Ada
satu hadits populer sekali yang berbicara soal
keadilan Rasulullah saw. Bahkan jika keadilan itu harus terjadi
kepada putri kesayangan beliau sekalipun.
Dalam
hadits ini, beliau secara tegas menyebut nama
putrinya, padahal dalam konteks yang negatif.
“Demi
Allah, jika Fatimah mencuri, niscaya aku potong tangannya!”
Dalam
riwayat Muslim malah lebih jelas:
وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ
لَقَطَعْتُ يَدَهَا
“Demi
Allah, jika Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku potong
tangannya!”
Imam
Syafi’i (w. 204 H) dalam banyak kesempatan menyebut hadits ini, tapi
redaksi hadisnya dia ubah. Yang hadits asalnya menyebut secara
jelas nama putri Rasulullah, beliau ubah menjadi sosok yang ambigu, yaitu
fulanah (sebutan untuk seorang perempuan yang tidak diketahui namanya). Tapi
diberi petunjuk olehnya jika Fulanan di situ orang mulia.
“…Jika
fulanah [perempuan mulia] mencuri, niscaya aku potong
tangannya.”
Imam
Tajuddin as-Subki mengisahkan hal ini dalam kitab
at-Tarsyih, sebagaimana dinukil oleh Imam Suyuti
dalam Tanzihul Anbiya’.
Demi
menghormati dan menjaga budi terhadap Rasulullah, sosok sebesar Imam Syafi’i
yang hidup di era riwayah (belum era tadwin atau kodifikasi hadis) berani
mengubah redaksi hadis (kendati itu tak mengubah makna sama sekali) yang
padahal di era riwayah, hal itu beresiko besar. Ini pertaruhan reputasi sebagai
perawi.
Dari
sini kita mengetahui, ada sebuah prinsip yang diajarakan, bahwa menyebut nama
orang terhormat di konteks yang buruk bukanlah perbuatan terpuji.
Old
Cairo, 7 Agustus 2021