Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi dan Syaikh Sa’d at-Taftazani adalah dua ulama yang sama-sama tokoh besar, terkenal dan alim.
Hanya perbedaannya, Syaikh Bahauddin an-Naqsyabandi berhasil memadukan antara syariat dan hakikat secara sempurna meskipun sebelumnya dia menolak hal-hal yang tidak logis, terutama yang terlihat keluar dari ranah syariat.
Sedangkan Syaikh Sa’d at-Taftazani tampaknya belum bisa mencapai derajat seperti Syaikh Bahauddin, padahal secara kepribadian, kealiman dan ahwalnya sebetulnya ia sudah sangat siap untuk mengawinkan dua elemen tersebut.
Baca juga: Bila Kaum Sufi Merasakan Cinta
Oleh sebab itu, Syaikh Bahauddin pun agak menyayangkannya dan kemudian bertanya kepada Syaikh Sa’d, “Bukankah sekarang sudah waktunya bagi Anda untuk mencampurkan antara air syariat dengan air hakikat?”
Sebelum mempertanyakan hal itu, Syaikh Bahauddin melihatnya membawa segentong air dan mendekapnya dengan erat di dalam dirinya. Maksud dari mendekap air di sini, menurut pemahamanku, hanyalah permisalan; bukan berarti Syaikh Sa’d membawa air dalam arti sesungguhnya. Pada intinya, air adalah simbol kehidupan. Dengan adanya air semua makhluk yang mempunyai “jantung” bisa terus untuk bertahan hidup.
Syaikh Sa’d pun menjawabnya, “Saya takut menyalahartikan (mengotori) ranah hakikat sehingga akan membuat najis airku sendiri. Ketika saya menyalah-nyalahkannya (karena ketidaktahuanku), maka saya akan mengalami kerugian dua air sekaligus (yakni air syariat dan air hakikat)”.
Apa yang diceritakan dalam hikayat di atas menjadi semakin jelas artikulasinya dengan data yang ditulis oleh Syaikh Sa’d sendiri dalam kitab Maqashidnya.
Di dalam kitabnya itu, setelah ia menjelaskan kepribadian (ahwal) para pembesar ulama Ahlus Sunnah (al-kummal: ulama yang ilmunya sangat sempurna) yang telah mampu mengawinkan antara ranah syariat dan hakikat, ia pun berkata:
“Kami (mutakallimin) berada di pantai angan-angan, menyauk sedikit air dari luasnya lautan tauhid semampu akal kami. Dan kami mengakui bahwa derajat “Fana” dalam ketauhidan ini yaitu dengan jalan penyaksian ala sufi, bukan dengan jalan rasionalitas akal”.
Baca juga: Doa Membinasakan dan Doa Menghidupkan
Maksudnya adalah, bahwa aspek yang bisa mengantarkan pada penyaksian yang nyata terhadap ketauhidan yaitu dengan cara kasyf ala sufi (dengan mengawinkan antara syariat dan hakikat). Sedangkan akal, meskipun sangat canggih dalam mencari kebenaran, tidaklah bisa sampai pada taraf penyaksian yang nyata, yang tanpa distorsi dan tanpa keraguan sedikit pun sebagaimana penyaksian ala sufistik.
Sangat disayangkan ketika ada seseorang yang mampu menggapai penyaksian ala sufi tapi kemudian ia menganggurkan akalnya. Atau ia salah mengartikan ranah hakikat yang ditemukannya itu sehingga melenceng atau malah meninggalkan kewajiban-kewajiban syariatnya. Nah, inilah yang dikhawatirkan oleh Syaikh Sa’d.
Meskipun Syaikh Sa’d belum bisa mencapai derajat tersebut, tapi ia bersikap taslim, yakni menerima dengan lapang terhadap kebenaran ranah hakikat. Sikap proporsional ini tidak seperti beberapa ulama lain yang dengan sembrono mengingkari ranah hakikat—yang memang sangat halus dan berbahaya itu—karena keterbatasan indra dan akal mereka sendiri.