Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Hukum Menggunakan Obat Penghenti Haid Selama Bulan Ramadlan

Avatar photo
53
×

Hukum Menggunakan Obat Penghenti Haid Selama Bulan Ramadlan

Share this article

Ketika bulan Ramadlan tiba, tak jarang kita temui
orang-orang yang senantiasa menggiatkan ibadahnya, mengupayakan amalan terbaik
dan memaksimalkan nilai puasa mereka.

Tentu saja karena Ramadlan merupakan ibadah tahunan
yang bilangan harinya sangat terbatas. Walau terbatas, pahala yang dijanjikan
Allah pada bulan ini begitu besar

Namun sayang, hal ini kerap menjadi problema kaum
wanita dalam mengikhtiarkan hal tersebut. Terkadang yang terjadi adalah,
tatkala iman dan semangat beribadah berada di puncaknya, masa haid mereka
datang, sehingga mau tidak mau harus menghentikan, atau paling tidak mengurangi
beberapa ibadah yang tidak bisa dilakukan oleh wanita haid.

Bukan tanpa pengaruh, hal tersebut malah acap kali
jadi salah satu alasan terbesar hilangnya ghirah beribadah bagi kaum perempuan.

Di zaman yang serba ada seperti saat ini, mulai
muncul satu per satu temuan-temuan yang bermanfaat bagi manusia. Salah satunya
adalah obat penghenti siklus haid bagi wanita yang menghendakinya, untuk alasan
tertentu seperti saat berhaji ataupun puasa ramadhan.

Lalu bagaimana syariat menghukumi hal tersebut?

Darul
Ifta seperti dilansir dari laman resminya
mula-mula menerangkan pengertian
haid terlebih dahulu, haid adalah darah kental yang keluar dari ujung rahim
wanita pada waktu-waktu tertentu, sebagaimana termaktub dalam Asnal Mathalib.

Haid juga bisa dikatakan sebagai aktivitas
reproduksi wanita bulanan, artinya ia akan mengalami haid tersebut setiap
bulan.

Sementara itu, bulan Ramadlan adalah ibadah musim
yang hanya ada pada waktu tertentu saja setiap tahunnya, yakni berkisar antara
29 atau 30 hari. Bulan Ramadhan tidak bisa terulang pada waktu-waktu lainnya kecuali
dengan menanti bulan yang sama datang tahun depan.

Wanita haid yang terhalang dari melakukan wajib
puasa pada bulan itu diwajibkan qadla pada hari-hari sucinya, yang tentu saja
ini menjadi beban bagi mereka.

Darul Ifta mengatakan hukum asal penggunaan obat
untuk mengenhentikan haid agar bisa menjalani ibadah musim tersebut adalah
boleh. Dengan mengikuti nash dari Fuqaha madzhab Hanabilah dalam kitab Al-Mughni:

روي عن أحمد رحمه
الله  أنه قال: لا بأس أن تشرب المرأة
دواءً يقطع عنها الحيض, إذا كان دواء معروفا

“Diriwayatkan
dari Ahmad ra dia berkata: Tidak mengapa apabila seorang wanita meminum obat
untuk menghentikan haidnya, dengan syarat obat tersebut bersifat ma’ruf
(diketahui)”

Hal ini diperkuat dengan
perkataan Al-‘Allamah Al-Bahuti dalam Ar-Raudh Al-Murabba’:

ويباح للمرأة إلقاء
النطفة قبل أربعين يوما بدواء مباح, وكذا شربه لحصول حيض لأقرب رمضان لتفطره
ولقطعه, لا فعل ما يقطع حيضها بها من غير علمها

“Diperbolehkan bagi wanita
meminum obat 40 hari sebelumnya,  fungsi
meminum obat ini adalah untuk menghentikan haid ketika mendekati bulan
Ramadhan, dan perbuatan menghentikan haid (seperti ini) bukanlah perbuatan yang
di luar pengetahuan si wanita.”

Dalam madzhab Hambali, kita
juga akan jumpai kalam dari Syaikh Taqiyyuddin Ibn Taimiyah mengatakan hal yang
sama dalam Al-Fatawa Al-Kubra:

لو شربت دواء قطع الحيض
أو باعد بينه, كان ذلك طهرا

“Apabila
seorang wanita meminum obat untuk menghentikan haid, maka masa itu dianggap
suci (terbebas dari darah haid).”

Kendati diperbolehkan
mengonsumsi obat tertentu guna menunda masa haid, para Fuqaha menggaris bawahi
dengan tegas bahwa penggunaan tersebut harus dengan jaminan keamanan, baik bagi
fisik wanita ataupun di luar fisiknya. Hal ini senada dengan apa yang dikatan
Al-‘Allamah Ibn Muflih dalam Al-Mubaddi’:

لا بأس بشرب دواء مباح
لقطع الحيض إذا أمن ضرره

“Tidak
mengapa seorang wanita mengonsumsi obat untuk mengentikan haid, jika telah
terjamin keamanannya.”

Di sisi lain, ada sebagian ulama yang memakruhkannya, seperti Imam Malik. Dikisahkan bahwa beliau pernah
ditanya soal perempuan yang meminum obat untuk menunda masa haidnya. Imam malik
mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sesuatu yang makruh.

Ibn Rusy dalam hal ini
menjelaskan alasan mengapa Imam Malik mengatakan demikian, dalam Mawahibul
Jalil
milik Al-Hithab:

إنما كرهه مخافة أن تدخل
على نفسها ضررا بذلك في جسمها

“Sesungguhnya
kemakruhan yang dikatakan Imam Malik (dalam perkara si wanita tadi) adalah sebab
kekhawatirannya akan bahaya dan madharat yang akan dialami si wanita karena
mengonsumsi obat tersebut.”

Dari penjelasan di atas,
dapat kita simpulkan hukum mengonsumsi obat untuk menunda atau menghentikan
darah haid agar bisa melaksanakan ibadah musim seperti puasa Ramadhan atau pun
haji adalah boleh, selama obat tersebut tidak mengandung bahaya dan madharat
bagi tubuh perempuan, dan harus di bawah pengawasan dan anjuran dokter.

Adapun masa di mana si wanita terbebas dari
darah haid usai meminum obat tersebut dianggap masa suci, sehingga mereka bisa
melakukan ibadah tanpa adanya larangan. Wallahu a’lam bis shawab.

Kontributor

  • Rosti Hanifa Salsabila

    Akrab dipanggil Elsa. Gadis asal Demak penikmat soto, alumni Muhammadiyah Boarding School Yogyakarta dan kini sedang nyantri di Al-Azhar Kairo. Cinta sejarah dan lumayan terpikat dengan astronomi.