Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Fatwa Darul Ifta Tentang Uji Klinis Vaksin Covid-19

Avatar photo
24
×

Fatwa Darul Ifta Tentang Uji Klinis Vaksin Covid-19

Share this article

Darul Ifta Mesir mengeluarkan fatwa terbaru tentang masalah uji klinis vaksin dengan melakukan eksperimen medis pada tubuh manusia. Organisasi Kesehatan Dunia mendefinisikan uji klinis (clinical trial) sebagai evaluasi aktual untuk menciptakan obat-obatan terbaru dengan mengujikannya pada tubuh manusia.

Fatwa Darul Ifta ini berkenaan dengan pertanyaan dari seseorang terkait uji klinis vaksin Covid-19 pada tubuh seseorang. Pusat-pusat penelitian dengan perusahaan internasional bekerja sama menemukan obat yang tepat untuk menyelamatkan manusia dari pandemi ini. “Apakah uji klinis pada tubuh manusia diperbolehan syariat?” demikian dikutip dari situs resminya Selasa (15/9).

Darul Ifta menyatakan bahwa pemeriksaan kesehatan secara keseluruhan sejalan dengan anjuran syariat untuk berobat dan berikhtiar mencari kesembuhan. Abu Daud dan Al-Baihaqi meriwayatkan dalam kitab As-Sunan masing-masing, serta Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إنَّ الله عز وجل أنزل الداء والدواء، وجعل لكل داء دواء، فتداووا، ولا تداووا بحرام

“Allah SWT menurunkan obat dan penyakit, dan Dia menjadikan untuk setiap penyakit obatnya. Maka berobatlah kalian dan janganlah berobat dengan sesuatu yang haram.”

Baca juga: Tata Cara Shalat Bagi Tenaga Medis Covid-19

Kemudian dalam Musnad Al-Imam Ahmad, diriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah SAW bersabda,

إنَّ الله لم ينزل داءً إلا أنزل له شفاءً، عَلِمه مَن عَلِمه، وجهله مَن جهله

“Allah tidak menurunkan suatu penyakit melainkan Dia juga menurunkan obat untuknya. Mengetahuilah orang yang mengetahuinya dan tidaklah mengetahui orang yang tidak mengetahuinya.”

Menurut Lembaga Fatwa Mesir itu, hukum melakukan eksperimen medis pada seseorang tergantung pada adanya verifikasi terhadap sejauh mana efek bahaya yang ditimbulkan pada tubuh. Jika menimbulkan bahaya permanen bagi kehidupan seseorang atau fungsi salah satu anggotanya, maka uji klinis semacam ini dilarang oleh syariat.

Contohnya adalah seperti uji coba obat yang dilakukan untuk mengetahui efek samping atau untuk mengetahui sejauh mana potensi bahaya dari penggunaan beberapa zat berbahaya dan mematikan, atau beberapa racun. “Dengan alasan syariat Islam melarang segala sesuatu yang menyebabkan kerusakan tubuh dan hilangnya nyawa,” tandasnya.

Islam memerintahkan seseorang untuk melindungi nyawa dan tubuhnya dari segala sesuatu yang merusak dan membahayakan serta melarang seseorang untuk bunuh diri atau menjatuhkan dirinya dalam mara bahaya.

Baca juga: Al-Azhar Keluarkan Buku Panduan Hidup Baru di Masa Pandemi

Darul Ifta menukil pernyataan Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat bahwa setiap orang bahkan jika dia memiliki kehendak bebas-berkaitan dengan dirinya -dibatasi dengan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَأَحْسِنُوا إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 195)

Kemudian dalam ayat lain, Allah SWT berfirman,

وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا

“Dan jangan kamu membunuh diri-diri kamu, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih kepadamu.” (QS. an-Nisa’ [4]: 29)

Imam Al-Baidawi dalam tafsirnya menyatakan bahwa Allah SWT melarang kita membunuh dan merusak diri sendiri dengan melakukan apa yang mengarah ke sana atau dengan melakukan apa yang merendahkan kehormatan diri. Diriwayatkan dari Tsabit bin Adh-Dhahak bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِشَيْءٍ عُذِّبَ بِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ

“Barang siapa membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu, maka dia akan disiksa di neraka dengannya.” (Muttafaq ‘alaih)

Dalam konteks uji klinis, Darul Ifta menekankan bahwa menggunakan seseorang sebagai alat untuk melakukan percobaan yang membahayakan dirinya dengan cara tertentu, tidak sesuai dengan kehormatan yang telah Allah SWT berikan sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Dan sungguh Kami telah memuliakan anak keturunan Adam.” (QS. al-Isra’ [17]: 70)

Tetapi selama uji klinis tidak berbahaya bagi manusia atau bahayanya masih bersifat asumtif (kemungkinan) yang sekiranya tidak mengancam keselamatan nyawa dan tidak merusak anggota tubuhnya, maka hal itu diperbolehkan menurut syariat.

Uji klinis dalam kondisi seperti ini sama seperti percobaan medis yang diujikan terlebih dahulu pada selain manusia. Dan diketahui bahwa tidak ada salahnya jika dilakukan pada seseorang, dengan mengambil segala tindakan pencegahan bahaya selama percobaan.

Contohnya adalah seperti pada percobaan yang dilakukan pada seseorang untuk mengetahui lebih banyak tentang detail fungsi organ, atau untuk mengetahui dosis obat yang tepat untuk dirinya.

Darul Ifta menyatakan kebolehan uji klinis sejenis ini pada manusia dengan berdasar pada firman Allah,

مَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا

“Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, seaka-akan ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. al-Maidah [5]: 32)

Uji klinis demikian pada beberapa orang, dilakukan untuk manfaat yang kemudian digunakan untuk melayani kemaslahatan banyak orang dan mengatasi problem kesehatan.

Baca juga: Hukum Pemakaian Obat dari Ekstrak Babi

Darul Ifta menyimpulkan kebolehan uji klinis semacam ini berdasarkan keumuman dalil tentang perintah Nabi Muhammad SAW untuk berobat mencari kesembuhan. Nabi menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan penyakit sekaligus obatnya dan mendorong manusia untuk mencari cara pengobatan. Hal ini tidak mungkin tercapai kecuali dengan melakukan sejumlah uji klinis yang sifatnya tidak membahayakan manusia.

Di akhir fatwanya, Darul Ifta menegaskan bahwa masalah uji klinis (termasuk vaksin Covid-19) tidak dilarang secara keseluruhan dan juga tidak diperbolehkan secara mutlak. Beberapa di antaranya diperbolehkan dan beberapa di antaranya dilarang.

Di antara uji klinis yang dilarang adalah eksperimen medis yang menyebabkan kematian seseorang atau menyebabkan kerusakan dari fungsi anggota tubuhnya. Begitu pula dengan eksperimen yang mengarah pada perubahan dalam penampilan fisiknya. Seseorang tidak diperbolehkan menjadi sukarelawan dalam eksperimen medis yag dapat menyebabkan nyawanya menghilang atau salah satu fungsi tubuhnya rusak.

Kontributor

  • Abdul Majid

    Guru ngaji, menerjemah kitab-kitab Arab Islam, penikmat musik klasik dan lantunan sholawat, tinggal di Majalengka. Penulis dapat dihubungi di IG: @amajid13.