Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Memahami Nur Ilahi, Perspektif Tasawuf Falsafi dan Ilmu Mantiq

Avatar photo
33
×

Memahami Nur Ilahi, Perspektif Tasawuf Falsafi dan Ilmu Mantiq

Share this article

Sudah sepantasnya kita semua
mengimani bahwa segala sesuatu yang wujud (ada) di muka bumi ini adalah bentuk
ciptaan dari Dzat yang Maha Agung Allah swt. Tidak ada sesuatu sekecil biji dzarrah
pun yang luput dari keterlibatan-Nya.
Nur
keilahian Allah
menyokong
adanya kehidupan di alam semesta.

Allah swt. berfirman dalam kitab suci-Nya:

الله
نورالسماوات والأرض ۚ  مثل نوره كمشكاة
فيها مصباح ۖ  المصباح في زجاجة ۖ  الزجاجة كأنها كوكب دري يوقد من شجرة مباركة
زيتونة لا شرقية ولا غربية يكاد زيتها يضيء ولو لم تمسسه نار ۚ نور على نور ۗ  يهدي الله لنوره من يشاء ۚ ويضرب الله الأمثال
للناس ۗ والله بكل شيء عليم

“Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti
sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu
di dalam tabung kaca, dan tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan,
yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun
yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja)
hampir-hampir menerangi,walaupun tidak di sentuh api. Cahaya di atas cahaya
(berlapis-lapis), Allah pemberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia
kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.”
(QS. an-Nur: 35)

Lantas
apakah maksud makna dari “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi?
Bagaimanakah
wujud
nur
(cahaya) keilahian-Nya dalam memenuhi langit dan bumi? Apakah nur yang
dipancarkan oleh-Nya sama dengan yang dipancarkan oleh matahari, bulan, bintang
dan yang lainnya?

Berkaitan
dengan hal ini,
Imam
al-Ghazali
telah
mengutarakan dan merumuskan penjelasannya dalam kitab “Misykatul Anwar
secara stru
ktural dan logis. Sebelum masuk ke
dalam pembahasan mengenai makna Nur Ilahi, beliau memaparkan terlebih dahulu
apa yang dimaksud dengan kata “
nur” itu sendiri.

Secara
epistemologi,
kata nur
perlu dipahami dengan 3 sudut
pandang:
(1) secara Awwam (umum), (2) secara khowas (khusus) dan (3) secara khowasul khowwash (lebih spesifik).

Menurut sudut pandang yang
pertama, maksud dari lafadz
nur adalah memberikan isyarat terhadap segala sesuatu yang nampak.
Adapun segala sesuatu yang nampak tentunya dapat diketahui dengan suatu
perangkat informasi. Dan perangkat informasi inilah yang biasa disebut dengan “panca
indera”, lebih tepatnya lagi yaitu kedua mata kita.

Namun, seperti apakah sesuatu
yang pantas disebut
nur menurut penglihatan kita? Untuk menjawab kemusykilan ini, Imam al-Ghazali membagi menjadi 3 macam sesuatu yang kaitannya dengan
penglihatan:

(1) Sesuatu yang tidak memperlihatkan dirinya, seperti benda yang
berada di ruang gelap
.

(2) sesuatu yang bisa memperlihatkan dirinya sendiri, namun
tidak bisa memperlihatkan terhadap sesuatu yang lain, seperti bintang, bara api
yang tidak berpijar
.

(3) sesuatu yang dapat memperlihatkan dirinya sendiri serta
dapat memperlihatkan terhadap sesuatu yang lain, seperti matahari, bulan, nyala
api yang membara dan lain-lain.

Dari 3 macam jenis yang telah
dipaparkan tersebut, jenis yang ketiga lebih layak disebut dengan istilah
nur, karena
dapat memperlihatkan dirinya sendiri sekaligus yang lain.

Jika dipahami dari sudut pandang yang pertama, maka tolak ukur kelayakan sesuatu bisa
dianggap sebagai nur adalah kedua mata kita masing-masing. Padahal kita
tahu bahwa tidak setiap orang memiliki kapasitas penglihatan yang sama.
Misalkan antara anak muda dan orang tua, tentu di antara mereka berdua memiliki kapasitas penglihatan yang
berbeda
. Begitu juga antara orang yang sehat dan orang yang mengidap penyakit katarak. Lebih dari itu, kondisi orang buta justru
tidak dapat melihat sama sekali dengan mata kepalanya.

Setelah kita mengetahui dari
sudut pandang yang pertama, ternyata kedua mata memiliki kekurangan untuk
menilai segala sesuatu sebagai nur, karena
menurutnya jika mata tidak melihat atau tidak berfungsi, maka sesuatu yang
bersinar pun tidak bisa dikatakan sebagai nur.

Adapun menurut sudut pandang
yang kedua (secara khusus)
, kekurangan yang terdapat pada kedua mata menjadikannya belum
pantas untuk dinisbatkan kepada istilah
nur, karena
keterbatasan mata yang hanya dapat melihat sesuatu yang bersifat lahiriah saja.

Maka dari itu seharusnya ada
yang lebih pantas untuk dinisbatkan dengan istilah nur daripada mata,
yaitu adalah “ainul basiroh” atau mata batin. Mata batin mampu melihat
terhadap sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh mata. Oleh karenanya, mata batin
lebih layak untuk disebut dengan
nur karena tidak memiliki berbagai kekurangan yang dimiliki oleh
mata.

Adapun beberapa kekurangan yang dimiliki oleh kedua mata kepala
dibandingkan dengan mata batin diantaranya adalah: mata kepala tidak mampu
melihat sesuatu yang jaraknya jauh
. Bahkan sesuatu yang paling
dekat pun, mata kepala tidak dapat melihat siapa sebenarnya diri kita, namun
dengan mata batin kita dapat melihat siapa sebenarnya diri kita, sifat apa saja
yang melekat pada diri kita, potensi apa yang kita miliki sebenarnya.

Kemudian kedua mata kepala juga hanya sebatas mampu melihat dan
mengetahui sesuatu yang bersifat jism (fisik), tidak mampu mengetahui
sesuatu yang bersifat ruh
(non-fisik) seperti hembusan angin, rasa panas, rasa dingin,
rasa senang, rasa sedih, rasa sakit, rasa rindu, rasa gundah dan lain
sebagainya. Dengan mata batin, kita sadar bahwa adanya sesuatu di alam semesta
ini tidak hanya yang bisa dikalkulasikan, tetapi juga sesuatu yang tidak bisa
dikalkulasikan. Bukti nyatanya adalah ketika terjadi dialog antara Malaikat
Jibril dan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah
saw. memulai dialog sebagai berikut:

قال
صلى الله عليه وسلم لجبريل عليه السلام: {أزالت الشمس؟} فقال: {لا, نعم} فقال عليه
السلام: {كيف؟} قال: منذ قلت: {لا} إلى أن قلت: {نعم} قد تحركت مسيرة خمس مئة سنة.

Rasulullah
saw. bersabda (bertanya) kepada Jibril as., “Apakah matahari telah tergelincir?

Jibril
menjawab
, “Tidak, iya.”

Rasulullah
bertanya kembali
, “Bagaimana
maksudnya?

Jibril
menjawab
, “Sejak aku berkata (tidak) sampai aku
berkata (iya) matahari telah bergerak dengan kisaran jarak yang ditempuh selama
500 tahun.”

Secara
eksplisit, isi dalam perbincangan ini mengisyaratkan bahwa apa yang kita lihat
dengan mata kepala, sangatlah terbatas tidak seperti apa yang kita lihat dengan
mata batin.

Dari
sudut pandang kedua ini (khowas)
, kita tahu bahwa mata batinlah yang
lebih pantas diistilahkan dengan makna nur daripada kedua mata kepala
kita.

Namun
a
kankah setiap yang
terlihat oleh mata batin kita selalu benar? Menurut sudut pandang ketiga
(khowasul khowash), meskipun mata batin memiliki kapasitas lebih tinggi dalam
melihat segala sesuatu, namun tidak selalu yang dilihatnya itu benar. Mengapa?
Karena sebagian besar mata batin juga dikelilingi oleh beberapa ilusi dan
khayalan yang pada akhirnya mencegah kita untuk mengetahui atau menangkap
informasi secara hakiki. Ilusi dan khayalan inilah yang membatasi mata batin
kita untuk menggali pengetahuan dengan absolut.

Allah swt. berfirman dalam kitab suci-Nya:

فكشفنا
عنك غطآءك فبصرك اليوم حديد

“Maka
kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam.”
(Qaf: 22)

Maksud
dari lafadz
غطاء (tutup) menurut Imam al-Ghazali adalah suatu tabir-tabir yang
menutupi mata batin kita untuk melihat dengan pandangan hakiki seperti
keyakinan yang sesat , khayalan yang tidak semestinya, tipu daya setan dan
sejenisnya.

Perlu
diketahui juga bahwa mata batin perlu adanya kontrol dengan sistem tertentu
agar dapat berfungsi dengan baik dan benar. Sistem atau alat yang dimaksud
untuk mengontrol jalannya mata batin dengan baik adalah
kalam hikmah yang terlontar dari firman-firman Allah swt. Adapun sebaik-baik firman Allah swt. tidak lain adalah Al-Quran Al-Karim.

Kedudukan
Al-
Quran bagi mata batin bagaikan
kedudukan cahaya matahari bagi kedua mata kepala. Pancaran sinar matahari
menerangi kedua bola mata sehingga mampu melihat dengan jelas. Begitu juga Al-
Quran yang menerangi mata batin karena
di dalamnya mengandung kalam hikmah berupa firman Allah
swt, sehingga mampu melihat dengan suatu
pandangan “ainul yaqin” (pandangan penuh keyakinan).

Oleh
karena itu, Al-
Quran lebih
layak untuk diistilahkan dengan sebutan
nur, sebagaimana firman Allahswt.:

فأمنوا
بالله ورسوله والنور الذيۤ أنزلنا

“Maka
berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya
(Al-quran) yang telah kami turunkan.”
(QS.
at-Taghabun: 8)

Hakikat Nur Ilahi

Dalam
pembahasan sebelumnya, kita tahu bahwa setiap pancaran nur yang dihasilkan oleh
setiap sesuatu tentu memiliki silsilah atau mata rantai terhadap sumbernya
masing-masing sehingga dapat menghasilkan nur
. Seperti nur (cahaya) pada siang hari dipancarkan oleh nur
matahari, nur pada bulan dipancarkan oleh nur matahari, nur pada suatu ruangan
dipancarkan oleh nur lampu, nur pada ruangan gelap dipancarkan oleh nur senter,
dan sebagainya.

Terjadinya
silsilah seperti demikian rupa, tidak lain adalah berasal dari sumber pertama
kali yang memberikan serta menyumbangkan cahaya (nur) terhadap lainnya. Tidak
ada sumber lain yang mendahuluinya. Dan istilah nur selain bagi sumber yang
pertama hanyalah sebuah majaz, bukan hakikat. Imam al-Ghazali memberikan
ungkapan sebagai berikut:

“Apa
pandanganmu terhadap orang yang meminjam suatu pakaian, perabot, transportasi,
kemudian memakainya dengan menyewa
dari orang yang meminjamkan dan diberikan
jangka waktu tertentu. Siapakah yang sejatinya kaya? Orang yang meminjam atau
yang memberi pinjaman? Tidakkah orang yang meminjam itu sebenarnya orang yang
fakir (membutuhkan) dan orang yang meminjamkanlah yang kaya, karena sejatinya
dia yang memiliki barang tersebut dan mendapatkan upah?”

Ungkapan
yang diutarakan oleh beliau ini, memberikan suatu logika bahwa setiap sesuatu
yang kita pakai atau segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tidaklah abadi
atau hanya sekedar pinjaman belaka dan semua yang diberi pinjaman yaitu
berstatus faqir (butuh). Adapun yang memiliki status ghani (kaya)
adalah satu-satunya
Dzat
yang Maha Kaya.

Sudut Pandang Ilmu Mantiq

Jika
kita lihat dengan kacamata Ilmu Mantiq
, logika semacam itu sudah bisa
dibenarkan. Dalam membuktikan legalitas suatu kebenaran, hal
yang paling utama atau mendasar untuk diperhatikan adalah qadiyat
(proposisi).

Proposisi merupakan beberapa
susunan kalimat berita atau informasi yang mengandung nilai benar dan salah,
seperti berita mengenai keberadaan
rasul, malaikat, informasi bahwa angka satu merupakan setengah dari
delapan, dan lain-lain. Salah satu macam jenis dari proposisi adalah “Proposisi
Hipotesis”
(Qadiyat Syartiah), yaitu proposisi yang memuat satu
ketetapan hukum serta berkaitan dengan hukum lainnya yang berada dalam
proposisi lain, seperti:

إذا
كانت الشمس طالعة فالنهار موجود

“Jika
matahari telah terbit maka akan ada siang hari.”

Proposisi
pertama memberi kesimpulan bahwa matahari terbit, proposisi kedua
memberi kesimpulan bahwa ada siang hari. Dari kedua proposisi tersebut,
dapat dimengerti bahwa jika seandainya matahari tidak terbit, maka siang dan
pagi hari tidak akan ada, karena adanya suatu kelaziman yang terjadi antara
satu hukum dengan hukum yang lain.

Begitu
juga apa yang ada dalam alam semesta ini pada umumnya  dan diri kita masing-masing pada khususnya.
Segala keindahan yang menghiasi cakrawala, bumi hingga seisinya. Segala
kekuatan, kecerdasan, keterampilan yang kita miliki semuanya adalah suatu
keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri jika ada yang memberi, meminjami, dan
menciptakan. Dialah satu-satunya
Dzat yang Maha Kaya, yaitu Allah swt. Nur-Nyalah yang mengisi di setiap
ruang dan waktu dalam alam semesta ini. Tidak ada satu pun makhluk yang luput
dari Nur-Nya. Imam
al-Ghazali memberi analogi sebagai berikut:

“Di saat kita melihat dedaunan berwarna
hijau pada siang hari yang terik, maka tidak lain kita hanya melihat sosok daun
tersebut dengan warna hijau. Namun ketika matahari mulai terbenam, terdapat
perbedaan yang mencolok pada saat kita melihat daun tersebut. Yang semula kita
melihat hanya sebatas sosok daun yang berwarna hijau, menjadi ada sosok lain
yang mengiringi dedaunan tersebut, yaitu bayangan daun.  Sehingga nampak suatu area yang berbeda antara
tempat yang terkena cahaya dan tempat bayangan (tidak terkena cahaya). Cahaya
yang berada di daun dapat diketahui karena adanya bayangan yang mengiringinya.
Sebaliknya, pada siang hari yang terik cahaya pada daun tidak dapat diketahui
karena saking dekatnya dengan daun tersebut.”

Demikianlah
kondisi Nur Ilahi-Nya dalam memenuhi alam semesta ini. Nur-Nya yang dekat
sekali dengan setiap ciptaan-Nya hingga tidak dapat dijangkau dengan kasat
mata. Itulah mengapa setiap nabi serta para kekasih-Nya selalu merasa dekat dengan
kehadiran-Nya.
Mereka
semua sadar bahwa dalam dirinya masing-masing terdapat Nur Ilahi yang tidak
boleh dinodai. Begitu juga setiap orang mukmin yang pandangannya
atas segala sesuatu tidak pernah luput dari kehadiran-Nya. Sebagaimana firman Allah swt:

سنريهم
أياتنا في الأفاق و فيۤ أنفسهم

“Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada
 diri
mereka sendiri.”
(QS. Fushshilat: 53)

Berbeda
dengan kondisi orang-orang kafir yang tidak merasakan dan jauh dari Nur
Keilahian-Nya. Maha Suci Allah Tuhan
semesta alam. Wallahu a’lam.

Kontributor