Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah Al-Azhar menerima pertanyaan dari seseorang terkait penamaan masjid dengan nama orang. Dia diwasiati ayahnya agar membangun masjid di sepetak tanah pribadi kemudian memberi nama masjid itu dengan namanya.
Dia bercerita bahwa dirinya dilarang oleh banyak orang dengan alasan bahwa masjid milik Allah semata-mata dan siapapun tidak boleh berbuat demikian. “Saya ingin meminta penjelasan hukum atas perkataan tersebut?” kata penanya.
Akademi Riset Islam Al-Azhar itu pertama-tama menegaskan bahwa wasiat ayahnya tadi harus dilaksanakan dalam sepertiga hartanya. Di dalam wasiat itu ada kebaikan untuk si ayah sepeninggalnya.
Islam menganjurkan pembangunan masjid dan menerangkan sekian banyak keutamaan yang akan diperoleh dari perbuatan baik semacam itu. Banyak nash menegaskan anjuran dan keutamaan dari membangun masjid.
Baca juga: Hati-hati Menggunakan Fasilitas Masjid
Diriwayatkan dari Utsman bin Affan bahwa dia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
من بنى لله مسجداً بنى الله له بيتاً في الجنة
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, niscaya Allah akan membangun rumah untuknya di surga.” (Muttafaq ‘alaih)
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda,
من بنى لله مسجداً صغيراً كان أو كبيراً بنى الله له بيتاً في الجنة
“Barang siapa membangun masjid karena Allah, baik kecil ataupun besar, niscaya Allah membangun rumah untuknya di surga.”
Komisi Fatwa dalam Majma’ Al-Buhuts Al-Azhar itu menerangkan bahwa menamai masjid dengan nama orang itu seperti dalam kasus wasiat di atas, diperbolehkan menurut syariat. Penamaan di sini bersifat tamyiz (pembedaan) bukan tamlik (pemilikan).
Artinya, sang ayah tidak memiliki masjid tetapi masjid yang dibangun atas wasiatnya tadi dibedakan dari masjid-masjid yang lain oleh sebab pembubuhan nama dia yang telah meninggal dunia di sana. Adapun bagi orang yang masih hidup, yang lebih utama adalah tidak perlu menamai masjid yang dibangunnya dengan nama dirinya demi menyelamatkan dirinya dari riya.
Komisi Fatwa dalam Majma’ Al-Buhuts Al-Azhar itu kemudian menunjukkan bahwa menamai masjid dengan nama orang sebenarnya pernah terjadi pada masa awal-awal Islam da tidak diingkari atau ditolak oleh siapapun juga. “Hal ini menunjukkan kebolehannya.” tandasnya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abdullah bin Abdur Rahman meriwayatkan,
جاءنا النبي صلى الله عليه وسلم فصلى بنا في مسجد بني عبد الأشهل فرأيته واضعاً يديه على ثوبه إذا سجد
“Rasulullah SAW mendatangi kami kemudian beliau shalat mengimami kami di masjid Bani Abdul Asyhal. Aku melihat beliau meletakkan tangan pada bajunya ketika bersujud.”
Kemudian Ad-Darimi meriwayatkan dari Ibnu Umar,
أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مسجد بني عمرو بن عوف فدخل الناس يسلمون عليه وهو في الصلاة قال فسألت صهيباً كيف كان يرد عليهم قال هكذا وأشار بيده
“Rasulullah SAW memasuki masjid Bani Amr bin Auf, lalu orang-orang masuk ke dalamnya dan mengucapkan salam kepada beliau yang tengah shalat. Lalu aku bertanya kepada Shuhaib bagaimana beliau menjawab salam mereka. Shuhaib berkata, ‘Seperti ini (Nabi berisyarat dengan tangannya).'”
Dalil-dalil di atas menunjukkan bagaimana penamaan masjid dinisbatkan kepada pemiliknya atau orang yang membangunnya atau bahkan orang yang turut serta dalam proses pembangunannya. Ada masjid Bani Abdul Asyhal dan ada masjid Bani Amr bin Auf.
Baca juga: Bolehkah Menulis Ayat Al-Qur’an di Dinding Masjid?
Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih Al-Bukhari membuat bab tersendiri dengan judul Bab Hal Yuqalu Masjid Bani Fulan (Bab Bolehkah Dikatakan Masjid Bani Fulan?).
Ibnu Hajar Al-Asqalani penulis syarah kitab hadits tersebut menulis komentar sebagai berikut:
Dalam (Bab Bolehkah Dikatakan Masjid Bani Fulan?), Imam Al-Bukhari memasukkan hadits riwayat Ibnu Umar tentang musabaqah (kompetisi) di mana di dalamnya terdapat redaksi yang berbunyi, “hingga masjid Bani Zuraiq”.
Dapat diambil kesimpulan bahwa menyambungkan (memfrasekan) masjid kepada orang yang membangunnya atau orang yang dikenal terbiasa shalat di sana itu diperbolehkan. Kebolehan ini disusul dengan kebolehan menyambungkan amal kebaikan apapun kepada pelakunya.
Ibnu Hajar melanjutkan bahwa Imam Al-Bukhari membuat judul bab dengan nada pertanyaan karena bermaksud mengingatkan akan adanya kemungkinan lain. Boleh jadi, penamaan masjid dengan nama orang sudah diketahui oleh Rasulullah SAW di mana kebiasaan seperti ini memang sudah terjadi pada masa hidup beliau. Dan boleh jadi pula hal itu baru terjadi sepeninggal beliau.
“Kemungkinan pertama ini yang lebih kuat,” kata Ibnu Hajar, “Dan jumhur ulama memperbolehkan.”
Namun ada pula ulama yang tidak memperbolehkan. Seperti Ibrahim An-Nakha’i, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah bahwa Ibrahim tidak senang (makruh) berkata, “Masjid Bani Fulan,” berdasarkan firman Allah,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-Jinn [72]: 18)
Akan tetapi jawaban dari penolakan di atas menurut Ibnu Hajar adalah bahwa menyambungkan masjid dengan nama orang itu dimaksudkan untuk membedakan bukan menunjukkan kepemilikan.
Imam An-Nawawi mengatakan, “Tidak masalah menyebut masjid Bani Fulan yang dibangun oleh yang bersangkutan dengan tujuan mengenalkan (orang yang membangunnya).”
Mengenai ayat di atas, Imam Al-Qurthubi menafsirkan bahwa masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah sehingga janganlah kalian menyembah selain Allah.
Beliau mengutip Said bin Jubair yang berkata, “Masjid-masjid itu dibangun untuk mengingat Allah dan taat kepada-Nya.”
Imam Ibnul Arabi mengatakan, “Masjid-masjid itu meski milik Allah secara kepemilikan, dapat dinisbatkan kepada seseorang sebagai upaya mengenalkan.”
Dalam kesimpulan fatwanya, Komisi Fatwa Majma’ Al-Buhuts Al-Azhar itu menegaskan bahwa menamai masjid dengan nama orang itu tidak dilarang syariat dan tidak mengurangi pahalanya. Wallahu a’lam.