Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Melihat Rasulullah Saw. Secara Sadar, Ini Penjelasan Ulama

Avatar photo
66
×

Melihat Rasulullah Saw. Secara Sadar, Ini Penjelasan Ulama

Share this article

“Jika ada yang mengaku-aku bisa melihat Rasulullah saw. secara sadar dan terjaga (yaqdah), maka ketahuilah, sungguh ia telah berdusta!!”

Petikan kalimat di atas terucap dari salah seorang yang dianggap sebagai dai (ustadz). Kalimat yang menjadi upaya untuk memecah belah umat, serta mencuci otak mereka agar membenci ulama, khususnya para ulama dan habaib yang dikaruniakan oleh Allah swt. berupa memandang Rasulullah saw. secara sadar.

Lantas, apakah mungkin salah seorang dari kita dapat melihat Rasulullah saw. secara sadar dan terjaga?

Hal pertama yang wajib diketahui ialah; kemampuan memandang Rasulullah saw. secara sadar (yaqdah) merupakan sebuah karunia Allah swt. Dengan sifat Iradah (keinginanNya), Dia bebas memberikan kemampuan tersebut kepada hamba yang dikehendakiNya.

Allah swt. berfirman,

يَخْتَصُّ بِرَحْمَتِهِ مَن يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

Allah menentukan rahmat-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Ali-Imran: 74)

Kemudian, memandang Rasulullah saw. secara sadar atau kasat mata bukanlah hal yang asing di kalangan orang-orang yang hatinya dipenuhi cinta dan rindu kepada beliau.

Seseorang yang mengingkari hal tersebut, masih perlu mengintrospeksi hatinya terlebih dahulu; akankah kerinduan kepada Rasulullah saw. masih bersemayam di hatinya?

Riwayat yang menguatkan bahwa melihat Rasulullah saw. dengan mata kepala bukanlah termasuk khurafat atau dongeng belaka, antara lain:

أن عبد الله بن عباس رأى النبي في النوم فتذكر هذا الحديث وبقي يفكر فيه ثم دخل على بعض أزواج النبي (ميمونة) فقص عليها قصته فقامت وأخرجت له مرآته صلى الله عليه وسلم، قال : فنظرت في المرآة فرأيت صورة النبي ولم أر لنفسي صورة.

Suatu ketika Sayyid Abdullah bin Abbas bermimpi Rasulullah saw. hingga hal tersebut terus terngiang-ngiang di benaknya. Beliau lalu menceritakan hal itu kepada Sayyidah Maimunah, salah seorang istri Nabi.

Berniat untuk sedikit mengobati kerinduannya kepada Rasulullah saw., Sayyidah Maimunah lantas mengambil sebuah cermin peninggalan suami tercintanya itu dan memberikannya kepada Ibnu Abbas.

Sayyid Abdullah bin Abbas bersaksi dalam tuturnya, “Ketika aku bercermin, bukan wajahku yang muncul, tetapi justru wajah kekasihku, Rasulullah saw.’ (Risalah Tanwir Al-Halk, 2/245)

Riwayat tersebut dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda,

من رآني في المنام فسيراني في اليقظة ولا يتمثل الشيطان بي

“Barang siapa telah memandangku di dalam mimpinya, maka ia akan melihatku secara sadar (kasat mata), karena setan tak mampu menyerupai aku.” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu DaudHadits Shahih)

Al-Imam Jalaluddin As-Suyuti menjelaskan maksud dari hadits ini, dalam petikan kalamnya:

“Seorang yang pernah bermimpi Rasulullah semasa hidupnya (walau sekali) seakan ia telah mendapat janji dari Rasulullah saw. berupa; memandang atau melihat Rasulullah saw  sebelum dia wafat. Umumnya hal tersebut akan terjadi ketika detik-detik ruhnya dicabut. Maka  Rasulullah saw. akan menjadi penuntun dirinya dalam menutup usia dengan lantunan dua kalimat syahadat.” (Lihat Risalah Tanwir Al-Halk lis- Suyuti [2:243], dan Fath Al-Bari)

Jika mereka masih mengelak, dan berkata, “Bagaimana mungkin hal itu terjadi, bukankah Rasulullah saw. telah dikubur ratusan tahun yang lalu? Mana mungkin bisa menemui seseorang yang masih hidup?

Al-Imam Ibnul Jauzi mematahkan pernyataan tersebut dalam tuturnya,

أنه من ظن أن جسد رسول الله -صلى الله عليه وسلم- المودع في المدينة خرج من القبر، وحضر في المكان الذي رآه فيه؛ فهذا جهل لا جهل يشبهه، فقد يراه في وقت واحد؟! وإنما الذي يرى مثاله لا شخصه، فيبقى “من رآني.. فقد رآني”، معناه: قد رأى مثالي، الذي يعرفه الصواب، وتحصل به الفائدة المطلوبة

“Barang siapa mengira bahwa (maksud hadits: ia akan memandang Rasulullah secara (kasat mata) ialah jasad Rasul yang dikubur di Madinah, akan keluar untuk menemuinya, maka inilah suatu pemahaman yang menunjukkan kebodohan orang tersebut. Akan tetapi maksud hadits di atas ialah; ia akan memandang suatu gambaran yang menunjukkan bahwa seperti itulah dzat dari Rasulullah saw. bukan jasad maupun tubuhnya secara hakiki. Maka dengan maksud ini, hadits tadi dapat diterima dengan akal sehat.” (Shaid Al-Khotir)

Al-Imam Izzuddin bin Abdussalam pun membenarkan hal tersebut. Beliau mengatakan, “Tingkatan untuk mampu melihat Nabi secara langsung bak jalan berliku. Sedikit yang berhasil mencapainya. Tetapi tidak bisa kita pungkiri atas kejadian yang telah dilalui oleh para ulama yang telah mencapai tingkatan ini.” (Al-Hawi Lil Fatawi, 2:245)

Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad pun mengungkapkan hal yang senada. Beliau menyatakan, Tidak perlu heran, sungguh Rasulullah masih hidup di alam yang berbeda, tetapi tidaklah bisa menjabarkan serta merasakan kehadirannya, melainkan oleh ulama yang telah mencapai tingkatan tersebut.” (Al-Fushul Al-Ilmiyah, hal:106)

Hingga tersisa orang mengabaikan suara hatinya, dan menuruti nafsu untuk mengingkari kebenaran melihat Rasulullah saw. secara sadar dengan kasat mata. Wallahu a‘lam bis shawab.

Referensi:

1. Tanwir Al-Halk, karya al-Imam Jalaluddin as-Suyuti.
2. Fath Al-Bari, karya Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani.
3. Shaid Al-Khathir, karya Al-Imam Ibnu al-Jauzi.
4. Al-Fushul Al-Ilmiyah, karya Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim