas darinya, sementara di atasnya ada
makanan dan minumannya. Ia pun merasa putus asa (hewan tunggangannya itu
kembali lagi). Akhirnya ia berteduh di sebuah pohon dalam keadaan pasrah.
Tiba-tiba hewan tunggagannya sudah berada di depannya. Ia segera meraih tali
kekangnya. Saking gembiranya ia berkata, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku
tuhan-Mu.” Ia keliru karena sangat bergembira.”
Kesalahan orang ini tidak hanya dari segi qawa’id atau
kaidah bahasa seperti yang terjadi pada orang yang diceritakan sang ustadz di
atas. Kesalahannya tidak hanya pada masalah redaksi, melainkan pada makna dan
substansi. Ia sampai mengatakan, “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku tuhan-Mu…”.
Bukankah ini adalah kalimat kafir?
Tapi apakah memang itu yang ia maksudkan? Tentu tidak.
Ungkapan itu muncul karena ia berada dalam kondisi yang sangat bahagia sehingga
kalimat yang keluar dari mulutnya tidak terkontrol lagi. Berarti bukan sebuah
kesengajaan.
Terkadang kita perlu mengingat kembali pelajaran-pelajaran
dasar yang mungkin telah kita lupakan. Bukankah di antara hadits pokok yang hampir setiap muslim mengetahuinya
adalah:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal tergantung kepada niatnya.”
Maka, saya sangat respek membaca respon banyak orang terhadap
video ceramah sang ustadz, “Yang penting kan niatnya, Ustadz…”.
Ya, adakalanya seorang ustadz yang kajiannya sudah
kesana-kemari perlu diingatkan oleh jamaahnya yang ilmunya mungkin sangat
terbatas tapi memiliki fitrah yang bersih dan rasa kemanusiaan yang tinggi.
***
Kita tidak boleh meremehkan kesalahan redaksi dalam bacaan
doa. Tapi kita juga tidak boleh menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat
fatal, apalagi kalau berangkat dari ketidaktahuan, bukan kesengajaan.
Hal lain yang perlu diingatkan kepada masyarakat tentang doa
adalah konteks sebuah doa. Syekh Mustafa al-Buhyawi menceritakan, suatu ketika
beliau sedang thawaf. Tiba-tiba ada serombongan jamaah haji yang dari
pakaiannya terlihat berasal dari Asia. Mereka berdoa bersama secara serentak
dengan suara yang keras dan dipimpin oleh seseorang yang sepertinya menjadi
ketua rombongan. Di antara doa yang mereka
ucapkan adalah:
اللهم كَمَا اسْتَجَبْتَ لِإِبْلِيْسَ فَاسْتَجِبْ لَنَا
“Ya Allah, sebagaimana Engkau telah mengabulkan doa Iblis
maka kabulkanlah doa kami.”
Yang mereka maksudkan adalah Allah mengabulkan doa Iblis yang
minta diberikan tenggat waktu sampai hari kiamat untuk bisa menyesatkan anak
cucu Adam, dan Allah mengabulkan permintaan itu. Tapi pengabulan doa di sini adalah dalam konteks kemurkaan bukan keridhaan.
Sementara yang kita mohon kepada Allah adalah pengabulan doa dalam keridhaan.
Ini jelas dua hal yang sangat berbeda.
اللهم فقهنا فى الدين واجعلنا دعاة لا قضاة