Mustafa Lutfi al-Manfaluti (w. 1924 M) adalah sastrawan kondang Mesir yang fotonya khas dengan kumis daplang runcingnya. Setelah rampung menyelesaikan hafalan al-Qurannya di umur 9 tahun, ia lanjutkan di Al-Azhar. Di sinilah minatnya dengan dunia saatra lahir dan berkembang.
Ia sangat produktif menulis. Di antaranya adalah an-Nazharat dalam tiga jilid!
An-Nazharat adalah antologi tulisan lepas tokoh kelahiran Asyut Mesir tersebut. Temanya beragam. Dari sastra dan kritiknya, sosial, politik, Islam, sampai kisah pendek original atau saduran.
Ada satu kisah menarik dalam lembaran buku yang mulai ditulis tahun 1907 M itu. Yaitu tentang Zaid dan Amr.
Dalam khazanah Nahwu, contoh turun temurun selalunya Zaid memukul Amr. Dawud Basya, menteri Ottoman yang waktu itu mulai belajar bahasa Arab, dan ia mendapati itu berulang-ulang, amat terheran, kenapa Amr harus dirundung terus menerus. Akhirnya ia meminta kejelasan pada guru bahasa Arabnya. Nampaknya ia seorang guru yang lugu dan kurang wawasan sehingga jawaban sangat normatif. Tidak cocok bagi orang Turki di depannya itu. Dibuilah sang guru! Dibui karena jawabannya tidak memuaskan.
Tak puas, ia memanggil ahli Nahwu yang bisa dijangkau. Mereka yang jawabannya tak memuaskan Dawud, akan dibui! Sesimpel itu. Sontoloyo memang.
Banyak tokoh yang telah ia bui. Ada satu tokoh yang akhirnya memutus hukuman bui itu. Merasa yakin jawabannya memuaskan Dawud, sebelum menjawab ia meminta syarat.
“Sekiranya Duli Paduka melepaskan teman-teman yang telah paduka bui. Tentu saja, jika jawaban saya menyenangkan paduka,” katanya.
“Begini, Paduka. Amr itu dihukum oleh Nuhat (bentuk plural dari Nahwi: ahli Nahwu) sebab mencuri huruf “wawu” yang ada pada nama Paduka,” tentu kita tahu bahwa ini jawaban diplomatik.
“Bukankah sebenarnya “Dawud” itu ada dua “wawu” (داوود), Paduka?”
Raja mengangguk.
“Tapi akhirnya hanya sisa satu saja, داود. Itu karena Amr (عمرو) telah mengambilnya dari Paduka. Sebab itulah ia diganjar oleh Nuhat dengan dipukuli terus menerus oleh Zaid di banyak bab!”
Dawud senyam-senyum dengan jawaban cerdik tersebut. Akhirnya dilepaskanlah orang-orang yang dibui gara-gara keisengannya itu. Memang, di depan penguasa kita harus pandai merangkai jawaban diplomatik.
Tak hanya mengisahkan, Manfaluti juga mengritiknya. Ia mengritik terkait pilihan contoh yang stagnan.
Sebenarnya kisah ini dikutip sebagai pemantik kritik sastranya. Bahwa contoh yang manunggal di tiap bab dan jenjang, membuat murid kurang bisa menangkap. Harusnya ditambah yang lebih kreatif atau disertakan, yang dalam khazanah bahasa Arab dikenal, dengan asy-syawahid. Dengan menghadirkan ragam contoh, menunjukkan bahwa guru itu benar-benar paham apa yang ia ajarkan. Dan nama “Zaid”, “Amr”, dan “Bakar” hanya contoh awal. Bukan satu-satunya. Dan murid bisa lebih mudah menangkapnya.
Lantas kenapa “Zaid” dan “Amr”? Jawaban sederhananya, keduanya untuk memudahkan, sebab dua nama itu masuk di sebagian besar katagori bentuk kalimat di banyak bab. Alasan lain, termasuk dari tradisi ulama adalah mereka menggunakan mustalahat dan contoh yang telah digunakan oleh ulama berturun-turun sebagai cara tabarrukan atau menyerap berkah. Dan jelas bukan berati mereka tidak mampu berinovasi, apalagi tidak mampu memahami objek yang sedang dikaji. Nehi!
Ada sebuah temuan mansukrip yang menyebut Tajuddin al-Kindi berkata bahwa orang pertama yang menyebut “Zaid” sebagai contoh dalam Nahwu adalah Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrami (w. 117 H). Ia punya anak bernama Zaid. Ketika mengajari Nahwu anaknya, ia membuat contoh:
ضرب عبد الله زيدا
Gamaliya, Kairo Lama, 12 Januari 2023