Ada seorang pengidap penyakit kanker darah di Jepang yang tengah menjalani terapi penyembuhan. Dalam terapi tersebut, setidaknya ia harus menyuntikkan obat sebanyak 2 kali sehari, termasuk obat Heparin (obat anti koagulan).
Ia juga rutin melakukan transfusi darah, sehingga ia sering mendapatkan darah dari para pendonor nonmuslim. Heparin tersebut berasal dari ekstrak organ babi. Apakah pengobatan ini halal atau tidak?
Menanggapi pertanyaan ini, Darul Ifta Mesir memberikan jawaban sebagaimana yang dipublikasikan dalam situs resminya:
Pertama: Transfusi darah dari nonmuslim ataupun sebaliknya diperbolehkan dan tidak ada dosa di dalamnya, karena hal ini dalam konteks pengobatan, sedangkan berobat merupakan hal yang dianjurkan oleh syara’.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Usamah bin Syarik RA, ia mengatakan: “Aku mendatangi Nabi SAW dan para sahabat, seolah-olah di atas kepala mereka terdapat burung. Lalu aku mengucapkan salam dan duduk. Kemudian ada seorang Arab Badui datang, dan bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَتَدَاوَى؟ قَالَ: ” تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلَّا وَوَضَعَ لَهُ دَوَاءً، غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ: الْهَرَمُ
“Wahai Rasulullah SAW, apakah boleh kami berobat?” kemudian beliau bersabda: “Berobatlah, sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan penyakit melainkan menciptakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu pikun.”
Baca juga: Darul Ifta Jelaskan Daging Impor Terutama Jika Disembelih Nonmuslim
Hadits ini menunjukkan adanya anjuran untuk berobat secara mutlak, tanpa ada batasan tertentu. Dan juga selaras dengan hadits ini ada kaedah fiqih yang berbunyi:
المطلق يجري على إطلاقه حتى يرد ما يقيده
“Sesuatu yang bersifat mutlak, tidak terbatas, maka akan tetap mutlak selama tidak ada dalil yang mengindikasikan pembatasan makna (Taqyid).”
Al-Khaththabi mengatakan dalam kitab Ma’alim As-Sunan, 4/217, cetakan Al-Mathba’ah Al-‘Ilmiyyah, Aleppo, bahwasanya dalam hadits ini mengandung ketetapan diperbolehkannya berobat.
Kedua: Jika Heparin merupakan obat yang mengandung bahan dari ekstrak babi untuk katalisator (pemercepat suatu reaksi kimia), dan telah bertransformasi secara kimia menjadi sebuah obat, maka tidak ada larangan secara syara’ untuk menggunakan obat tersebut, karena dalam keadaan ini telah terjadi perubahan unsur-unsur alami babi ke dalam bentuk alami lainnya.
Sementara itu, perubahan seperti ini dianggap sebagai salah satu sarana dalam mensucikan najis. Dasar dari anggapan ini adalah Qiyas, yakni proses khamr menjadi cuka dengan sendirinya mengakibatkan kesucian zat tersebut.
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Al-Majmu’, 2/596, cetakan Maktabah Al-Irsyad, Bada`i’ Ash-Shana`i’, 10/452, cetakan Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, dan Mawahib Al-Jalil, 1/317, cetakan Dar Al-Fikr.
Baca juga: Benarkah Orang Murtad Harus Dihukum Mati?
Adapun jika bahan materi ini tidak mengubah status kenajisan ekstrak babi, maka bolehnya menggunakan obat tersebut jika memang tidak ada opsi obat lainnya dalam ilmu kedokteran moderen. Atau ada obat lainnya namun kurang memenuhi kebutuhan pengobatan, karena dalam keadaan darurat (mendesak), sesuatu yang diharamkan menjadi boleh digunakan.
Allah SWT berfirman:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
“Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa,” (Al-An’am: 119)
Dan juga firman-Nya:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya), bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Penyayang.” (Al-Baqarah: 173)
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa meski diperbolehkan dalam keadaan darurat, tetap harus sesuai dengan kebutuhan, tidak boleh lebih. Seperti dalam kaedah fiqih yang berbunyi:
ما أبيح للضرورة يقدر بقدرها
“Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, maka harus sesuai kadar kebutuhannya.”
Karena darurat merupakan dasar diperbolehkannya sesuatu yang terlarang. Jadi apabila konsumsi melebihi kebutuhan, maka gugurlah kedaruratan tersebut, dan kembali ke hukum semula, yaitu haram.
Wallahu A’lam.