Darul Ifta Mesir menjelaskan tentang hukum shalat berjamaah di rumah bagi orang yang sudah terbiasa melangkahkan kaki ke masjid. Terutama soal status pahalanya, apakah pahala shalat jamaah di rumah sama dengan berjamaah di masjid?
Awalnya ada orang bertanya kepada Darul Ifta. Dia bercerita bahwa dirinya sudah terbiasa pergi ke masjid untuk shalat berjamaah. Ketika sedang sakit dia tetap berusaha pergi ke masjid. “Namun ketika sakit parah, saya terpaksa salat berjamaah di rumah dengan istri.” kata dia. “Apakah pahala jamaahku di rumah sama dengan bila shalat jamaah di masjid?”
Darul Ifta menjelaskan bahwa banyak sekali nash yang menunjukan keutamaan shalat jamaah di masjid. Pahalanya tidak hanya diperoleh dari salat jamaahnya saja, melainkan juga dari langkah kakinya ketika berangkat dan pulang dari masjid. Sebagaimana sabda Nabi saw.:
مَنْ غَدَا إلى المَسْجِدِ أَوْ رَاحَ، أعَدَّ اللَّهُ لَهُ فِي الجَنَّةِ نُزُلًا كُلَّمَا غَدَا أوْ رَاحَ
“Barang siapa pergi ke masjid pada waktu pagi atau sore hari, maka Allah menyediakan untuknya suatu hidangan—yang lazim diberikan untuk tamu—di surga, setiap kali ia pergi pagi atau sore hari itu.” (Muttafaq alaih)
Sementara redaksi hadits yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim berbunyi:
كانت خطواته إحداها تحط خطيئة والأخرى ترفع درجة
“Salah satu langkah kakinya dapat menghapus dosanya dan langkah kaki yang lain dapat mengangkat derajatnya.”
Kaitannya dengan pahala yang diperboleh dari shalat berjamaah yang dilakukan seseorang dengan istrinya di rumah, Lembaga Fatwa Mesir itu menyatakan bahwa menurut pendapat yang rajih (unggul) dan yang dijadikan fatwa, hanya untuk orang-orang yang memiliki udzur, dari pendapat kalangan Hanafiyah, shalat jamaah di rumah tetap memberikan pahala jamaah bagi yang melakukannya. Artinya, yang memungkinkan untuk berangkat ke masjid, tetap dianjurkan shalat jamaah di sana.
Baca juga: Fatwa Al-Azhar Soal Anak Kecil Jadi Imam Shalat
Menurut kalangan Hanafiyah, shalat jamaah di rumah tetap memberikan pahala jamaah bagi yang melakukannya. Karena dalam salat jamaah, makmum tidak disyaratkan harus laki-laki kecuali dalam shalat Jum’at.
Darul Ifta mendasarkan fatwanya antara lain pada pendapat Ibnu Abidin al-Hanafi yang mengatakan:
لو جمع بأهله لا يكره وينال فضيلة الجماعة، لكن جماعة المسجد أفضل
“Kalau seseorang shalat berjamaah dengan keluarganya, maka tidak dimakruhkan dan ia juga tetap memperoleh pahala jamaah. Namun jamaah di masjid tetap yang lebih utama.”
Kemudian di antara dalil kebolehan seorang laki-laki shalat berjamaah di rumah menurut madzhab Hanafi adalah bahwa shalat jamaah paling sedikit dapat dilakukan oleh dua orang yang terdiri dari imam dan satu makmum. Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi saw:
الإثنان فما فوقهما جماعة
“Dua orang atau lebih adalah jamaah.”
Jamaah adalah bentuk Ism mashdar dari lafal yang memiliki makna kata ijtima’ (berkumpul). Jumlah minimal jamaah adalah dua, baik teman jamaahnya adalah laki-laki, perempuan atau anak kecil yang sudah mumayyiz. Karena Rasulullah saw. hanya menyebutkan bilangan dua secara mutlak sudah terhitung sebagai jamaah. Agar bisa dianggap sebagai shalat jamaah, salah seorang harus menjadi imam.
Baca juga: Aturan Qadha Shalat dan Puasa untuk Orang yang Sudah Meninggal
Mengenai tata cara shalat jamaah, posisi makmum perempuan tidak boleh sejajar dengan makmum laki-laki. Ia harus berdiri di belakang makmum laki-laki atau memberi jarak bila keduanya shalat dalam posisi bersebelahan.
Imam Al-Kasani, seorang ulama mazhab Hanafi berkata, “Pegangan kami adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik ra. bahwa ia berkata:
أقامني النبي صلى الله عليه وآله وسلم واليتيم وراءه وأقام أمي أم سليم وراءنا
“Rasulullah saw. menggeserku dan seorang anak yatim untuk berdiri di belakang beliau, lalu beliau menggeser posisi ibuku ummu Sulaim untuk berdiri di belakang kami.”
Hadits tersebut menurut madzhab Hanafi menunjukan tidak bolehnya makmum laki-laki dan perempuan berdiri sejajar dalam shafnya. Bila keduanya sejajar, maka dapat merusak status shalat makmum laki-laki.
Oleh sebab itu, Rasulullah saw. memposisikan makmum perempuan di belakang kedua makmum laki-laki, serta beliau melarang seorang perempuan shalat sendirian di belakang shaf (tidak berjamaah). Nabi melakukan itu agar dua makmum laki-laki tersebut tidak batal dalam shalat berjamaah.