Pola
dakwah Islam cenderung bergeser setiap zamannya. Tiap masa, para da’i mempunyai
tantangan dan rintangan yang berbeda dalam menyebarkan ajaran Islam sebagai
agama rahmat. Mereka mengemban misi untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang
toleran, moderat dan rahmatan lil ‘âlamîn.
Saat
ini, istilah Islam Moderat (washatiyyah) menjadi jargon populer di kalangan kyai,
ulama, ustadz, da’i, bahkan peneliti di dunia Islam dalam menyebarkan nilai tawassut
(jalan tengah), tawâzun (seimbang), i’tidâl (lurus), tasâmuh
(toleran) dan musâwah (egaliter). Hal tersebut dilandasi konsepnya yang
sejalan dengan tujuan hidup manusia. Yaitu hidup bahagia di lingkungan
keluarga, sekolah, masyarakat, institusi maupun tempatnya bekerja.
Islam
Moderat mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak. Bahkan Grand Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Tayyib melakukan banyak kunjungan ke berbagai
negara Islam, termasuk Indonesia dalam mengkampanyekan moderasi Islam. Pada
tahun 2018 saat acara ‘Silaturahmi Akbar Ulama’ yang berlangsung di hotel Alila
Solo, beliau menyampaikan:
“Eksperimen keislaman Indonesia sangat
menarik. Keragamannya luar biasa tapi menyatu dalam satu bangsa. Negara ini
mayoritas muslim tapi mampu mempertahankan keutuhan bangsa. Indonesia harus
menjadi contoh Islam rahmatan lil âlamîn.”
Kita
patut berbangga dengan statement Grand Syaikh Al-Azhar. Namun kita tidak boleh
lengah dengan merebaknya ‘gempuran’ pemahaman intoleran yang dapat memicu sikap
radikalisme dalam beragama. Seyogyanya kita mendirikan benteng perlindungan
yang kokoh terutama kepada generasi milenial yang sering menjadi obyek ‘serangan’
mereka.
Melalui
laman okezone.com, Budi Gunawan menyampaikan
hasil survei yang diperoleh Badan Intelijen Negara (BIN). Pada tahun 2017,
ada 39% mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia
telah terpapar paham-paham radikal. Sebanyak 24% mahasiswa dan
23,3% pelajar tingkat SMA juga setuju dengan jihad untuk
tegaknya negara Islam atau khilafah.
Fakta
tersebut menjadi keprihatikan bersama. Mereka menjadi sasaran empuk para oknum
yang tidak bertanggunjawab melalui kajian ‘berlabel Islam’ maupun dengan
platform digital dalam menyebarkan perbedaan, perselisihan, dan berujung radikal. Pola penyebaran paham semacam ini sangat latah digunakan, ditambah mudahnya
memperoleh informasi melalui media sosial.
Lebih
parahnya, banyak generasi milenial yang terinspirasi cara beragama secara
instan. Baik melalui kajian yang diupload lewat kanal YouTube, artikel dengan ajakan
perselisihan, hingga pesan-pesan singkat di laman Facebook dengan label ayat
al-Qur’an maupun hadis Nabi.
Transmisi
Islam Moderat ke Generasi Milenial
Hal
di atas menjadi ujian tersendiri bagi da’i, kyai, ulama dan para asâtidz
dalam menyebarkan nilai-nilai Islam kepada pemuda ‘zaman now’. Mereka banyak
yang ‘melek’ agama melalui platform-platform digital, baik media sosial seperti
Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, status Whatsapp maupun laman web.
Fakta
tersebut dikuatkan melalui penelitan M. Hatta (PDF). Ia menyampaikan: “Dalam satu hari, siswa minimal
menghabiskan waktu 4 jam lebih untuk berselancar di media sosial. Umumnya siswa
menyukai tausiyah dari para ustad atau ulama yang dikaguminya. Antusiasme siswa
belajar agama dari para ustadz pilihannya di media sosial ini, terkadang juga
dilandasi oleh kekaguman yang berlebihan dan bahkan cenderung pada kultus
individu.”
Dengan
demikian, transmisi pemahaman agama harus merubah pola penyebarannya. Jika
penggunaan gadget menjadi kebutuhan primer dalam menelaah agama, para da’i juga
dituntut untuk melek teknologi agar dakwah Islam tetap hidup melalui platform
digital, khususnya media sosial. Toh para pendakwah ketika menggunakan media
ini yang terpenting tetap berpegung pada firman Allah dalam Q.S. An-Nahl ayat 125:
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik…”
Allah tidak membatasi para da’i menggunakan media dakwah. Justru
Allah membuka seluas-luasnya dalam menyebarkan dakwah Islam, salah satunya
melalui pemanfaatan teknologi berbasis media sosial. Maka sebutan da’i tidak
terbatas bagi pendakwah yang dapat berorasi di hadapan jamaah, tapi juga bagi
mereka yang bisa bermanuver lewat media sosial.
Pintu-pintu ini dibuka agar
nilai-nilai pada Islam moderat dapat dikonsumsi oleh generasi milenial. Hal
tersebut didukung dengan pendekatan para da’i dengan berselancar di media social
dalam dakwah Islam.
Contohnya melalui kanal YouTube,
mereka dapat membuat konten tentang perbedaan hari dalam perayaan momen
lebaran. Di dalamnya sikap toleran antar pemain ditonjolkan dengan kreatifitas
semenarik mungkin agar para pemuda milenial mau menontonnya. Video ini kemudian
dishare dan dapat diakses oleh semua kalangan.
Melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram dan
WhatsApp, mereka bisa mengeshare kata-kata bijak dari ayat al-Qur’an atau hadis
dengan pemahaman yang benar tentang Islam moderat. Contohnya mengeshare QS. Al-Baqarah
(2) ayat 143 dengan mencantumkan bahwa ayat ini memberikan isyarat untuk
membentuk masyarakat yang hidup harmonis. Kata Al-wasath
adalah ciri keunggulan masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an karena sifatnya
yang moderat dan berdiri di tengah-tengah sehingga dapat dilihat oleh semua
pihak.
Bentuk transmisi lainnya bisa
melalui tulisan ringan berbentuk artikel, esai, kolom dan lain sebagainya. Banyak
media online yang menyediakan tulisan-tulisan yang sarat dengan nuansa moderat
dalam beragama seperti platform sanadmedia.com. Setiap update tulisan baru, mereka
bisa sharing di jejaring sosial yang dimiliki dengan menambahkan kata-kata
penguat agar generasi milenial mau membacanya.
Tentu pembuatan video di YouTube,
tulisan maupun pesan-pesan singkat di media sosial harus memperhatikan kaidah-kaidah yang
berlaku. Kehati-hatian ini untuk menghindari masalah di kemudian hari. Di
samping itu, para da’i juga mengedepankan aspek isinya yang berbobot namun
mudah untuk dicerna generasi milenial.
Saat ini, transformasi ilmu secara
instan memang lagi digandrungi para ‘santri tanpa nyantri’. Tapi mau bagaimana
lagi, kecanggihan teknologi tidak bisa dihindarkan. Sudah saatnya para da’i milenial tidak kalah dengan generasi milenial. Toh di antara mereka merupakan
bagian dari generasi tersebut. Harapannya, semoga para da’i milenial ini yang
nanti mampu menghindarkan mereka dari radikalisme ekstrimisme bahkan terorisme. Sehingga Indonesia tetap diapresiasi menjadi
negara yang baldatun tayyibatun wa rabbun ghafûr. Wallâhu a’lam.