.Abu Hanifah, Nu’man bin
Tsabit, mempunyai 4000 syaikh. Dari sekian banyak gurunya, ada satu guru yang
ia anggap gurunya yang paling agung (as-Syaikh al-Akbar): ia adalah Hammad bin
Abi Sulaiman, seorang fakih Kufah dari kelompok tabi’in.
Al-Khatib al-Baghdadi
meriwayatkan, Abu Hanifah sangat membanggakan jalur keilmuan lewat Hammad. Saat
ditanya, “Dari mana kau ambil ilmumu?” Abu Hanifah menjawab, “Dari Hammad, dari
Ibrahim, sampai ke Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud
dan Abdullah bin Abbas.”
Abu Hanifah membersamai
Hammad 18 tahun lamanya—atau mungkin lebih. Abu Hanifah berguru pada Hammad
bukan saat beliau baru belajar. Ia berguru saat berumur 22 tahun, tahun ketika Abu Hanifah sudah
kesohor sebagai “Syekh” dan ahli debat dalam ilmu kalam.
Ini adalah pengakuan
Abu Hanifah sendiri sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi. Ia masuk Bashrah 27 kali khusus mendebat sekte–sekte sesat ketika itu. Saat ia bertemu Hammad inilah, fase
perpindahannya dari seorang teolog ke ahli fikih.
Bersama Hammad, Abu
Hanifah menceritakan pengalaman yang akan dialami oleh semua murid pada
gurunya: yakni perasaan yang muncul pada diri seorang murid, bahwa ilmunya
telah setara dengan ilmu sang guru, atau bahkan telah melebihi kemampuan
gurunya.
Habib Ali al-Jufri pernah
menyampaikan ungkapan senada: seorang murid pandai–siapapun itu–pasti akan
sampai pada satu titik dimana ia merasa kemampuannya telah setara gurunya, atau
bahkan telah melebihi ilmu gurunya. Menurutnya, semakin lama kita membersamai
seorang syekh, maka akan sering muncul pula perasaan dirimu telah melebihi
syekh tersebut.
Perasaan ini pula yang
dialami oleh Abu Hanifah.
Sepuluh tahun bersama
Hammad, perasaan Abu Hanifah dihinggapi “pangkat keulamaan”. Ia merasa sudah
menguasai ilmu Hammad bahkan telah sampai di level meluruskan pendapat murid–murid Hammad yang lebih
senior. Akhirnya ia berkeinginan membuat majelis fikih sendiri di luar majelis Hammad.
Abu Hanifah mengatakan,
“Aku berkeinginan tak
lagi ikut halaqah Hammad. Suatu sore, aku bertolak ke masjid untuk
melaksanakan niatku. Tapi saat melihatnya sedang mengajar, aku urungkan niatku
itu.”
Tiba tiba malamnya
datang berita kematian kerabat Hammad di Bashrah: ia meninggalkan harta
sementara tak ada ahli waris. Hammad
pun bertolak ke Bashrah dan meminta Abu Hanifah menggantikannya.
“Saat menggantikannya mengajar, aku ditanya 60 pertanyaan yang
belum pernah aku dengar dari Hammad. Aku menjawab dan aku tulis jawabannya.
Hammad pergi selama dua bulan, dan ia kembali ke Kufah.”
Abu Hanifah kemudian memperlihatkan
jawabannya, namun Hammad hanya menyetujui 40 jawaban, dan menyalahkan 20
jawaban lainnya.
Keduanya terlibat dalam
perdebatan panjang mengenai jawaban 20 permasalahan yang tak disetujui itu,
sampai akhirnya Abu Hanifah tak berkutik dengan argumen–argumen Hammad.
Abu Hanifah kemudian
mengatakan, “Selepas itu, aku
berjanji tidak akan berhenti mengikuti majelis Hammad sampai ia meninggal.”
Wahbi Sulaiman dalam Imam
al-Aimmah al-Fuqaha mengatakan, terhadap Hammad inilah, Abu Hanifah total
berkhidmah. Ia menunggu di pintu rumah Hammad bahkan saat Hammad hendak shalat
dan keluar untuk kebutuhan tertentu. Abu Hanifah yang menyiapkan dan mengurus segala keperluannya.
Rasa takdzim Abu
Hanifah terhadap Hammad sampai pada batas saat duduk di rumah sendiri, ia tidak
akan menghadapkan kakinya ke arah rumah Hammad.
Hammad meninggal, murid–muridnya mendatangi Abu
Hanifah untuk menggantikan Hammad. Dari sinilah permulaan fikih Madzhab Hanafi
dimulai.
Jika Abu Hanifah
membuat majelis fikih saat Hammad
hidup, mungkin tak akan terdengar ada fikih Hanafi sekarang.