Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Barambalul dan Pentingnya Guru dalam Belajar Agama

Avatar photo
29
×

Barambalul dan Pentingnya Guru dalam Belajar Agama

Share this article

Suatu hari, Syekh Hasan Hitou hafidzahullah tengah mengikuti salah satu pengajian kitab yang ada di Masjid Al-Azhar.

Di tengah-tengah pengajian itu, guru Syekh Hasan Hitou tiba-tiba bercerita:

Dulu, saat aku masih tahap belajar, aku pernah membaca kitab terkait persoalan muamalah (transaksi). Aku mendapati teks yang cukup menggelitik di dalam kitab itu:

ويحرم بيع برمبلول ببرمبلول

“Haram hukumnya, jual beli Barambalul dengan Barambalul.”

Aku kesulitan memahami kata ini (barambalul). Lantas aku buka kitab-kitab syarah yang ada, dan aku tidak mendapati satu pun penjelasan dan pemaparan dari ulama.

Tidak berhenti di sini, akupun membuka kitab-kitab hasyiah. Dari sini juga aku tidak menjumpai satupun dari ulama yang menjelaskan maksud dari kata itu.

Baca juga: Bagaimana Keadaan Arwah di Alam Barzakh?

Aku hampir menganggap kitab-kitab yang telah aku buka mulai dari Matan, Syarah, Hasyiah, dan Taqrirat adalah kitab yang sangat lemah dan tidak lengkap, karena penjelasan terkait kalimat ini tidak ada.

Bahkan aku hampir menuduh buruk bahwa jangan-jangan pengarangnya yang salah.

Kemudian aku mencurigai akalku terlebih dahulu sebelum aku melayangkan tuduhan ke mereka. Pikirku, andai ada kesalahan dalam redaksi pengarang yang digunakan, pastinya paling tidak ada satu yang mengomentari dan sadar dari puluhan ulama yang mensyarah kitab tersebut. Maka bisa dipastikan mustahil, kalau mereka semua sepakat akan suatu kesalahan. Berarti, boleh jadi bukan pengarang yang salah, dan bukan pula kitab-kitab mereka yang kurang lengkap, tapi akal dan pemahamanku yang mungkin bermasalah.

Maka sejak itu, aku putuskan untuk menemui guruku dan menanyakan hal tersebut.

Dari perjumpaan itu, aku didawuhi panjang oleh guruku:

Wahai anakku, tidaklah suatu ilmu yang dipelajari hanya dari kitab—tanpa seorang guru—kecuali akan menyesatkan. Maka, ilmu harus dipelajari dari seorang guru, untuk memperjelas perkara-perkara yang samar, untuk men-taqyid (memberikan batasan) perkara-perkara yang mutlak, untuk memperinci perkara-perkara yang universal, dan untuk menjelaskan perkara yang dikehendaki dari sebuah istilah.

Andaikan hanya dengan kitab seseorang bisa mengambil ilmu tanpa seorang guru yang menjelaskan, tentu Allah tidak mengutus seorang Rasul untuk menjelaskan Kitab-Nya, tentu Allah tidak akan mengambil janji dari mereka-mereka yang diberikan Kitab untuk menyampaikannya ke orang-orang, dan tentu Allah juga tidak akan memasangkan kendali dari neraka bagi orang-orang yang diberi amanat ilmu tapi menyembunyikannya. Karena kitab-kitab ilmu dapat dikonsumsi oleh siapapun, baik yang jauh ataupun yang dekat, tapi tidak dengan ilmu.

Wahai Anakku, sesungguhnya redaksi yang benar adalah:

ويحرم بيع بر مبلول ببر مبلول

“Dan diharamkan jual beli gandum basah dengan gandum basah.”

Guruku melanjutkan, “Perkara ini tidak butuh pada Kitab-kitab Mu’jam, Kamus, Syarah, Hasyiah, melainkan butuh rendah hati, seperti kerendahan hatimu yang mau bertanya kepadaku.”

Baca juga: Hatim al-Asham dan Ulama Fikih yang Punya Rumah Mewah

Kemudian guru Syekh Hasan Hitou berkata, “Maka Demi Allah, anakku, sejak saat itu, aku tidak pernah lupa akan hikmah yang luar biasa itu. Aku teringat pesan Imam Syafi’i: Tidaklah kesalahan seseorang ditertawakan, kecuali kebenaran akan tertancap di hatinya.”

Kisah ini, penulis sarikan dari kitab Al-Mutafaihiqun karya Sidna Syekh Hasan Hitou hafidzahullah.

Kairo, 29 September 2021

Kontributor

  • Turoobul Aqdam

    Bernama asli Kamal Abdillah. Asal Pati Jawa Tengah. Belajar dan nyantri di Mathali’ul Falah Kajen, kemudian melanjutkan studi ke Universitas al-Azhar Kairo Mesir.