Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Bangga Jabatan, Khalifah Al-Makmun Tak Sangka Alami Kisah Ini

Avatar photo
30
×

Bangga Jabatan, Khalifah Al-Makmun Tak Sangka Alami Kisah Ini

Share this article

Popularitas, gelar, pangkat atau jabatan terkadang
membuat manusia lupa akan hakikatnya sebagai hamba yang harus merendah. Mereka
lupa bahwa kesemua hal tersebut hanya sekedar titipan sementara yang dibebankan
kepada manusia, yang apakah dengannya mampu menjadikan seseorang bersyukur atau
justru jatuh tersungkur dalam kubangan kesombongan?

Islam tidak pernah melarang seseorang untuk mencari
bahkan mengejar popularitas, gelar, pangkat atau jabatan sekalipun, selama bertujuan
baik dan mampu mendekatkan diri kepada Allah. Namun apabila hal tersebut menjadi
beban yang berat dan justru membuat seseorang menjadi angkuh dan jiwanya
diperbudak oleh ego, maka penyesalan yang akan didapatkan.

Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan:

ويل لمن كان هواه أميرا وعقله أسيرا

“Sungguh celaka bagi seseorang yang menjadikan ego dan hawa
nafsunya sebagai raja (dikendalikan oleh ego) sedangkan akalnya hanya terkekang,
terpenjara.”

Imam Nawawi al-Bantani menjelaskan dalam karyanya Nashaih
al-Ibad
bahwa maksud dari perkataan Ibnu Hajar di atas adalah seseorang
akan celaka jika membiarkan ego dan hawa nafsu menguasai dirinya, sedangkan
akalnya tidak lagi berfungsi untuk bertafakkur kepada Allah karen lebih mengutamakan
kehendak hawa nafsu.

Pada zaman terdahulu, terdapat seorang khalifah yang
menganggap bahwa gelar “Amirul Mukminin” sebagai sesuatu yang prestisius hingga
lupa dengan hakikat dirinya sebagai hamba Allah swt. Tanpa sadar, sang khalifah
menjadikan kedudukan, pangkat dan popularitasnya sebagai “tuan” hingga dia
terjebak dalam dekapan hawa nafsu dan ego.

Berikut cerita selengkapnya yang dikutip dari kitab “Kaifa
Tahfadz Al-Qur’an
” karya Mustafa Murad.

Suatu ketika, seorang ulama datang ke istana Khalifah
Makmun. Ulama tersebut dengan berani memanggil sang Khalifah dengan sebutan
“Abdullah” (hamba Allah) dan memberikan nasehat singkat, “Wahai hamba Allah,
bertakwalah kepada Allah Swt.”

Sang khalifah merasa tersinggung dengan perkataan
ulama tersebut, ia mendengar sebuah panggilan yang terasa asing di telinganya.
Amir Mukminin adalah gelar yang sangat prestisius dan membanggakan. Semua orang
memanggilnya dengan gelar tersebut, namun sang ulama hanya memanggilnya dengan
sebutan “Abdullah”.

Atas ucapan tersebut, sang khalifah memerintahkan
pengawalnya untuk meringkus sang ulama dan menahannya, “Tangkap dan tahan dia!”

 

Setelah penangkapan, khalifah merasa penasaran dan
ingin tahu alasan disebalik panggilan “Abdullah” yang dilontarkan sang ulama.

Pada malam hari, khalifah Makmun bersama para
eksekutor memanggil sang ulama. Dia menanyakan perihal ucapan yang terasa aneh
dan asing. “Kenapa kau memanggilku dengan sebutan Abdullah (hamba Allah)? Apakah
kau ingin menunjukkan identitasmu kepada warga Baghdad dan di hadapan Amir mukminin?
Alangkah baiknya jika kau memanggilku dengan sebutan Amir mukminin.”

Sang Khalifah melanjutkan perkataannya, “Aku ingin
mendengar jawabanmu, Jika benar maka kau akan selamat, tapi jika tidak, maka
aku akan membunuhmu.”

Sang ulama menjawab, “Ketika kita mendapatkan beban yang berat, kita menyebut dan
mengucapkan lafadz , “Allah…Allah…Allah”. 
Apakah Anda merasa lebih besar dari Allah?”

Sang Khalifah menjawab, “Allah Mahabesar, Allah Mahabesar”.

Sang ulama menimpali ucapan sang khalifah dengan
membaca ayat:

لَنْ يَسْتَنْكِفَ الْمَسِيحُ أَنْ يَكُونَ عَبْدًا
لِلَّهِ وَلَا الْمَلَائِكَةُ الْمُقَرَّبُونَ

“Isa Almasih sama sekali tidak enggan menjadi hamba Allah
(Abdullah) dan begitu juga para malaikat yang dekat (dengan Allah Swt).”

“Apakah Anda merasa
lebih mulia dari Nabi Isa dan Malaikat (sedangkan mereka semua bersedia menjadi
Abdullah)?”

Tetiba sang
khalifah menangis tersedu-sedu, hingga hampir pingsan.

Dari kisah ini,
kita mendapatkan pembelajaran bahwa
popularitas, gelar, pangkat ataupun jabatan
bukanlah hal yang besar, namun hanya setitik debu jika dibandingkan dengan
Kebesaran dan Keagungan Allah. Siapapun kita, bagaimanapun keadaan kita, tetap
hanya sebatas hamba Allah yang kerdil, tak mampu berdiri sendiri tanpa bantuan
dari Allah, Sang Rabbull Izzah.

Adapun rasa
sombong, sungguh tidak pantas disandang oleh seorang yang masih menangis,
mengeluh dan tak berdaya apabila mendapatkan beban. Rasa sombong hanya pantas
dimiliki oleh Dia Yang Mampu Memberikan beban sekaligus Mampu Menghilangkan
beban tersebut. 

Kontributor

  • Rozi Nawafi

    Ahli ilmu qira'at Al-Qur'an Asyrah al-mutawatirah bersanad sampai kepada Nabi. Wakil koordinator pendidikan dan pengajian di Pesantren Darussalam Keputih Surabaya dan pengisi acara Kiswah Tv 9 Nusantara NU Jatim. Penulis buku “Mengarungi Samudra Kemuliaan 10 Imam Qira’at.”