Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan dan Kodifikasi Al-Qur’an

Avatar photo
48
×

Abdullah bin Mas’ud, Utsman bin Affan dan Kodifikasi Al-Qur’an

Share this article

Abdullah bin Mas’ud dan Utsman bin Affan adalah dua sahabat Nabi Muhammad Saw, yang diperhitungkan dalam bidang ilmu Al Qur’an. Transmisi sanad yang sampai kepada kita dalam bacaan Al Qur’an bermuara kepada keduanya. Maka tak ayal, jika keduanya spesial di hati Nabi Muhammad Saw.

Abdullah bin Mas’ud mendapatkan rekomendasi untuk mengajar Al Qur’an kepada masyarakat umum pada masa Nabi. Bahkan beliau secara tegas memuji dan mengatakan:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ، فَلْيَقْرَأْهُ عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Barang siapa yang senang membaca Al Qur’an dengan kuat dan benar sebagaimana ketika diturunkan, maka hendaklah ia membaca berdasarkan bacaan Abdullah bin Mas’ud.” (Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah/49).

Tidak sampai di situ, Nabi secara khusus meminta kepada Abdullah bin Mas’ud untuk membaca Al Qur’an di hadapan beliau hingga tanpa terasa air mata membasahi kedua pipi beliau.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ»، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، آقْرَأُ عَلَيْكَ، وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ، قَالَ: «نَعَمْ» فَقَرَأْتُ سُورَةَ النِّسَاءِ حَتَّى أَتَيْتُ إِلَى هَذِهِ الآيَةِ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ، وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلاَءِ شَهِيدًا} [النساء: 41]، قَالَ: «حَسْبُكَ الآنَ» فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ، فَإِذَا عَيْنَاهُ تَذْرِفَانِ.

Ibnu Mas’ud berkata, Nabi berkata kepadaku, “Bacakanlah Al Qur’an di hadapanku.” Aku tersentak seraya berkata, “Apakah (mungkin) aku membacakan untukmu sedangkan Al Qur’an diturunkan kepadamu?.” Nabi berkata, “Iya.” Maka aku membaca surat an-Nisa’ hingga sampai pada ayat ke 41. Kemudian Nabi berkata, “Cukup sekarang.” Saat itu aku menoleh kepada Nabi dan saya lihat kedua mata beliau mengalirkan air mata. (Imam Bukhari, Shahih Bukhari/6/196).

Sementara Utsman merupakan menantu Nabi Muhammad Saw yang menikahi dua putri beliau yaitu Zainab dan Ummi Kultsum. Utsman adalah insan pilihan yang dianugerahi kepercayaan untuk menjaga kedua putri tersayang beliau.

Utsman termasuk sahabat yang konsisten membaca Al Qur’an di tengah-tengah kesibukannya. Dalam salah satu riwayat dinyatakan bahwa ia mampu mengkhatamkan Al Qur’an seminggu sekali. Bahkan terkadang dalam waktu sehari semalam.

Pada masa Nabi, Ustman dipercaya untuk menulis Al Qur’an sebagaimana sahabat Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit dan yang lainnya. Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa ia termasuk  salah satu sahabat yang hafal seluruh Al Qur’an.

Begitulah sebagian kelebihan kedua sahabat ini. Peran keduanya pun sangat diperhitungkan dalam bidang Al Qur’an, boleh dikatakan bahwa keduanya termasuk sahabat yang paling mengerti dengan Al Qur’an.

Ibnu Mas’ud, Utsman dan Kodifikasi Al-Qur’an

Namun setelah Nabi Muhammad Saw wafat, tepatnya pada masa kepemimpinan Utsman, pernah terjadi silang pendapat di antara keduanya.

Utsman sebagai pemimpin tertinggi mengeluarkan perintah kepada seluruh umat Islam untuk membakar mushaf pribadi dan mengikuti petunjuk mushaf yang dikeluarkan oleh Utsman. Tujuannya adalah untuk meminimalisir perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam dan menyatukan bacaan yang dikirim oleh Utsman ke berbagai penjuru negara Islam.

Ibnu Mas’ud tidak setuju dengan perintah tersebut. Hal ini didasari karena Utsman lebih mendahulukan Zaid bin Tsabit daripada dirinya sebagai ketua tim penulisan mushaf.

Pada hakikatnya Ibnu Mas’ud bukan tidak setuju dengan pembukuan Al Qur’an, namun ia menyangka bahwa pemilihan Zaid bin Tsabit dianggap tidak tepat. (Muhammad bin Umar Bazmul, al-Qira’at wa Atsaruha fi al Tafsir wal al Ahkam/47).

Berikut Atsar yang menyatakan ketidaksetujuan Ibnu Mas’ud dengan pembakaran mushaf selain yang ditulis pada era Utsman bin Affan.

عَنْ خُمَيْرِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ, “ إِنِّي غَالٌّ مُصْحَفِي، فَمَنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَغُلَّ مُصْحَفًا فَلْيَغْلُلْ، فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: {وَمَنْ يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ} [آل عمران: 161] ، وَلَقَدْ أَخَذْتُ مِنْ فِيِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ سُورَةً، وَإِنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ لَصَبِيُّ مِنَ الصِّبْيَانِ، أَفَأَنَا أَدَعُ مَا أَخَذْتُ مِنْ فِيِّ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “

Humair bin Malik berkata: Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya aku menyimpan mushafku, barang siapa yang mampu menyimpan mushafnya, simpanlah. Karena Allah berfirman, “Barang siapa yang menyimpan (saat ini), maka akan datang apa yang disimpannya pada hari kiamat.” Aku benar-benar mengambil dan belajar dari lisan Nabi 70 ayat, sementara Zaid bin Tsabit masih kanak-kanak, apakah aku meninggakalkan apa yang aku pelajari dari lisan Nabi Muhammad Saw,?.”

عَنْ إِبْرَاهِيمَ، لَمَّا أُمِرَ بِتَمْزِيقِ الْمَصَاحِفِ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: «أَيُّهَا النَّاسُ، غُلُّوا الْمَصَاحِفَ، فَإِنَّهُ مَنْ غَلَّ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، نِعْمَ الْغُلُّ الْمُصْحَفُ يَأْتِي أَحَدُكُمْ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»

Diceritakan dari Ibrahim bahwa ketika diperintahkan menghapus mushaf. Ibnu Mas’ud berkata, “Wahai umat manusia, biarkanlah mushaf-mushaf itu, karena sesungguhnya kelak di hari kiamat apa yang disimpannya akan datang kepadanya, sebaik-baik simpanan adalah mushaf, yang kelak akan mendatangi kalian pada hari kiamat.”

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْأَزْدِيِّ قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُ: «أَقْرَأَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبْعِينَ سُورَةً أَحْكَمَتُهَا قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ»

Abu Said al Azdi berkata, “Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa “Aku belajar kepada Nabi Muhammad Saw, 70 surat, aku memutqinkannya bahkan sebelum Zaid masuk Islam.” (Abu Daud as Sijistani/ Kitab al Mashahif/75).

Perbedaan ini kemudian teredam setelah Ibnu Mas’ud mengetahui tujuan dari perintah Utsman memiliki dampak kemaslahatan yang besar terhadap umat Islam saat itu bahkan sampai hari kiamat. Pada akhirnya, Ibnu Mas’ud menerima perintah Utsman dengan suka hati dan bahkan mendukungnya.

Alasan Utsman memilih Zaid bin Tsabit adalah karena proyek pembukuan Al Qur’an ini dilaksanakan di Madinah, sementara Ibnu Mas’ud saat itu berada di Kufah. Proyek inipun tidak bisa ditunda dan sangat mendesak, demi kemaslahatan umat.

 Di samping itu, Zaid merupakan anak muda yang cerdas, cekatan, memiliki semangat yang tinggi, kuat agamanya, amanah, salah satu penulis wahyu pada masa Nabi, hafal seluruh Al Qur’an, dan menyaksikan setoran terkahir Nabi Muhammad Saw, kepada Jibril. (Ibnu Hajar al Asqalani, Fathul Bari Syarah Shahih al Bukhari/9/19).

Pada dasarnya, Perbedaan yang terjadi di antara Utsman dan Ibnu mas’ud adalah perbedaan ijtihad, bukan perbedaan politis. Artinya keduanya memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kemaslahatan umat. Bagi Ibnu Mas’ud, tulisan dalam mushaf para sahabat adalah bacaan yang diterima pada masa Nabi Muhammad Saw,. Sedangkan dalam kacamata Utsman, sebagai pemimpin umat Islam, dijumpainya perbedaan bacaan yang sangat signifikan di tengah-tengah umat hingga memunculkan fenomena saling mengkafirkan antara satu dengan yang lainnya, karenanya proyek pembukuan Al Qur’an mutlak dibutuhkan untuk mempersatukan umat.

Berbeda dengan perbedaan yang muncul pada saat ini, perbedaan apapun, baik skala kecil maupun besar, digiring ke ranah politik praktis, dukung mendukung, suka atau tidak suka dan tidak dilandasi argumentasi tapi persepsi pribadi dan egoisme. Hal seperti ini tidak terjadi antara Utsman dan Ibnu Mas’ud. Meskipun memiliki pendapat yang berbeda terkait mushaf, namun keduanya memaparkan argumentasi yang logis tanpa disertai egois. Sehingga ketika di kemudian hari tampak kebenaran pada salah satu pendapat, maka yang lain tidak segan untuk mendukung dan tidak menyimpan dendam. Hal ini tercermin ketika Ibnu Mas’ud sakit parah, Utsman menjenguknya. Kedua mengobrol dengan santai layaknya sahabat yang sedang bercengkrama.

Utsman berkata, “Apa yang engkau keluhkan?.

Ibnu Mas’ud menjawab, “Saya hanya mengeluh dosa-dosaku.”

Utsman menimpali, “Apa yang engkau inginkan?”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Aku hanya menginginkan rahmat-Nya.”

Utsman menyarankan, “Apa sebaikanya engkau memanggil seorang dokter?”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Dokter hanya menambah sakitku.”

Utsman berkata kembali, “Apa yang bisa kami berikan kepadamu?”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Aku tidak butuh apa-apa.”  

Utsman menyampaikan , “Apa perlu aku berikan sesuatu kepada putrimu?”

Ibnu Mas’ud menjawab, “Tidak perlu engkau memberikannya, aku telah memerintahkan kepadanya supaya membaca surat al Waqiah, karena aku mendengar Nabi bersabda, “Barang siapa yang membaca surat al-Waqiah, maka dia tidak akan terkena kefakiran selamanya.”

Ibnu Mas’ud wafat di Madinah pada tahun 32 H masa kekhalifahan Utsman bin Affan. (Abdul Wahhab as-Sallar, Thabaqat al Qurra’ al Sab’ah wa Dzikri Manaqibihim wa Qira’atihim/95).

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”