Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Warisan konflik politik dari Karbala

Avatar photo
37
×

Warisan konflik politik dari Karbala

Share this article

Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi pada momentum 10 Muharram, bagi saya yang paling menjadi pengingat agar tidak terlupa adalah tentang seorang cucu kesayangan Kanjeng Nabi pun pernah menjadi korban dalam kontestasi politik praktis. Agar selalu diingat, bahwa menumpahkan darah sesama muslim hanya demi jabatan dan/atau kekuasaan, sudah berlangsung sejak lama. Jadi tidak perlu heran jika 2024 kelak, strategi politik identitas agama akan kembali diulang.

10 Muharram juga tercatat menjadi hari wafatnya Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib, salah satu cucu kesayangan Kanjeng Nabi. Peristiwa ini terjadi di Karbala, yang sekarang terletak di Iraq, dan menjadi salah satu kota suci bagi pengikut Syiah. Peristiwa 10 Muharram ini menjadi peringatan rasa sakit yang luar biasa bagi para pengikut Syiah, salah satu ritual perayaan 10 Muharram bagi pengikut Syiah fanatik adalah menyisa diri, sebagaimana tersiksanya Sayyidina Husain beserta 70 pengikut setianya tersiksa di Perang Karbala, 10 Muharram 61 Hijriyah. Perang ini bukan lah perang yang melibatkan pasukan besar, hanya serombongan pengikut Sayyidina Husain yang dihadang oleh pasukan gubernur Kuffah, Ibn Ziyad, karena Sayyidina Husain menolak untuk tunduk (berbaiat) kepada Khalifah penerus Dinasti Ummayyah, Yazid bin Muawiyyah bin Abi Sufyan. Meski tidak melibatkan pasukan besar, tetapi korbannya adalah seorang tokoh besar, dan dampaknya cukup besar bagi pemahaman agama para pengikut Syiah. Dan yang paling perlu diingat adalah, perang ini adalah perang antara sesama umat muslim, sama-sama menyembah Allah, sama-sama bersaksi bawah Kanjeng Nabi adalah utusan Allah.

Syiah bagi saya pribadi pada awalnya adalah sekedar pendukung fanatik salah satu kandidat pemimpin, Sayyidina Ali bin Abi Thalib (karramallahu wajhah). Dan berawal dari hl tersebut, ajaran agama dalam kalangan Syiah kemudian dikembangkan untuk terus mendukung fanatisme pilihan politiknya. Tentunya ini baru dari satu sisi, masih banyak sisi lain yang tak mungkin cukup untuk sekedar jadi bahan rasan-rasan di status FB. Tapi sisi politik Syiah ini bagi saya cukup dominan untuk menjadi titik balik adanya salah satu sekte besar dalam agama Islam yang sering dikafirkan, dan dianggap musuh oleh sesama umat Islam. Saya sendiri termasuk orang yang menolak mengafirkan Syiah sebagaimana sikap guru-guru saya di Al-Azhar.

Peperangan Karbala pada 10 Muharram semakin memperuncing persaingan politik antara pendukung fanatik Sayyidina Husain dan lawan politiknya. Syiah awalnya adalah pendukung fanatik Sayyidina Ali, lalu meneruskan dukungannya kepada sang putra: Sayyidina Husain. Lawan politik pada waktu tersebut adalah Yazid, putra Muawiyah, sekaligus cucu Abu Sufyan. Dan bisa jadi, peristiwa Karbala adalah salah satu warisan konflik dari masa para kakek tokoh-tokoh politik pada masa tersebut. Abu Sufyan, sebelum masuk Islam adalah salah satu pemimpin di Klan Qurasy yang tersohor dan memiliki pengaruh cukup besar. Abu Sufyan mewakili Keluarga Ummayah dalam struktur Klan Quraisy, klan terbaik bangsa Arab. Pesaing ketatnya adalah keluarga (Bani) Hasyim.

Persaingan antara dua keluarga ini dimulai saat leluhur kedua keluarga, Qusayy meraih pengaruh dan tenar menjadi sorang penjaga Ka’bah, sekaligus menjadi pemimpin Klan Quraisy. Setelah Qusayy meninggal, kepemimpinan diserahkan kepada putranya, Abdul Manaf, dan putra Abdul Manaf yang bernama Hasyim dinobatkan sebagai penjaga Ka’bah. Hal ini diteruskan oleh putra Hasyim: Abdul Muthollib, dengan senioritas dan kepemimpinannya membuat Bani Hasyim jadi sangat berpengaruh di Klan Quraisy. Namun sepeninggal Abdul Muthollib, kepemimpinan kemudian diserahkan kepada Harb bin Umayyah, ayah dari Abu Sufyan, sekaligus cucu dari Abdus Syams, saudara laki-laki Hasyim. Persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah ini juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Abu Sufyan sangat memusuhi Kanjeng Nabi, karena Kanjeng Nabi berasal dari Bani Hasyim, dengan sosok yang begitu sempurna, plus menjadi seorang pemimpin agama, akan memangkas habis pengaruh Bani Umayyah.

Persaingan antara kedua keluarga ini terus berlanjut, bahkan perang Badar, salah satu perang yang paling fenomenal bagi umat Muslim, juga terjadi karena konflik dengan Abu Sufyan. Perang Badar menjadi kekalahan telak bagi orang Quraisy, 70an meninggal di medan perang, 70an menjadi tawanan. Dan celakanya, beberapa kerabat dekat Abu Sufyan termasuk yang meninggal: Handzalah (anak), Utbah (ayah mertua), dan Walid (saudara ipar). Bahkan Abu Sufyan berjanji untuk tidak menggunakan minyak rambut dan menikmati kebersamaan dengan para wanita sebelum bisa membalas dendam kepada Kanjeng Nabi atas kematian saudara-saudaranya. Sumpah ini terpenuhi saat tentara Quraisy berhasil mengalahkan tentara Muslim di Perang Uhud.

Kontestasi politik praktis ini terus diwarisi hingga Abu Sufyan sudah masuk Islam. Peristiwa Tahkim, pemakzulan Sayyidina Ali dari jabatan Khalifah, lawan politiknya adalah Muawiyah, gubernur wilayah Syam sejak jaman Sayyidina Umar bin Khattab. Sayyidina Ali adalah menantu Kanjeng Nabi, suami dari Sayyidatina Fatimah Az-Zahra, dan Muawiyyah adalah putra Abu Sufyan. Peristiwa Tahkim (Arbritase) dari kubu Muawiyah yang penuh intrik, yang diwakili oleh Amr bin Al-Ash, telah berhasil memakzulkan Sayyidina Ali dan mengangkat Muawiyah sebagai Khalifah. Bahkan rakyat Kuffah mengaku berbaiat pada Muawiyyah. Meski Sayyidina Ali tidak setuju dengan hasil Tahkim, namun lebih dahulu terbunuh oleh seorang pengikut Khawarij fanatik bernama Abdurrahman bin Muljam, seorang penghafal Al-Qur’an, berjidat hitam, tapi memiliki sikap dan pandangan politik yang ekstrem.

Konflik dan kontestasi kemudian diwarisi oleh generasi berikutnya: Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan dan Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Salah satu legitimasi kepemimpinan dan kekuasaan pada jaman itu adalah berupa adanya baiat, atau dalam bahasa lain “bend the knee” pada khalifah terpilih/dipilih/diwarisi jabatan. Sehingga adanya tokoh besar kelompok politik yang berseberangan, selalu akan menjadi ancaman. Terlebih dengan pengikut fanatik, dan berbagai landasan (dan motivasi) keagamaan. Mungkin memang benar kata para ahli, agama adalah salah satu alat politik yang paling cepat untuk menuju kepentingan politik.

Konflik dalam kontestasi politik semacam ini memang sesuatu yang bisa diwarisi, diwariskan, atau bahkan direproduksi maknanya agar menjadi motivasi untuk peristiwa-peristiwa politik setelahnya. Sebagaimana revolusi Iran yang konon juga didasari atas semangat Peristiwa Karbala. Indonesia, dengan potensi konflik yang begitu besar, jika tanpa pengelolaan dan dasar kuat (terutama agama) untuk menjaga keutuhan, akan sangat mudah menjadi korban-korban politik identitas agama.

Ini sekedar catatan kecil dari berbagai peristiwa besar pada tanggal 10 Muharram. Dan sengaja saya menulis tentang peristiwa yang penuh dengan darah-darah yang mulia, darah sesama muslim yang seharusnya sama-sama dijaga, terlebih darah cucunya Kanjeng Nabi. Catatan ini bukan pembelaan untuk golongan Syiah. Tapi catatan ini adalah pengingat bagi siapa saja yang menempuh jalan politik praktis, agar tidak perlu menumpahkan darah sesama muslim, dan agar politiknya umat Muslim adalah untuk kemaslahatan umat, bukan kepentingan salah satu kelompok, atau tokoh. Utopia kah? Namanya juga berbicara idealisme, toh yang akan terjadi selalu sesuatu yang paling realistis di antara berbagai kenyataan yang miris. Dan tentunya tidak perlu baper dalam menghadapi berbagai peristiwa politik di jaman modern seperti sekarang.

Satu hal lagi, jangan sampai hanya membela tokoh atau kelompok yang hanya mementingkan kepentingan area perut dan sekitarnya.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta